Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Sejarah

K. Abdul Syukur: Pelopor Dakwah Tarajumah di Baturejo Pati

Tim Redaksi by Tim Redaksi
June 10, 2025
in Sejarah, Tokoh
0
K. Abdul Syukur: Pelopor Dakwah Tarajumah di Baturejo Pati
0
SHARES
55
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Terdapat seorang wanita yang biasa dipanggil Isyah (nama lengkapnya ‘Aisyah). Ia adalah warga Desa Payaman, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Ia merupakan wanita yang baik dan patuh kepada suaminya (nama suaminya belum diketahui, konon ia adalah Wedono di Desa Payaman).

Dengan suaminya, Isyah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdul Syukur. Isyah sendiri adalah anak pertama dari empat bersaudara:

  1. Karnadi (bertempat tinggal di Desa Bodong, Kudus)
  2. Ngado (bertempat tinggal di Desa Hadiwarno, Kudus)
  3. Sarinah (bertempat tinggal di Desa Bodong, Kudus)

Hari berganti hari, bulan berubah menjadi tahun, demikian mereka menjalani hidup. Entah karena sebab apa, keluarga Isyah diberi cobaan oleh Allah SWT berupa kegagalan dalam rumah tangga. Isyah pun memutuskan keluar dari rumahnya. Sambil menggendong anak laki-laki yang masih kecil itu, Isyah berjalan menelusuri jalan ke arah timur. Sesampainya di Desa Jojo, Kudus, Isyah dan anak yang digendongnya beristirahat karena hari telah malam. Berhubung Isyah tidak memiliki sanak saudara di kampung tersebut, ia menginap di pemakaman setempat. Gelap gulita dan dingin menjadi teman tidurnya bersama anaknya di area pemakaman. Tangis yang tak henti-henti pun menjadi penghias malam, meratapi nasib dirinya dan anaknya yang harus ikut memikul beban berat itu.

Karena perjalanan yang jauh dan melelahkan, Isyah tertidur dan bermimpi. Konon dalam mimpinya ia didatangi seorang kakek yang berkata, “Kuwé ora usah susah-susah, kono mlaku ngidul ngetan, mengko lak kuwé dadi pedoyo.”

Ayam berkokok menandakan hari sudah pagi. Isyah pun terbangun dengan perasaan yang tak karuan karena mimpinya. Saat itu, adzan berkumandang dari masjid dan musala. Beberapa masyarakat setempat pergi ke masjid terdekat. Dalam salatnya, Isyah berdoa agar diberikan petunjuk oleh Allah. Setelah merenung dan mempertimbangkan dengan matang, Isyah pun melangkahkan kakinya ke arah tenggara bersama anaknya. Teriknya matahari dan rasa lelah karena menggendong anaknya tidak ia hiraukan.

Setelah berjalan cukup lama, Isyah sampai di Desa Dongan, Sukolilo. Karena merasa letih, ia berniat untuk beristirahat di bawah pohon rindang. Saat itu datanglah seorang laki-laki yang menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Dengan wajah murung dan perasaan yang sendu, Isyah menceritakan seluruh kejadian yang telah dialaminya. Laki-laki itu pun terharu dan karena merasa kasihan, ia mengajak Isyah untuk singgah di rumahnya. Istri dari laki-laki itu menyambut Isyah dengan suguhan ala kadarnya. Setelah mendengar cerita Isyah, pasangan suami istri tersebut—yang sudah lama menikah namun belum dikaruniai anak—menawarkan kepada Isyah untuk menjadi anak angkat mereka. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Isyah pun bersedia. Sejak saat itu, ia menjalani hari-harinya bersama anaknya dan keluarga tersebut dengan riang, sambil membantu kegiatan rumah tangga.

Waktu pun berlalu, Abdul Syukur tumbuh menjadi anak yang semakin besar. Beberapa tahun kemudian, Isyah dijodohkan oleh ayah angkatnya dengan seorang laki-laki dari Desa Landoh, Kayen, bernama Podirono. Setelah menikah, mereka tinggal di Desa Dongan. Dari pernikahan tersebut, Isyah dikaruniai dua anak perempuan: Kina dan Kimah (keduanya meninggal di Desa Dongan). Kini Isyah memiliki tiga anak, dan hal tersebut menjadi motivasi hidupnya. Usaha warung nasi yang mereka jalani berkembang pesat dari waktu ke waktu hingga menjadi keluarga yang kaya.

Saat merenung, Isyah teringat akan mimpi yang pernah ia alami. Dalam mimpi tersebut, dikatakan bahwa ia akan menjadi pedoyo (pelayan orang lain), yang kini menjadi kenyataan. Sementara itu, Abdul Syukur tumbuh menjadi pemuda dewasa dan membantu orang tuanya mengelola warung makan serta menggarap sawah. Setelah dianggap cukup umur, ia dijodohkan dengan seorang gadis dari Desa Landoh bernama Suminah. Namun, tidak lama setelah pernikahan, mereka berpisah.

Kemudian Abdul Syukur menikah lagi dengan Satiah, anak dari Pandu, yang berasal dari Dukuh Bombong, Desa Baturejo. Satiah pun diboyong ke Dongan, tempat orang tua Abdul Syukur tinggal. Dari pernikahan tersebut, Abdul Syukur dikaruniai lima anak:

  1. Kasmirah
  2. Matsirin
  3. Sarjani
  4. Sarmani (meninggal usia balita)
  5. Karti

Semua anak Abdul Syukur dimakamkan di pemakaman umum Desa Baturejo, kecuali Sarjani yang dimakamkan di Desa Tambangsari.

Pendidikan K. Abdul Syukur

Abdul Syukur merupakan sosok yang cukup pandai. Ia mampu menguasai tembang sanepo dan hafal suluk ambiyo, sebuah keterampilan yang jarang dimiliki. Berangkat dari kemampuan itu, ia memiliki keinginan menjadi seorang dalang. Ia pun mengutarakan keinginannya kepada teman-temannya. Namun, mereka menyarankan agar Abdul Syukur menuntut ilmu di Pesantren Kiai Abdul Manan, Tepuro, Purwodadi.

Sebelumnya, setiap malam Abdul Syukur memanfaatkan waktunya untuk bertukar pendapat dan wawasan, khususnya mengenai agama Islam, dengan Kiai Abdul Hannan dari Dukuh Tambangsari, Kecamatan Sukolilo. Kiai Abdul Hannan merupakan santri dari Kiai Abdul Manan Tepuro. Karena ketertarikan dan haus akan ilmu agama, serta dorongan dari cahaya hidayah Allah SWT, Abdul Syukur pun memutuskan belajar mengaji di bawah bimbingan Kiai Abdul Manan di Tepuro, Purwodadi.

Tak hanya pergi sendiri, ia mengajak istri dan anak-anaknya untuk ikut mondok. Demi menuntut ilmu, Abdul Syukur rela meninggalkan seluruh harta bendanya.

Inilah hidayah dari Allah. Jika Allah telah berkehendak kepada hamba-Nya, maka segalanya akan terjadi.

Tekad kuat menjadi hamba yang lebih baik serta pengorbanan jiwa dan raga demi meraih rida Allah SWT menjadi tujuan utama. Bagaimana tidak, Abdul Syukur yang telah berkeluarga dan lama menetap di suatu tempat harus hijrah ke tempat lain, meninggalkan segalanya demi belajar ilmu agama. Sebuah proses besar yang dijalaninya tanpa beban, justru dengan penuh semangat, tanpa merasa malu meski belajar bersama para santri yang lebih muda.

Setelah beberapa waktu, Abdul Syukur memiliki beberapa teman seperjuangan dalam menyiarkan agama Islam di daerah masing-masing yang dikenal masyarakat, di antaranya:

  1. Kiai Jazuli (Sundoluhur, Kayen, Pati)
  2. K. Abdul Hannan (Tambangsari, Sukolilo, Pati)
  3. K. Sholeh (Lebosari, Kendal)

Di antara mereka, Abdul Syukur adalah santri yang paling tua. Karena ia telah berkeluarga, Kiai Abdul Manan menyediakan gotakan tersendiri (ruang keluarga) yang berbeda dari santri lainnya untuk ditempati bersama istri dan anaknya. Ketika pertama kali mondok, Abdul Syukur baru memiliki satu anak, yaitu Kasmirah, yang kemudian dinikahkan dengan Hasan Asy’ari, sesama santri Kiai Abdul Manan. Selama di pesantren, ia dikaruniai dua anak lagi: Matsirin dan Sarjani.

Melaksanakan Titah Sang Guru

Setelah kurang lebih 10 tahun belajar dan dinilai telah menguasai ilmu yang diajarkan oleh K. Abdul Manan, Abdul Syukur diutus oleh gurunya untuk berdakwah menyebarkan agama Islam di sebelah utara Gunung Sukolilo. Ia pun berangkat menuju rumah mertuanya di Dukuh Bombong, Desa Baturejo.

Menurut titah gurunya, ia diminta memulai dakwah di wilayah barat sungai dari dukuh tersebut. Konon, masyarakat di wilayah itu lebih mudah diarahkan. Dengan harapan kelak dakwahnya akan diterima, Abdul Syukur pun mulai menyebarkan Islam kepada masyarakat sekitar yang saat itu memiliki kebiasaan jauh dari syariat Islam: berjudi, mabuk-mabukan, tayuban, madon, dan kebiasaan buruk lainnya. Sifat kasar dan arogan melekat pada mereka.

Dengan berpegang pada firman Allah:

“Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.”

K. Abdul Syukur berdakwah dengan pendekatan yang lembut dan penuh hikmah, menyampaikan ajaran Islam tentang tata cara wudu, salat, zakat, puasa, haji, serta sifat-sifat terpuji dan tercela. Secara perlahan, ia mengubah kebiasaan masyarakat yang buruk menjadi lebih baik sesuai syariat Islam.

Contohnya, kebiasaan masyarakat ketika ada kematian adalah berjudi di malam hari agar suasana rumah tidak sepi, biasanya dilakukan selama tujuh hari. Kebiasaan ini diubah oleh K. Abdul Syukur menjadi kegiatan tahlilan, zikir, dan doa.

Ia sadar bahwa perjuangan pasti menghadapi rintangan. Namun, semua hambatan dijadikan motivasi untuk terus berdakwah. Ia hanya pasrah kepada Allah SWT, karena hanya Allah yang mampu mengubah suatu kaum. K. Abdul Syukur hanya menyampaikan ajaran, dan sejarah mencatat bahwa dialah orang pertama yang berdakwah dengan metode Tarajjumah di Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Silsilah Guru K. Abdul Syukur

K. Abdul Syukur berguru kepada K. Abdul Manan dari Desa Tepuro, Purwodadi, Grobogan. Menurut KH. Syadirin Amin dalam karyanya Mengenal Ajaran Tarajjumah H. Ahmad Rifa’i, K. Abdul Manan merupakan salah satu dari 51 murid inti KH. Ahmad Rifa’i yang diberi tanggung jawab sebagai lurah pondok (ketua kamar) dan ditugaskan berdakwah di daerah masing-masing.

Silsilah keilmuan K. Abdul Syukur adalah sebagai berikut:

  1. Allah SWT
  2. Malaikat Jibril
  3. Nabi Muhammad SAW
  4. Imam Abdullah bin Abbas Ash-Shohabi
  5. Imam ‘Atha’ bin Rabah al Maki al Quraisy
  6. Imam Abdul Muluk bin Juraij
  7. Imam Muslim bin Khalid az-Zanji
  8. Imam al-Mujtahid Muhammad bin Idris As-Syafi’i
  9. Syaikh Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzani
  10. Syaikh Abul Wosim Utsman bin Said bin Basyar al-Anamri
  11. Syaikh Abu Ishaq al Marwazi
  12. Syaikh Abu Yazid al Marwazi
  13. Syaikh Abu Bakar al Qaffal al Marwazi
  14. Syaikh Abdullah bin Yusuf al Juwaini
  15. Imam al Haramain Abdul Muluk bin Abdullah al Juwaini
  16. Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad al Ghazali
  17. Syaikh Abu Fadhal bin Yahya
  18. Syaikh Abu Qosim Abdul Karim al Rafi’i
  19. Syaikh Abdurahman bin Abdul Ghafar al Quzwaini
  20. Syaikh Muhammad bin Muhammad Shahibus Syamil Shagir
  21. Syaikh al Kamar Silar al Ardabili
  22. Syaikh Muhyiddin Syaraf al Nawawi
  23. Syaikhul Islam ‘Ulauddin al Athar
  24. Al Hafidl Abdurahim bin Husaini al Iraqi
  25. Al Hafidl Ahmad bin Hajar al Asqalani
  26. Syaikhul Islam Zakaria al Anshari
  27. Syaikh Syihabudin Ahmad bin Hamzah al Ramli
  28. Syaikh Ibnu Hajar al Haitami
  29. Syaikh Syamsudin al Jamal Muhammad al Ramli
  30. Syaikh Ali bin Isa al Halabi
  31. Syaikh Sulthan al Muzaji
  32. Syaikh Ahmad al Basybisyi
  33. Syaikh Ahmad al Khalifi
  34. Syaikh al Syamsu al Hifni
  35. Syaikh Abdullah bin Hijazi al Syarqawi
  36. Syaikh Ibrahim al Bajuri
  37. Ahmad Rifa’i bin Muhammad bin Abisujak
  38. Abdul Manan
  39. Abdul Syukur

