Suatu ketika, saya dinasihati oleh seorang sedulur yang sangat perhatian:
“Jangan terlalu memakai akal, pakailah hati agar hidupmu diberikan ketenangan.”
Sebagai sesama manusia, saya hanya menjawab, “Injih, Kang. Pandongane mawon.”
Wejangan sedulur tersebut sempat mengusik hati, hingga pikiran saya mengembara, penasaran atas dua makhluk bernama hati dan akal.
Saya terus terusik, apalagi ketika menemukan pendapat Imam Syafi’i dalam kitab Dzammul Hawa karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. Menurut Imam Syafi’i, akal terletak di dalam hati. Beliau mengacu kepada QS. Al-Hajj:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami…”
Artinya, jika akal berada di dalam hati, maka secara otomatis ketika menggunakan akal berarti juga menggunakan hati. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Ibarat memakai aplikasi, tentu kita menggunakan gadget. Maka, bisa jadi perintah “jangan sering pakai aplikasi, tapi pakailah smartphone” menjadi tidak tepat, sebab smartphone dan aplikasi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Bahkan, smartphone tanpa aplikasi hanya seperti gantungan kunci belaka.
Hubungan hati dengan akal menurut Sang Imam ibarat hubungan antara aplikasi dan smartphone. Akal sebagai aplikasinya (software), sedangkan hati sebagai hardware-nya.
Senada dengan pernyataan mujtahid mutlak tersebut, KH. Ahmad Rifa’i juga menyatakan dalam kitab Thariqat Gede, halaman 11:
ati atau aqal kakehan dosa, kena upase ma’siat mati rasa
Mari kita cermati kalimat tersebut. Ungkapan itu menunjukkan kewaspadaan KH. Ahmad Rifa’i dalam menggunakan kata-kata. Mengapa beliau tidak menuliskan “manusia kakehan dosa”, melainkan “ati atau aqal kakehan dosa”? Mbah Rifa’i mengidentifikasi inti manusia dengan menunjuk hati dan akal sebagai pembeda dengan hewan. Dengan keberadaan akal dan hati, manusia menjadi mukallaf, sehingga layak menjalani perintah dan larangan agama. Jelaslah bahwa yang membedakan manusia dari hewan adalah penggunaan akalnya.
Sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi, apabila seseorang mengerjakan maksiat, maka hatinya akan tertutup noktah hitam. Semakin sering ia melakukannya, semakin gelaplah hatinya. Akibatnya, pancaran cahaya yang menjadi pembeda antara hak dan batil akan memudar.
Hal ini juga dijelaskan oleh KH. Ahmad Rifa’i dalam nadhom Ri’ayah al-Himmah:
he eling-eling sekèh wong sah iman, ngistoaken kabeh ing Allah pituturan
lamon podo wedi sira kabeh kebatinan ing Allah, maka dadeaken kinaweruhan
munfaat kaduwe sira kabeh jujur, bisa beda-bedaaken tan ngawur
ing ala becike penggawe waspada tinutur
Maka, untuk menghilangkan noktah hitam yang menghalangi cahaya tersebut, perlu segera dilakukan tobat nasuha. Selain itu, agar hati kembali bercahaya, hendaknya ia sering digunakan untuk bertafakur, sebagaimana juga dituliskan oleh beliau:
utawi wong mikir tinemu kabenerane, yaiku dadi damare ati kapadangane
Melihat kalam para ulama tersebut, semakin jelaslah bahwa aktivitas berpikir—yang selama ini identik dengan amaliyah akal—justru menjadi sebab terangnya hati. Ibarat menggunakan aplikasi cleaner (pembersih ponsel), maka proses kerja ponsel pun menjadi lebih lancar.
Wallāhu a‘lam.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra