Pendidikan itu bisa terjadi di mana pun dan kapan pun. Ia bukan monopoli guru di sekolah. Setiap manusia yang berkumpul dalam rangka mengolah manusia untuk mengerti, memahami, mendalami, menghayati, menyadari, mempraktekkan dan membiasakan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai agama dan nilai-nilai dari Allah. Itulah yang disebut pendidikan.
Orang tua yang mengajari anaknya cuci tangan dengan baik, agar ia mengerti memahami, mempraktekkan dan membiasakan kebersihan merupakan proses pendidikan dalam keluarga. Karena pemahaman dan pengertian itu dalam rangka menanamkan nilai yang disebut sebagai kebersihan. Bukankah annadlofatu minal iman (kebersihan sebagian dari iman).
Orang tua yang tiap pagi menemani anak-anaknya bal-balan di halaman rumah juga bisa dikatakan sebagai proses pembelajaran dalam rangka pendidikan. Karena orang tua sedang memproses transfer nilai keharmonisan, keegaliteran, sportifitas, dan kesehatan bersama anak-anaknya.
Apakah kita berani mengatakan Nabi tidak sedang mendidik cucunya Hasan Husain saat kakek dan cucu ini bermain mbek-mbekan? Ada sahabat yang lewat menyaksikannya dan berkata, “Sebaik-baiknya tunggangan.” Nabi menimpali, “Sebaik-baiknya penunggang.” Di sana Nabi sedang berproses mendidik cucunya untuk bersikap ajer-ajur, tawadlu, dan kasih sayang yang bersama-sama dialami, bukan diteorikan.
Tapi sesungguhnya Ali sebagai ayah dari si kembar melihat hal itu tidak tega, bahkan tidak kuasa melarang candaan mereka, karena Nabi begitu bahagia bersama cucunya. Sampai kedua putranya usai bermain bersama Simbah, lalu Ali njewer menegur dan memberikan pengertian kepada kedua anaknya, bahwa menaiki punggung Rasulullah merupakan hal yang kurang sopan. Ali waktu itu juga sedang mendidik anaknya menanamkan nilai kesopanan agar dilakukan kepada orang lain, terutama kakeknya.
Nilai pendidikan ini diprioritaskan oleh Nabi, bahkan ketika ia melakukan ibadah ritual sekalipun. Dalam sirah Nabawiyah kita temukan beberapa riwayat bahwa Nabi kedapatan salat sambil menggendong Umamah binti Abi al-‘Ash, putri Sayyidah Zainab. Artinya ibadah mahdlah tetap disambi momong dan momong itu inti dari pendidikan.
Pada suatu waktu saat Nabi sedang berkhutbah sebelum shalat Jumat, datang Hasan Husain dengan pakaian kembar berlari hendak menghampiri Kakek yang sedang di atas mimbar, kemudian kedapatan Nabi turun dari mimbar untuk menghampiri kedua cucunya dan menggendong mereka sambil melanjutkan khutbah. Bagaimana khutbah umat Islam di jaman sekarang? Nuansanya berbeda dengan jaman Nabi Saw yang humble.
Beberapa riwayat juga menceritakan tentang perihal Nabi yang mempercepat shalat saat mendengar tangisan anak. Dan memperlama sujud saat Hasan Husain menaiki punggungnya.
Itulah pentingnya pendidikan, hingga ritual mahdlah pun tidak bisa menghalangi jalannya proses pendidikan kasih sayang bersama anak cucu.
Kalau kita memperlajari sirah Nabawiyah maka kita akan menemukan bahwa keseluruhan hidup Rasulullah adalah pendidikan. Pendidikan itu dilakukan kapan pun, di mana pun, sedang mengerjakan apa pun, dilakukan dalam setiap sisi kehidupan.
