Pada 29 Mei 1993, secarik surat dikirim dari jantung Ibu Kota menuju Batang, Jawa Tengah. Surat ini bukan sekadar kertas berisi tulisan, melainkan sebuah manifesto kegigihan—gema perjuangan intelektual dari komunitas Rifa’iyah di perantauan yang tidak rela sejarah panutan mereka, KH. Ahmad Rifa’i, terhambat oleh kekeliruan administrasi. Sebelumnya, melalui Serat Cebolek, sejarah KH. Ahmad Rifa’i juga direkayasa sebagai bentuk pembunuhan karakter terhadap ketokohan beliau. Strategi perlawanan berupa black campaign oleh penjajah Belanda ini dilancarkan terutama setelah pemerintah Hindia Belanda kalah telak menghadapi Pangeran Diponegoro dan laskarnya.
Surat klarifikasi tersebut dikirim oleh Pimpinan Jamaah Masjid Baiturrahman Jakarta Pusat. Surat itu menjadi respons atas penangguhan permohonan gelar Pahlawan Nasional bagi sang kiai oleh DPRD Tingkat II Batang.
Dokumen bersejarah bernomor 324/PJ-Baiturahman/V/1993 ini merupakan potret inspiratif tentang bagaimana sebuah komunitas berjuang meluruskan sejarah—bukan dengan kepalan tangan, melainkan dengan argumentasi yang runut, data yang solid, dan semangat kebersamaan yang tak lekang oleh ruang dan waktu.
Dinding Penghalang Bernama SK Kejati 1981
Surat balasan dari Jamaah Rifa’iyah Jakarta ini dipicu oleh surat Ketua DPRD Batang (No. 220/173, tanggal 30 April 1993) yang menangguhkan proses pengusulan gelar pahlawan. Pangkal masalahnya adalah Surat Keputusan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah tertanggal 2 April 1981. SK tersebut melarang pengembangan ajaran “Islam Alim Adil” beserta buku pedomannya, Ri’ayatul Muhimmah, yang disebut sebagai karangan KH. Ahmad Rifa’i.
SK inilah yang tampaknya menjadi batu sandungan utama. Bagi pihak yang kurang memahami, Rifa’iyah disamakan dengan ajaran yang dilarang tersebut, sehingga merintangi jalan menuju pengakuan negara. Hal ini juga berdampak pada aktivitas harian Jamaah Rifa’iyah, di antaranya pelarangan pendirian jamaah salat Jumat.
Bukan Sekadar Jawaban, tetapi Pelurusan Sejarah
Menghadapi dinding penghalang ini, komunitas Rifa’iyah di Jakarta tidak tinggal diam. Melalui surat mereka kepada Ketua DPRD Batang, mereka menyajikan “sumbangan pemikiran” yang esensinya merupakan pembelaan dan klarifikasi yang cerdas serta strategis.
1. Kekeliruan Fatal pada Objek Larangan:
Argumen utama mereka sangat tajam: SK Kejati tersebut tidak relevan. Mereka menegaskan bahwa Rifa’iyah bukanlah kelompok “Islam Alim Adil”. Lebih penting lagi, buku pedoman yang mereka gunakan bukanlah Ri’ayatul Muhimmah yang dilarang, melainkan Ri’ayatal Himmat—dua judul yang terdengar mirip, tetapi merupakan entitas yang sama sekali berbeda.
2. Kekeliruan Identitas:
Mereka juga menyoroti detail krusial dalam SK Kejati tersebut. Nama sang kiai ditulis “Achmad” (menggunakan huruf ‘c’ sebelum ‘h’), sebuah ejaan yang tidak lazim. Hal ini memunculkan pertanyaan fundamental: “Ahmad Rifa’i anak siapa dan dari mana? Di Indonesia ini banyak nama Rifa’i.” Dengan kata lain, mereka meragukan apakah subjek dalam SK tersebut benar-benar merujuk pada Kiai Haji Ahmad Rifa’i yang mereka perjuangkan.
3. Kontribusi Positif sebagai Bukti:
Surat ini tidak hanya berisi sanggahan. Jamaah Rifa’iyah dengan bangga memaparkan eksistensi dan kontribusi positif mereka. Ormas Rifa’iyah yang didirikan pada 25 Desember 1991 bertujuan ikut serta dalam pembangunan nasional, meningkatkan pemahaman agama, pendidikan, dan kesejahteraan. Mereka aktif membangun masjid, madrasah, pondok pesantren, perpustakaan, banyak majelis taklim yang membina ruhani masyarakat, serta berbagai kegiatan sosial lainnya dengan restu dan pembinaan dari pemerintah daerah Batang.
Spirit Kegigihan dan Ibrah untuk Masa Kini
Surat dari Jakarta ini lebih dari sekadar dokumen administratif; ia adalah sumber inspirasi abadi. Ada beberapa pelajaran (ibrah) yang bisa dipetik oleh generasi sekarang:
- Pentingnya Akurasi dan Literasi Sejarah
Perjuangan ini menunjukkan betapa satu kekeliruan kecil—nama buku yang mirip, ejaan nama yang salah—dapat berdampak besar dan menghambat pengakuan terhadap jasa seorang tokoh. Ini mengajarkan kita untuk selalu teliti, kritis, dan tidak mudah menerima informasi tanpa verifikasi. - Perjuangan Intelektual dan Argumentatif
Komunitas Rifa’iyah menunjukkan bahwa perjuangan paling efektif sering kali dilakukan melalui jalur intelektual. Mereka mengumpulkan bukti, menyusun argumen yang logis, dan menyajikannya secara sistematis kepada pihak berwenang. Ini adalah contoh nyata kekuatan pena dan pemikiran. - Solidaritas dan Kepedulian Kolektif
Meskipun berada jauh di Jakarta, kepedulian mereka terhadap kehormatan leluhur dan sejarah di kampung halaman tidak surut. Solidaritas lintas geografis ini menjadi motor penggerak perjuangan mereka. - Menggunakan “Senjata” Sistem
Alih-alih melawan sistem secara membabi buta, mereka justru menggunakan produk sistem itu sendiri untuk memperkuat argumen mereka. Mereka merujuk pada laporan penelitian dari Departemen Agama dan berbagai rekomendasi dari instansi resmi lainnya untuk membuktikan legalitas dan keabsahan ajaran KH. Ahmad Rifa’i.
Pada akhirnya, surat ini adalah cerminan dari sebuah bangsa yang menghargai pahlawannya. Perjuangan Jamaah Rifa’iyah pada tahun 1993 untuk meluruskan fakta demi gelar pahlawan bagi Kiai Haji Ahmad Rifa’i adalah warisan semangat yang mengajarkan kita bahwa menjaga kehormatan sejarah adalah tanggung jawab setiap generasi.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra