Terdapat seorang wanita yang biasa dipanggil Isyah (nama lengkapnya ‘Aisyah). Ia adalah warga Desa Payaman, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Ia merupakan wanita yang baik dan patuh kepada suaminya (nama suaminya belum diketahui, konon ia adalah Wedono di Desa Payaman).
Dengan suaminya, Isyah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdul Syukur. Isyah sendiri adalah anak pertama dari empat bersaudara:
- Karnadi (bertempat tinggal di Desa Bodong, Kudus)
- Ngado (bertempat tinggal di Desa Hadiwarno, Kudus)
- Sarinah (bertempat tinggal di Desa Bodong, Kudus)
Hari berganti hari, bulan berubah menjadi tahun, demikian mereka menjalani hidup. Entah karena sebab apa, keluarga Isyah diberi cobaan oleh Allah SWT berupa kegagalan dalam rumah tangga. Isyah pun memutuskan keluar dari rumahnya. Sambil menggendong anak laki-laki yang masih kecil itu, Isyah berjalan menelusuri jalan ke arah timur. Sesampainya di Desa Jojo, Kudus, Isyah dan anak yang digendongnya beristirahat karena hari telah malam. Berhubung Isyah tidak memiliki sanak saudara di kampung tersebut, ia menginap di pemakaman setempat. Gelap gulita dan dingin menjadi teman tidurnya bersama anaknya di area pemakaman. Tangis yang tak henti-henti pun menjadi penghias malam, meratapi nasib dirinya dan anaknya yang harus ikut memikul beban berat itu.
Karena perjalanan yang jauh dan melelahkan, Isyah tertidur dan bermimpi. Konon dalam mimpinya ia didatangi seorang kakek yang berkata, “Kuwé ora usah susah-susah, kono mlaku ngidul ngetan, mengko lak kuwé dadi pedoyo.”
Ayam berkokok menandakan hari sudah pagi. Isyah pun terbangun dengan perasaan yang tak karuan karena mimpinya. Saat itu, adzan berkumandang dari masjid dan musala. Beberapa masyarakat setempat pergi ke masjid terdekat. Dalam salatnya, Isyah berdoa agar diberikan petunjuk oleh Allah. Setelah merenung dan mempertimbangkan dengan matang, Isyah pun melangkahkan kakinya ke arah tenggara bersama anaknya. Teriknya matahari dan rasa lelah karena menggendong anaknya tidak ia hiraukan.
Setelah berjalan cukup lama, Isyah sampai di Desa Dongan, Sukolilo. Karena merasa letih, ia berniat untuk beristirahat di bawah pohon rindang. Saat itu datanglah seorang laki-laki yang menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Dengan wajah murung dan perasaan yang sendu, Isyah menceritakan seluruh kejadian yang telah dialaminya. Laki-laki itu pun terharu dan karena merasa kasihan, ia mengajak Isyah untuk singgah di rumahnya. Istri dari laki-laki itu menyambut Isyah dengan suguhan ala kadarnya. Setelah mendengar cerita Isyah, pasangan suami istri tersebut—yang sudah lama menikah namun belum dikaruniai anak—menawarkan kepada Isyah untuk menjadi anak angkat mereka. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Isyah pun bersedia. Sejak saat itu, ia menjalani hari-harinya bersama anaknya dan keluarga tersebut dengan riang, sambil membantu kegiatan rumah tangga.
Waktu pun berlalu, Abdul Syukur tumbuh menjadi anak yang semakin besar. Beberapa tahun kemudian, Isyah dijodohkan oleh ayah angkatnya dengan seorang laki-laki dari Desa Landoh, Kayen, bernama Podirono. Setelah menikah, mereka tinggal di Desa Dongan. Dari pernikahan tersebut, Isyah dikaruniai dua anak perempuan: Kina dan Kimah (keduanya meninggal di Desa Dongan). Kini Isyah memiliki tiga anak, dan hal tersebut menjadi motivasi hidupnya. Usaha warung nasi yang mereka jalani berkembang pesat dari waktu ke waktu hingga menjadi keluarga yang kaya.
Saat merenung, Isyah teringat akan mimpi yang pernah ia alami. Dalam mimpi tersebut, dikatakan bahwa ia akan menjadi pedoyo (pelayan orang lain), yang kini menjadi kenyataan. Sementara itu, Abdul Syukur tumbuh menjadi pemuda dewasa dan membantu orang tuanya mengelola warung makan serta menggarap sawah. Setelah dianggap cukup umur, ia dijodohkan dengan seorang gadis dari Desa Landoh bernama Suminah. Namun, tidak lama setelah pernikahan, mereka berpisah.
Kemudian Abdul Syukur menikah lagi dengan Satiah, anak dari Pandu, yang berasal dari Dukuh Bombong, Desa Baturejo. Satiah pun diboyong ke Dongan, tempat orang tua Abdul Syukur tinggal. Dari pernikahan tersebut, Abdul Syukur dikaruniai lima anak:
- Kasmirah
- Matsirin
- Sarjani
- Sarmani (meninggal usia balita)
- Karti
Semua anak Abdul Syukur dimakamkan di pemakaman umum Desa Baturejo, kecuali Sarjani yang dimakamkan di Desa Tambangsari.
Pendidikan K. Abdul Syukur
Abdul Syukur merupakan sosok yang cukup pandai. Ia mampu menguasai tembang sanepo dan hafal suluk ambiyo, sebuah keterampilan yang jarang dimiliki. Berangkat dari kemampuan itu, ia memiliki keinginan menjadi seorang dalang. Ia pun mengutarakan keinginannya kepada teman-temannya. Namun, mereka menyarankan agar Abdul Syukur menuntut ilmu di Pesantren Kiai Abdul Manan, Tepuro, Purwodadi.
Sebelumnya, setiap malam Abdul Syukur memanfaatkan waktunya untuk bertukar pendapat dan wawasan, khususnya mengenai agama Islam, dengan Kiai Abdul Hannan dari Dukuh Tambangsari, Kecamatan Sukolilo. Kiai Abdul Hannan merupakan santri dari Kiai Abdul Manan Tepuro. Karena ketertarikan dan haus akan ilmu agama, serta dorongan dari cahaya hidayah Allah SWT, Abdul Syukur pun memutuskan belajar mengaji di bawah bimbingan Kiai Abdul Manan di Tepuro, Purwodadi.
Tak hanya pergi sendiri, ia mengajak istri dan anak-anaknya untuk ikut mondok. Demi menuntut ilmu, Abdul Syukur rela meninggalkan seluruh harta bendanya.
Inilah hidayah dari Allah. Jika Allah telah berkehendak kepada hamba-Nya, maka segalanya akan terjadi.
Tekad kuat menjadi hamba yang lebih baik serta pengorbanan jiwa dan raga demi meraih rida Allah SWT menjadi tujuan utama. Bagaimana tidak, Abdul Syukur yang telah berkeluarga dan lama menetap di suatu tempat harus hijrah ke tempat lain, meninggalkan segalanya demi belajar ilmu agama. Sebuah proses besar yang dijalaninya tanpa beban, justru dengan penuh semangat, tanpa merasa malu meski belajar bersama para santri yang lebih muda.
Setelah beberapa waktu, Abdul Syukur memiliki beberapa teman seperjuangan dalam menyiarkan agama Islam di daerah masing-masing yang dikenal masyarakat, di antaranya:
- Kiai Jazuli (Sundoluhur, Kayen, Pati)
- K. Abdul Hannan (Tambangsari, Sukolilo, Pati)
- K. Sholeh (Lebosari, Kendal)
Di antara mereka, Abdul Syukur adalah santri yang paling tua. Karena ia telah berkeluarga, Kiai Abdul Manan menyediakan gotakan tersendiri (ruang keluarga) yang berbeda dari santri lainnya untuk ditempati bersama istri dan anaknya. Ketika pertama kali mondok, Abdul Syukur baru memiliki satu anak, yaitu Kasmirah, yang kemudian dinikahkan dengan Hasan Asy’ari, sesama santri Kiai Abdul Manan. Selama di pesantren, ia dikaruniai dua anak lagi: Matsirin dan Sarjani.
Melaksanakan Titah Sang Guru
Setelah kurang lebih 10 tahun belajar dan dinilai telah menguasai ilmu yang diajarkan oleh K. Abdul Manan, Abdul Syukur diutus oleh gurunya untuk berdakwah menyebarkan agama Islam di sebelah utara Gunung Sukolilo. Ia pun berangkat menuju rumah mertuanya di Dukuh Bombong, Desa Baturejo.
Menurut titah gurunya, ia diminta memulai dakwah di wilayah barat sungai dari dukuh tersebut. Konon, masyarakat di wilayah itu lebih mudah diarahkan. Dengan harapan kelak dakwahnya akan diterima, Abdul Syukur pun mulai menyebarkan Islam kepada masyarakat sekitar yang saat itu memiliki kebiasaan jauh dari syariat Islam: berjudi, mabuk-mabukan, tayuban, madon, dan kebiasaan buruk lainnya. Sifat kasar dan arogan melekat pada mereka.
Dengan berpegang pada firman Allah:
“Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.”
K. Abdul Syukur berdakwah dengan pendekatan yang lembut dan penuh hikmah, menyampaikan ajaran Islam tentang tata cara wudu, salat, zakat, puasa, haji, serta sifat-sifat terpuji dan tercela. Secara perlahan, ia mengubah kebiasaan masyarakat yang buruk menjadi lebih baik sesuai syariat Islam.
Contohnya, kebiasaan masyarakat ketika ada kematian adalah berjudi di malam hari agar suasana rumah tidak sepi, biasanya dilakukan selama tujuh hari. Kebiasaan ini diubah oleh K. Abdul Syukur menjadi kegiatan tahlilan, zikir, dan doa.
Ia sadar bahwa perjuangan pasti menghadapi rintangan. Namun, semua hambatan dijadikan motivasi untuk terus berdakwah. Ia hanya pasrah kepada Allah SWT, karena hanya Allah yang mampu mengubah suatu kaum. K. Abdul Syukur hanya menyampaikan ajaran, dan sejarah mencatat bahwa dialah orang pertama yang berdakwah dengan metode Tarajjumah di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Silsilah Guru K. Abdul Syukur
K. Abdul Syukur berguru kepada K. Abdul Manan dari Desa Tepuro, Purwodadi, Grobogan. Menurut KH. Syadirin Amin dalam karyanya Mengenal Ajaran Tarajjumah H. Ahmad Rifa’i, K. Abdul Manan merupakan salah satu dari 51 murid inti KH. Ahmad Rifa’i yang diberi tanggung jawab sebagai lurah pondok (ketua kamar) dan ditugaskan berdakwah di daerah masing-masing.
Silsilah keilmuan K. Abdul Syukur adalah sebagai berikut:
- Allah SWT
- Malaikat Jibril
- Nabi Muhammad SAW
- Imam Abdullah bin Abbas Ash-Shohabi
- Imam ‘Atha’ bin Rabah al Maki al Quraisy
- Imam Abdul Muluk bin Juraij
- Imam Muslim bin Khalid az-Zanji
- Imam al-Mujtahid Muhammad bin Idris As-Syafi’i
- Syaikh Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzani
- Syaikh Abul Wosim Utsman bin Said bin Basyar al-Anamri
- Syaikh Abu Ishaq al Marwazi
- Syaikh Abu Yazid al Marwazi
- Syaikh Abu Bakar al Qaffal al Marwazi
- Syaikh Abdullah bin Yusuf al Juwaini
- Imam al Haramain Abdul Muluk bin Abdullah al Juwaini
- Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad al Ghazali
- Syaikh Abu Fadhal bin Yahya
- Syaikh Abu Qosim Abdul Karim al Rafi’i
- Syaikh Abdurahman bin Abdul Ghafar al Quzwaini
- Syaikh Muhammad bin Muhammad Shahibus Syamil Shagir
- Syaikh al Kamar Silar al Ardabili
- Syaikh Muhyiddin Syaraf al Nawawi
- Syaikhul Islam ‘Ulauddin al Athar
- Al Hafidl Abdurahim bin Husaini al Iraqi
- Al Hafidl Ahmad bin Hajar al Asqalani
- Syaikhul Islam Zakaria al Anshari
- Syaikh Syihabudin Ahmad bin Hamzah al Ramli
- Syaikh Ibnu Hajar al Haitami
- Syaikh Syamsudin al Jamal Muhammad al Ramli
- Syaikh Ali bin Isa al Halabi
- Syaikh Sulthan al Muzaji
- Syaikh Ahmad al Basybisyi
- Syaikh Ahmad al Khalifi
- Syaikh al Syamsu al Hifni
- Syaikh Abdullah bin Hijazi al Syarqawi
- Syaikh Ibrahim al Bajuri
- Ahmad Rifa’i bin Muhammad bin Abisujak
- Abdul Manan
- Abdul Syukur
Sebagai catatan, ada pendapat yang menyebut bahwa K. Abdul Manan tidak bertemu langsung dengan KH. Ahmad Rifa’i, melainkan belajar dari Mbah Tubo dan Mbah Abdul Qohar. Saat itu, KH. Ahmad Rifa’i telah pindah ke Desa Kalisalak, Batang, karena adanya fitnah dari pihak yang tidak menyukainya. Pesantren di Kendal kemudian dipercayakan kepada Mbah Maghfuro (menantunya), Mbah Tubo, dan Mbah Qohar (santri senior).
