Di beberapa daerah yang dahulu dikenal sebagai pusat ajaran Tarajumah, kini kita menyaksikan pemandangan yang getir: pengajian sorogan dan bandongan telah jarang terdengar, hafalan tanbihun dan duso gede lan cilik mulai memudar, dan masjid-masjid yang dulu ramai dengan jamaah Rifa’iyah kini mulai sunyi dari gema lalaran nadham tarojumah. Beberapa tempat yang dulunya menjadi mercusuar dakwah KH. Ahmad Rifa’i, kini hanya menyisakan cerita dan rasa empati dalam obrolan warga tua. Daerah-daerah itu masih ada, tapi ruh Rifa’iyah-nya perlahan tenggelam.
Ini bukan sekadar fenomena biasa. Ini adalah alarm yang menandakan bahwa warisan agung KH. Ahmad Rifa’i sedang berada di persimpangan jalan. Jika kita tidak segera mengambil peran, maka ajaran KH. Ahmad Rifa’i akan terkubur sebagai sejarah belaka—sejarah yang dibanggakan, namun tak lagi diamalkan. Karangan kitab KH. Ahmad Rifa’i yang lebih dari 65 kitab hanya akan menjadi artefak benda peninggalan sejarah saja.
Warisan yang Harus Dijaga, Bukan Hanya Dikenang
KH. Ahmad Rifa’i bukan hanya ulama besar, tetapi juga mujaddid yang menggubah ilmu tauhid, fiqih, tasawuf, hingga sosial-politik dalam bentuk syair yang mudah dipahami oleh masyarakat awam. Karya-karyanya seperti Riāyatal Himmah, Tasyrihatal Muhtāj, Tabyinal Islah, Abyanal Hawaaij, Asnal Miqosad, Husnul Mitholab, Wadhihah, Tadzkiyah, Muslihat, Tahsinah, —yang dikenal sebagai “Sepuluh Bismillah”— dan kitab lainnya adalah fondasi Tarajumah yang tak ternilai. Dan perlu dicatat, kitab-kitab ini hanya diajarkan secara utuh dan maknawi di lembaga dan pondok pesantren Rifa’iyah.
Rifa’iyah Hanya Bisa Diteruskan oleh Rifa’iyah
Mari kita kembali ke fenomena pekiknya suara alarm ajaran KH. Ahmad Rifa’i sedang berada di persimpangan jalan. Sebagian dari kita mungkin bertanya: mengapa bisa demikian? Jawabannya tidak jauh dari kita. Ajaran Tarajumah ini sejak awal memang ditanamkan dan ditumbuhkan dengan jalan yang eksklusif, sanad keilmuan yang turun-temurun dari guru ke murid, dari KH. Ahmad Rifa’i kepada para pengikutnya, dan selanjutnya sampai kepada kita hari ini. Tapi rantai itu hanya akan tetap kuat jika mata rantainya terus tersambung. Dan siapa lagi yang akan menyambungnya kalau bukan kita sendiri? Maka bila kita merelakan anak-anak kita tidak mendapatkan kesempatan ‘mengaji Rifa’iyah’, berarti kita memutus rantai sanad ini dengan tangan kita sendiri. Dan satu hal yang perlu kita sadari: ajaran Rifa’iyah tidak diwariskan secara otomatis, tetapi ditanamkan secara sadar melalui pendidikan.
Pendidikan Rifa’iyah bukan hanya soal sekolah atau ijazah dan bukan berbicara soal memilih sekolah atau pesantren yang ‘bagus’ semata, tetapi tentang menjaga amanah agung: menjaga dan mewariskan ajaran KH. Ahmad Rifa’i secara murni sampai ujung waktu.
Jangan Sampai Menyesal Kemudian
Kini beberapa orang tua dari kalangan Rifa’iyah memilih lembaga pendidikan umum atau pondok non-Rifa’iyah meski sadar anak-anak belum memiliki dasar kuat Tarajumah. Bukan salah. Tapi sayangnya, banyak dari mereka akhirnya menyesal karena anak-anak mereka tumbuh tanpa dasar Tarajumah. Mereka tidak hafal Tanbihun. Mereka tidak kenal dengan Asnal Miqosad atau Abyanal Hawaij. Bahkan, mereka mulai kesulitan membaca irengan di fase umur yang seharusnya menginjak ke ngaji maqsud.
Kita tidak sedang menyalahkan siapa-siapa. Tapi inilah saatnya untuk menyadari dan kembali ke rumah.

Ayo Sekolahkan dan Pondokkan Anak-anak Kita ke Lembaga Rifa’iyah!
Pendidikan Rifa’iyah bukan hanya soal sekolah atau ijazah. Ini tentang membentuk generasi yang lurus akidahnya, kuat ibadahnya, santun akhlaknya, dan istiqamah dalam manhaj Rifa’iyah. Dan pendidikan seperti itu hanya bisa diperoleh secara utuh di lembaga-lembaga Rifa’iyah yang masih menjaga warisan KH. Ahmad Rifa’i dengan sungguh-sungguh.
Tidak hanya pondok pesantren, lembaga pendidikan Rifa’iyah di berbagai daerah tersebar dan tersedia dari tingkat dasar hingga atas: TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK. Mereka tidak hanya mengajarkan kurikulum nasional, tetapi juga memastikan anak-anak kita mengenal dan mencintai ajaran KH. Ahmad Rifa’i, baik melalui hafalan, moco ireng, lafal makno, maqsud, musyawarah kitab, maupun pembiasaan akhlak.
Dengan memondokkan dan menyekolahkan anak-anak kita di lembaga Rifa’iyah, kita tidak hanya membekali mereka dengan ilmu dunia dan akhirat. Kita juga memastikan bahwa rantai keilmuan KH. Ahmad Rifa’i tetap hidup, bahwa pengajian di masjid dan langgar tetap berkumandang, bahwa jamaah tetap terjaga, dan bahwa Tarajumah tidak mati di tangan kita. Bahwa panggilan tanggung jawab sejarah telah terpenuhi.
Mari kita jaga, rawat, dan wariskan ajaran KH. Ahmad Rifa’i. Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah!
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali