Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Reportase Tahsinah: Ketika Huruf Demi Huruf Menjadi Jalan Menuju Surga

Perjalanan Mengembalikan Kesahihan Bacaan Al-Qur'an Melalui Kitab Warisan 173 Tahun Lalu

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
October 4, 2025
in Kolom
0
Kitab Tahsinah

Kitab Tahsinah karya KH. Ahmad Rifa'i. (Gambar: Wanantara blasemarang)

0
SHARES
126
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Malam itu, di gedung Pimpinan Pusat Rifaiyah Batang Jawa Tengah, KH Khairuddin Hasbullah, Wakil Ketua Dewan Syuro PP. Rifaiyah membuka sebuah kitab tipis bersampul lusuh. Halaman-halamannya menguning dimakan usia. Tulisan Arab Pegon-nya masih terbaca jelas, ditulis dengan tangan pada 22 Dzulhijjah 1268 Hijriyah—atau 173 tahun yang lalu.

“Bayangkan,” suara beliau memecah keheningan, “kitab ini ditulis tahun 1851 Masehi. Saat itu masih masa kolonialisme. Pendidikan Islam belum menyebar. Banyak orang baca Al-Qur’an, baca Fatihah awur-awuran, ambyar.”

Para hadirin terdiam. Beberapa mengangguk perlahan, seolah mengingat pengalaman serupa di masjid-masjid kampung mereka.

Warisan yang Hampir Terlupakan

KH Ahmad Rifa’i, pelopor gerakan Rifaiyah, bukan hanya seorang salik. Beliau adalah pendidik yang peka terhadap realitas umatnya. Di tengah zaman ketika banyak Muslim Indonesia belum bisa membaca Al-Qur’an dengan benar, beliau menulis “Tahsinah”—sebuah kitab tentang makharijul huruf (tempat keluarnya huruf) dan sifatul huruf (karakteristik huruf).

“Pantas kalau murid-murid Syekh Ahmad Rifa’i agak peka,” KH Khairuddin tersenyum. “Kalau melihat ada orang baca Al-Qur’annya ambyar, mau makmum susah hatinya untuk menerima. Karena bagaimana bisa seorang imam tapi bacaannya ambyar, padahal Rasulullah bersabda: yang berhak menjadi imam adalah yang paling bagus bacaannya.”

Hal ini memang menjadi kegundahan sendiri bagi orang-orang yang belum mengenal Rifaiyah. Seringkali bertanya, kenapa Warga RIfa’iyah kadang enggan untuk bermakmum kepada orang yang belum diketahui keabsahan bacaan al-Qur’an-nya.

Kini, 173 tahun kemudian, kitab itu dibuka kembali. Bukan sebagai artefak sejarah, melainkan sebagai obat bagi penyakit yang sama: bacaan Al-Qur’an yang masih “ambyar” di mana-mana juga masih terjadi.

Sebuah Huruf, Dua Makna

“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin,” KH Khairuddin membaca dengan jelas, lalu berhenti. “Salahnya di mana?”

Jamaah terdiam. Bacaan itu terdengar sempurna di telinga mereka.

“Salahnya di kha’,” beliau menjelaskan. “Kalau dibaca dengan kha’ yang salah, ‘alhamdu’ artinya segala kerusakan. Tapi kalau benar jadi ‘alkhamdu’— segala puji.” Jadi jelas bacaan mempengaruhi makna.

Ruangan seketika hening. Sebuah huruf. Satu perbedaan artikulasi. Makna berubah 180 derajat.

Beliau melanjutkan dengan contoh lain: perbedaan antara “mahzuro” (محظور – terbatas) dan “mahduro” (محذور – ditakuti). Keduanya terdengar hampir sama bagi telinga orang Indonesia. Bedanya hanya pada dhod dan dhal—dua huruf yang makhrajnya sama tetapi beda sifat.

“Di Surah Al-Isra ayat 20 dan ayat 57,” beliau memberikan tugas kepada jamaah. “Coba nanti direkam bacaan Bapak-bapak. Kalau bunyinya sama, berarti salah satunya salah. Harus ngaji tahsinah, Bapak.”

Tidak Cukup Hafal Teori

Yang menarik dari pengajian malam itu bukan sekadar ceramah. KH Khairuddin memimpin langsung praktik membaca. Satu per satu huruf dibedah. Fatihah dibaca bersama, berkali-kali, sampai benar.

وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ تَرْكِهِ إِلَّا رِيَاضَةُ امْرِئٍ بفكه

beliau mengutip kitab Tahsinah. “Tidak ada bedanya orang yang pintar tajwid atau tidak pintar tajwid, kecuali orang itu mau berlatih talaqi musyafahah dengan guru yang benar.”

Dengan kata lain: teori saja tidak cukup. Bahkan jika seseorang hafal 19 sifatul huruf, 17 makhrajul huruf, dan semua hukum tajwid, tanpa latihan langsung dengan guru yang benar, kemungkinan salahnya tetap besar.

“Contoh paling gampang,” beliau memberi ilustrasi. “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Min-nya itu masuk ke hidung atau tidak?”

Beliau meminta jamaah menutup hidung sambil mengucapkan “min”. Hasilnya: suara jadi sumbat.

“Berarti selama ini kita memasukkan mad ke hidung,” beliau menjelaskan. “Padahal itu bukan makhraj hidung, itu makhrajul jauf—rongga mulut. Yang makhrajnya di hidung hanya mim dan nun saat dengung.”

Ketika Gigi Menjadi Wajib

Salah satu momen paling berkesan adalah saat seorang jamaah bertanya: “Pak Kiai, kalau sudah tua, gigi ompong, bacaan jadi tidak sempurna. Itu dimaklumi atau bagaimana?”

KH Khairuddin tersenyum, lalu menceritakan tentang salah seorang kiai senior yang memasang gigi palsu khusus agar bisa mengucapkan huruf dal dengan benar.

“Kalau punya uang, wajib,” jawabnya tegas. “Karena alwasail itu hukmul maqasid—cara mengikuti hukum tujuan. Gigi adalah wasilah untuk mendapatkan kefasahan. Jadi kalau punya uang, wajib.”

“Tapi kalau tidak punya uang?”

“Ya sudah. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. Falahum ajrun ghairu mamnun—bagi mereka pahala yang tidak terputus. Kalau waktu mudanya semangat belajar Al-Qur’an, bacaannya sudah benar, eh giginya ompong, ya sudah pahalanya sudah dapat dari dulu. Insya Allah.”

Jawaban itu disambut tawa hangat. Sebuah fiqih yang manusiawi, namun tetap aspiratif.

Ro yang Bergetar Satu Kali

Diskusi berlanjut ke masalah teknis: ro yang bergetar berkali-kali seperti orang Soviet berbicara.

“Takrirnya ro itu hanya satu kali,” KH Khairuddin menjelaskan sambil merujuk kitab Nihayatul Qaulil Mufid. “Bukan ar-ar-ar-rahman. Cukup arrahman. Ro itu dibaca tebal atau tipis tergantung kondisinya.”

Beliau lalu mendemonstrasikan: “Arrahmaan. Lihat, ro-nya cuma sekali tapi tebal. Pangkal lidah naik.”

Lebih mengejutkan lagi, dalam kitab yang sama disebutkan: “Faikhfau takrir inda tasydid—wajib menyembunyikan getaran ro ketika ada tasydid.”

Salah seorang jamaah langsung browsing di HP-nya, mengetikkan kalimat Arab itu, dan menemukan rujukannya. Wajahnya berbinar. Ini bukan sekadar pendapat guru, ini ada dasarnya dalam kitab kuning.

وَقَدْ تَوَهَّمَ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّ حَقِيقَةَ التَّكْرِيرِ تَرْعِيدُ اللِّسَانِ بِهَا الْمَرَّةَ بَعْدَ الْمَرَّةِ، فَأَظْهَرَ ذَلِكَ حَالَ تَشْدِيدِهَا، كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْأَنْدَلُسِيِّينَ، وَالصَّوَابُ التَّحَفُّظُ مِنْ ذَلِكَ بِإِخْفَاءِ تَكْرِيرِهَا، كَمَا هُوَ مَذْهَبُ الْمُحَقِّقِينَ

وَقَدْ بَالَغَ قَوْمٌ فِي إِخْفَاءِ تَكْرِيرِهَا مُشَدَّدَةً، فَيَأْتِي بِهَا مَحْصُرَمَةً شَبِيهَةً بِالطَّاءِ، وَذَلِكَ خَطَأٌ لَا يَجُوزُ

فَيَجِبُ أَنْ يُلْفَظَ بِهَا مُشَدَّدَةً تَشْدِيدًا يَنْبُو بِهِ اللِّسَانُ نَبْوَةً وَاحِدَةً وَارْتِفَاعًا وَاحِدًا، مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ فِي الْحَصْرِ وَالْعُسْرِ

نَحْوَ: (ٱلرَّرَّرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيمِ) [الفاتحة: ٢]، وَ (خَرَّرَّرَ مُوسَىٰ) [الأعراف: ١٤٣]

Sebagian orang beranggapan bahwa hakikat takrīr (penggetaran huruf ر) adalah dengan menggetarkan lidah berkali-kali, lalu mereka menampakkannya ketika membacanya dalam keadaan tasydid (huruf رّ  bertasydid). Pendapat ini sebagaimana yang dikemukakan sebagian ulama Andalusia.

Namun, yang benar adalah menjaga diri dari hal itu dengan menyembunyikan takrīr (tidak berlebihan dalam getaran lidah), sebagaimana menjadi pendapat para ulama muḥaqqiqīn (ahli yang teliti).

Ada sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam menyembunyikan takrīr huruf ر  bertasydid, sehingga membacanya menjadi terpotong dan menyerupai huruf ṭhā (ط). Hal ini adalah sebuah kesalahan dan tidak boleh dilakukan.

Maka wajib melafalkan huruf رّ  yang bertasydid dengan satu kali loncatan lidah dan satu kali pengangkatan lidah saja, tanpa berlebihan dalam menekan ataupun menyulitkan bacaan.

Contohnya pada bacaan: ٱلرَّحْمٰنِ ٱلرَّحِيمِ  (QS. Al-Fātiḥah: 2), dan خَرَّ مُوسَىٰ   (QS. Al-A‘rāf: 143).

Ittiba’ Rasul Sejati

Menjelang akhir kajian, KH Khairuddin menyampaikan sesuatu yang mendalam.

“Orang yang paling ingin meniru Rasulullah, ittiba’ Rasul yang sejati, adalah ahli Al-Qur’an. Apa sebabnya? Karena bahkan setiap hurufnya ingin sama dengan bacaan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.”

Beliau mengutip ayat: “Qul in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uni yuhbibkumullahu wayaghfir lakum dzunubakum—Katakanlah, jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, maka Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosamu.”

“Maka salah satu ittiba’ kita: bagaimana cara Nabi menikah, bagaimana Nabi salat, bagaimana Nabi zakat, juga bagaimana Nabi mengucapkan huruf-huruf Al-Qur’an. Diniatkan ingin meniru bacaannya Rasulullah.”

Ruangan sunyi. Beberapa jamaah menunduk. Ada yang menyeka mata.

Program Lima Tahun

“Kitab ini tipis,” KH Khairuddin mengangkat kitab Tahsinah, “tapi ini program lima tahun.”

Jamaah tertawa. Mereka baru menyadari: satu malam tidak cukup. Bahkan lima tahun mungkin masih kurang untuk benar-benar menguasai setiap detail artikulasi 28 huruf hijaiyah.

“Saya malam ini hanya iklan,” beliau tersenyum lebar. “Iklan. Ayo ngaji. Ini soalnya kitab yang oleh kita dianggap aneh. Banyak yang tidak punya.”

Tapi iklan itu berhasil. Beberapa jamaah langsung bertanya di mana bisa mendapatkan softcopy kitab tersebut. Yang lain mulai berdiskusi tentang membentuk kelompok tahsin di masjid masing-masing.

Saksi di Akhirat

“Mudah-mudahan usaha yang ala kadarnya ini bisa menjadi saksi besok di akhirat bahwa kita tidak taksir,” KH Khairuddin menutup kajian dengan nada khusyuk. “Saksi bahwa kita masih mau belajar. Saksi bahwa kita berusaha menyamakan alif kita, ba kita, ta kita, tsa kita, jim kita dengan alif ba ta tsa jim-nya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.”

“Sehingga dengan demikian kita berhak untuk mengaku sebagai umat Muhammad dan berhak untuk mendapatkan syafa’atnya. Wallahu a’lam.”

Epilog

Malam itu, sebuah kitab berusia 173 tahun membuka mata puluhan orang. Bahwa bacaan Al-Qur’an bukan sekadar ritual. Bahwa setiap huruf punya hak untuk diucapkan dengan benar. Bahwa kesempurnaan salat dimulai dari kesahihan fatihah.

Dan yang paling penting: bahwa ilmu yang benar adalah ilmu yang diamalkan, yang dilatih, yang ditularkan—bukan sekadar yang dihafal.

Sebagaimana KH Ahmad Rifa’i 173 tahun lalu menulis kitab Tahsinah bukan untuk dipajang, melainkan untuk dipraktikkan, kini estafet itu dilanjutkan.

Huruf demi huruf. Latihan demi latihan. Hingga bacaan kita benar-benar menjadi bacaan yang layak didengar oleh Allah.

“Almahiru bil Qur’an ma’as safaratil kiramil bararah”—Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama malaikat-malaikat yang mulia di surga. (HR. Muslim)

Baca Sebelumnya: PP Rifa’iyah Gelar Pengajian Selapanan Ketiga, KH Chaeruddin Tekankan Pentingnya Tahsin Bacaan Al-Qur’an


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: KH. Ahmad RifaiKitab TahsinahKitab TarajumahTahsin Al-Qur’anTajwid Al-Qur’an
Previous Post

PP Rifa’iyah Gelar Pengajian Selapanan Ketiga, KH Chaeruddin Tekankan Pentingnya Tahsin Bacaan Al-Qur’an

Next Post

Khutbah Jumat: Hidup Proporsional, Memenuhi Kebutuhan, Menjauhi Syahwat

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
Hidup proporsional

Khutbah Jumat: Hidup Proporsional, Memenuhi Kebutuhan, Menjauhi Syahwat

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id