Metode Dakwah K. Abdul Syukur
K. Abdul Syukur berdakwah menyebarkan agama Islam dengan bersumber pada Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas, menggunakan metode Tarajjumah (alih bahasa dari Arab ke Bahasa Jawa), sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya, K. Abdul Manan.
Sistem Tarajjumah ini berasal dari guru besar mereka, KH. Ahmad Rifa’i. Metode ini bertujuan memperkenalkan syariat Islam kepada masyarakat Jawa dengan bahasa yang mudah dipahami, yaitu Bahasa Jawa Pegon. Kitab-kitab yang digunakan dalam metode ini adalah karya KH. Ahmad Rifa’i, yang menitikberatkan pada tiga ilmu dasar:
- Ilmu Ushuluddin (dasar-dasar agama)
- Ilmu Furu’uddin/Fiqih (cabang-cabang agama)
- Ilmu Tasawuf (sifat-sifat terpuji dan tercela)
Ciri khas dari metode ini adalah penggunaan nadham dan syi’ir-syi’ir berbahasa Jawa. Para santri diharuskan menghafal syarat wudu, mandi, salat, puasa, zakat, dan haji, beserta rukun dan pembatalnya, serta ilmu mu’amalah lainnya dalam bentuk syi’ir. Hal ini memudahkan pemahaman, baik bagi santri anak-anak maupun orang dewasa.
Metode ini berlandaskan pada firman Allah:
“Kami (Allah) tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya supaya ia menjelaskan kepada mereka.”
Metode Tarajjumah ini berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dengan mazhab Imam Syafi’i dalam fiqih, Abu Hasan al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam Ushuluddin, serta Imam Junaid al-Baghdadi dalam ilmu tasawuf.
Murid-Murid K. Abdul Syukur
Karena ketekunan dan kesabarannya dalam berdakwah, banyak warga sekitar yang menjadi santri K. Abdul Syukur. Selain itu, penggunaan bahasa yang mudah dipahami membuat banyak perempuan juga tertarik untuk belajar.
Di antara murid-muridnya adalah:
- Suto Gompeng
- Kromojimen
- Kasan Raji
- Keto Joyo
- Sakip
- Sabidin
- Saimah
- Kaliyah
- Madiyah
- Pogono
- Podirono
- Kargono
- Pariyah
- dan lain-lain
Awalnya, K. Abdul Syukur mengajar di rumahnya. Namun karena jumlah santri yang terus bertambah, ia mendirikan sebuah surau (mushala) untuk menampung mereka.
Mendirikan Salat Jumat
Pada mulanya, Desa Baturejo hanya memiliki satu masjid, yaitu Masjid Wali, yang konon dibangun oleh para wali. Setelah mengalami kerusakan akibat kebakaran, masjid tersebut direnovasi oleh H. Ramlah dari Sukoilo.
Pada saat itu, takmir masjid dijabat oleh Mbah Ngaspan dari Dukuh Ronggo, ayah dari Mbah Sugeng. Karena perbedaan pandangan mengenai ‘adadul jum’ah (bilangan sah salat Jumat), K. Abdul Syukur akhirnya mendirikan pelaksanaan Jumat sendiri bersama para santrinya. Surau di depan rumahnya dijadikan tempat pelaksanaan salat Jumat (yang kini menjadi Masjid Baitul Muttaqin). Karena jamaah semakin banyak, mushala tersebut diubah menjadi masjid.
Pandangan K. Abdul Syukur ini didasarkan pada hasil pengajiannya bersama K. Abdul Manan dan kitab KH. Ahmad Rifa’i, yang menyatakan bahwa jumlah jamaah salat Jumat harus benar-benar sah menurut syariat. Dalam kitab Riayatul Himmah (Juz Awwal) disebutkan bahwa:
“Jika jumlah jamaah Jumat mencapai 40 orang, namun satu di antaranya ummi (bacaan salatnya tidak sah) akibat kelalaian, maka seluruh salat Jumat tidak sah.”
Perbedaan pendapat tersebut juga meliputi bilangan sah Jumat menurut Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang dianut oleh Mbah Ngaspan dan K. Abdul Syukur. Karena pertimbangan-pertimbangan ini, K. Abdul Syukur mendirikan salat Jumat sendiri.
Secara fiqih, dalam satu desa boleh terdapat lebih dari satu pelaksanaan salat Jumat jika tempat tidak memadai atau terdapat perbedaan pandangan. Bahkan, Syaikh Ismail Zain dalam kitab Fatawa Ismail Zain menjelaskan bahwa salat Jumat tidak harus satu di satu desa, asalkan tidak menimbulkan permusuhan atau kebencian antar sesama muslim.
Wallāhu a‘lam.
K. Abdul Syukur Dilaporkan ke Karesidenan Pati
Sekitar tahun 1900, Pemerintah Kolonial Belanda melalui Pemerintah Pribumi yang setia kepada mereka, membuat aturan bahwa dalam satu desa tidak boleh ada jam’iyyah atau kelompok yang berbeda paham dari mereka.
K. Abdul Syukur dipaksa untuk bergabung dengan kelompok tersebut, namun ia menolak karena memiliki pemahaman berbeda. Ia beberapa kali didatangi oleh pejabat Pemerintah Kolonial untuk dipaksa bergabung, bahkan mereka sempat berusaha merampas kitab Tarajjumah, meskipun tidak berhasil karena kitab tersebut disembunyikan.
Pemerintah mencurigainya hendak mendirikan negara sendiri. Ia bahkan pernah ditanyai tentang kitab-kitab yang dikaji. Akhirnya, ada pihak yang berlaku curang dengan menyuruh orang untuk mencelakainya, karena tidak ada bukti kuat untuk menuduhnya sebagai pihak yang salah.
Perjalanan K. Abdul Syukur dengan Nyai Kasni
Setelah cukup lama tinggal dan berjuang di Desa Baturejo, K. Abdul Syukur menikah lagi dengan salah satu santri perempuannya yang bernama Kasni. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai tiga orang anak:
- Masyhuri
- Masruhin
- Khunainah
Wafat K. Abdul Syukur
Setelah menempuh perjuangan panjang dan berhasil membuat para santri memahami agama secara rinci, serta usianya yang telah senja, K. Abdul Syukur lebih banyak mengisi hari-harinya untuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT) dengan khalwat (menyendiri) dan munajat (berbisik) kepada-Nya.
Akhirnya, tiba saatnya ia menghadap Allah SWT untuk mengakhiri hubungan duniawi dan menatap kehidupan ukhrawi. K. Abdul Syukur wafat pada hari Jumat Kliwon, bulan Dzulhijjah sekitar tahun 1930 M. Makamnya berada di pemakaman umum Desa Baturejo, Dukuh Bacem.
Setelah K. Abdul Syukur wafat, ibunda ‘Aisyah kembali ke Desa Dongan (sebelumnya ia tinggal bersama K. Abdul Syukur di Desa Baturejo sejak suaminya kembali dari pesantren dan memulai perjuangannya). Ia kemudian ikut tinggal bersama putrinya, Rubinah. Sementara Nyai Kasni wafat pada hari Ahad Pahing, 22 Desember 2002 / 17 Syawal 1422 H.
Wallāhu a‘lam.
Penulis: A. Nur Aziz
Editor: Yusril Mahendra
Sumber: Biografi dan Sejarah Perjuangan Kyai Abdul Syukur