Sebagai catatan, ada pendapat yang menyebut bahwa K. Abdul Manan tidak bertemu langsung dengan KH. Ahmad Rifa’i, melainkan belajar dari Mbah Tubo dan Mbah Abdul Qohar. Saat itu, KH. Ahmad Rifa’i telah pindah ke Desa Kalisalak, Batang, karena adanya fitnah dari pihak yang tidak menyukainya. Pesantren di Kendal kemudian dipercayakan kepada Mbah Maghfuro (menantunya), Mbah Tubo, dan Mbah Qohar (santri senior).

Metode Dakwah K. Abdul Syukur

K. Abdul Syukur berdakwah menyebarkan agama Islam dengan bersumber pada Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas, menggunakan metode Tarajjumah (alih bahasa dari Arab ke Bahasa Jawa), sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya, K. Abdul Manan.

Sistem Tarajjumah ini berasal dari guru besar mereka, KH. Ahmad Rifa’i. Metode ini bertujuan memperkenalkan syariat Islam kepada masyarakat Jawa dengan bahasa yang mudah dipahami, yaitu Bahasa Jawa Pegon. Kitab-kitab yang digunakan dalam metode ini adalah karya KH. Ahmad Rifa’i, yang menitikberatkan pada tiga ilmu dasar:

  1. Ilmu Ushuluddin (dasar-dasar agama)
  2. Ilmu Furu’uddin/Fiqih (cabang-cabang agama)
  3. Ilmu Tasawuf (sifat-sifat terpuji dan tercela)

Ciri khas dari metode ini adalah penggunaan nadham dan syi’ir-syi’ir berbahasa Jawa. Para santri diharuskan menghafal syarat wudu, mandi, salat, puasa, zakat, dan haji, beserta rukun dan pembatalnya, serta ilmu mu’amalah lainnya dalam bentuk syi’ir. Hal ini memudahkan pemahaman, baik bagi santri anak-anak maupun orang dewasa.

Metode ini berlandaskan pada firman Allah:

“Kami (Allah) tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya supaya ia menjelaskan kepada mereka.”

Metode Tarajjumah ini berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dengan mazhab Imam Syafi’i dalam fiqih, Abu Hasan al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam Ushuluddin, serta Imam Junaid al-Baghdadi dalam ilmu tasawuf.

Murid-Murid K. Abdul Syukur

Karena ketekunan dan kesabarannya dalam berdakwah, banyak warga sekitar yang menjadi santri K. Abdul Syukur. Selain itu, penggunaan bahasa yang mudah dipahami membuat banyak perempuan juga tertarik untuk belajar.

Di antara murid-muridnya adalah:

  • Suto Gompeng
  • Kromojimen
  • Kasan Raji
  • Keto Joyo
  • Sakip
  • Sabidin
  • Saimah
  • Kaliyah
  • Madiyah
  • Pogono
  • Podirono
  • Kargono
  • Pariyah
  • dan lain-lain

Awalnya, K. Abdul Syukur mengajar di rumahnya. Namun karena jumlah santri yang terus bertambah, ia mendirikan sebuah surau (mushala) untuk menampung mereka.

Mendirikan Salat Jumat

Pada mulanya, Desa Baturejo hanya memiliki satu masjid, yaitu Masjid Wali, yang konon dibangun oleh para wali. Setelah mengalami kerusakan akibat kebakaran, masjid tersebut direnovasi oleh H. Ramlah dari Sukoilo.

Pada saat itu, takmir masjid dijabat oleh Mbah Ngaspan dari Dukuh Ronggo, ayah dari Mbah Sugeng. Karena perbedaan pandangan mengenai ‘adadul jum’ah (bilangan sah salat Jumat), K. Abdul Syukur akhirnya mendirikan pelaksanaan Jumat sendiri bersama para santrinya. Surau di depan rumahnya dijadikan tempat pelaksanaan salat Jumat (yang kini menjadi Masjid Baitul Muttaqin). Karena jamaah semakin banyak, mushala tersebut diubah menjadi masjid.

Pandangan K. Abdul Syukur ini didasarkan pada hasil pengajiannya bersama K. Abdul Manan dan kitab KH. Ahmad Rifa’i, yang menyatakan bahwa jumlah jamaah salat Jumat harus benar-benar sah menurut syariat. Dalam kitab Riayatul Himmah (Juz Awwal) disebutkan bahwa:

“Jika jumlah jamaah Jumat mencapai 40 orang, namun satu di antaranya ummi (bacaan salatnya tidak sah) akibat kelalaian, maka seluruh salat Jumat tidak sah.”