Pada suatu kesempatan saat Nabi menerima surat ancaman balasan penyerangan dari Kafir Quraisy, setelah para kafir Arab itu mengalami kekalahan pada perang Badar. Maka Nabi mengajak musyawarah para sahabat, bagaimana mengantisipasi dan rencana menghadapi tantangan perang balas dendam itu.
Dalam musyawarah sebagian sahabat muda yang juga disemangati Hamzah bermaksud menghadapi Kafir Quraisy di luar kota Madinah, sedangkan Nabi sendiri sebenarnya lebih condong kepada pendapat agar bertahan di kota Madinah. Beberapa sahabat tua juga mendukung pendapat Nabi Saw. Tapi kebanyakan musyawirin menghendaki untuk menghadapi di medan perang. Nabi dengan berat hati mengabulkan permintaan mereka. Hingga terbukti bahwa kaum muslimin akhirnya mengalami kekalahan dalam perang Uhud.
Peristiwa kekalahan di perang Uhud merupakan proses pendidikan yang ditempuh Nabi Saw bersama sahabat-sahabatnya. Para sahabat dididik oleh Allah Swt dengan turunnya firman Allah QS. Ali Imran: 165
اَوَلَمَّا اَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ اَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَاۙ قُلْتُمْ اَنّٰى هٰذَا ۗ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اَنْفُسِكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
”Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sungguh, Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.”
Karena sebelumnya para sahabat, khususnya pasukan pemanah melanggar pesan Nabi agar tidak hengkang dari tempatnya di jabal rahmah. Mereka kepencut ngrayah harta rampasan perang (ghanimah) hingga mereka tidak mengingat arti pentingnya sami’na wa’atho’na kepada pimpinan.
Pada peristiwa itu Nabi juga dididik oleh Allah melalui firmannya QS. Ali Imron: 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
”Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Secara basyariah Nabi kecewa atas penghianatan para sahabat pemanah, juga ia kecewa karena beberapa peringatan mimpi Nabi sebelum perang uhud yang mengindikasikan kekalahan kaum muslimin direspon para sahabat dengan semangat membabi buta, karena masih ada nuansa euphoria kemenangan saat perang badar.
Tapi kekecewaan itu dipupuskan oleh Tuhan dengan turunnya Firman Allah tersebut. Tetap disuruh memaafkan dan memintakan maaf kepada mereka. Nabi didik oleh Tuhan untuk tetap berbesar hati atau atine tetep nyegoro.
Sirah Nabi tersebut sedang mengajarkan kepada kita bahwa semangat pendidikan itu adalah semangat sinau bareng. Guru bisa belajar dari muridnya, dan semestinya murid belajar dari gurunya. Orang tua tak sungkan untuk menggali pengetahuan dan pengalaman dan anaknya, (ojo isin binahu sabab takaburan) Harapannya setiap manusia mempunyai mentalitas murid, (orang yang selalu menghendaki tambahnya ilmu.) Setiap orang sebaiknya punya karakter nimbo walau kadang ngecuri juga.
Saya sering belajar dari anak saya tentang tajamnya memori ingatannya. Ketika saya mendongeng, atau berkisah tentang sahabat, seringkali anak saya mengingatkan tentang nama tokoh yang keliru saya ucapkan, dan bahkan tentang alur cerita yang kurang pas. Ternyata sebelum mendengar kisah dari Bapaknya ia sudah lebih dulu menyaksikannya di youtube. Alamak
Bahkan saat saya kelamaan menggunakan laptop, dan agak lupa waktu salat. Anak saya yang sekarang berusia 8 tahun tiba-tiba menyentuh laptop. Dan ia nerocos memperingatkan ayahnya, ”wes, yah. Wis panas laptope, ayah juga durung salat kan?” Begitulah dalam pendidikan keluarga, seorang ayah dan ibu juga seringkali sebagai ‘murid’ dari anak-anaknya.
Paesan Tengah, 12 April 2025
Penulis: Ahmad Saefullah
Editor: Ahmad Zahid Ali