Perbedaan pendapat tersebut juga meliputi bilangan sah Jumat menurut Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang dianut oleh Mbah Ngaspan dan K. Abdul Syukur. Karena pertimbangan-pertimbangan ini, K. Abdul Syukur mendirikan salat Jumat sendiri.

Secara fiqih, dalam satu desa boleh terdapat lebih dari satu pelaksanaan salat Jumat jika tempat tidak memadai atau terdapat perbedaan pandangan. Bahkan, Syaikh Ismail Zain dalam kitab Fatawa Ismail Zain menjelaskan bahwa salat Jumat tidak harus satu di satu desa, asalkan tidak menimbulkan permusuhan atau kebencian antar sesama muslim.

Wallāhu a‘lam.

K. Abdul Syukur Dilaporkan ke Karesidenan Pati

Sekitar tahun 1900, Pemerintah Kolonial Belanda melalui Pemerintah Pribumi yang setia kepada mereka, membuat aturan bahwa dalam satu desa tidak boleh ada jam’iyyah atau kelompok yang berbeda paham dari mereka.

K. Abdul Syukur dipaksa untuk bergabung dengan kelompok tersebut, namun ia menolak karena memiliki pemahaman berbeda. Ia beberapa kali didatangi oleh pejabat Pemerintah Kolonial untuk dipaksa bergabung, bahkan mereka sempat berusaha merampas kitab Tarajjumah, meskipun tidak berhasil karena kitab tersebut disembunyikan.

Pemerintah mencurigainya hendak mendirikan negara sendiri. Ia bahkan pernah ditanyai tentang kitab-kitab yang dikaji. Akhirnya, ada pihak yang berlaku curang dengan menyuruh orang untuk mencelakainya, karena tidak ada bukti kuat untuk menuduhnya sebagai pihak yang salah.

Perjalanan K. Abdul Syukur dengan Nyai Kasni

Setelah cukup lama tinggal dan berjuang di Desa Baturejo, K. Abdul Syukur menikah lagi dengan salah satu santri perempuannya yang bernama Kasni. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai tiga orang anak:

  1. Masyhuri
  2. Masruhin
  3. Khunainah

Wafat K. Abdul Syukur

Setelah menempuh perjuangan panjang dan berhasil membuat para santri memahami agama secara rinci, serta usianya yang telah senja, K. Abdul Syukur lebih banyak mengisi hari-harinya untuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT) dengan khalwat (menyendiri) dan munajat (berbisik) kepada-Nya.

Akhirnya, tiba saatnya ia menghadap Allah SWT untuk mengakhiri hubungan duniawi dan menatap kehidupan ukhrawi. K. Abdul Syukur wafat pada hari Jumat Kliwon, bulan Dzulhijjah sekitar tahun 1930 M. Makamnya berada di pemakaman umum Desa Baturejo, Dukuh Bacem.

Setelah K. Abdul Syukur wafat, ibunda ‘Aisyah kembali ke Desa Dongan (sebelumnya ia tinggal bersama K. Abdul Syukur di Desa Baturejo sejak suaminya kembali dari pesantren dan memulai perjuangannya). Ia kemudian ikut tinggal bersama putrinya, Rubinah. Sementara Nyai Kasni wafat pada hari Ahad Pahing, 22 Desember 2002 / 17 Syawal 1422 H.

Wallāhu a‘lam.


Penulis: A. Nur Aziz
Editor: Yusril Mahendra

Sumber: Biografi dan Sejarah Perjuangan Kyai Abdul Syukur

Tags: BaturejoBiografiK. Abdul SyukurKH. Ahmad RifaiRifaiyah PatiTarajumah
Previous Post

Doa-doa Mbah Rifa’i, Doa yang tidak Memabukkan

Next Post

Gus Ketum Hadiri Pengajian Lapanan PD AMRI Temanggung: Menggaungkan Semangat Kaderisasi dan Membumikan Kitab Tarajumah

Tim Redaksi

Tim Redaksi

Next Post
Gus Ketum Hadiri Pengajian Lapanan PD AMRI Temanggung: Menggaungkan Semangat Kaderisasi dan Membumikan Kitab Tarajumah

Gus Ketum Hadiri Pengajian Lapanan PD AMRI Temanggung: Menggaungkan Semangat Kaderisasi dan Membumikan Kitab Tarajumah

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id