Riba telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya sebagai musuh tersembunyi dalam sistem keuangan—merayap perlahan namun mematikan. Riba dilarang bukan karena tidak menguntungkan, melainkan karena mencederai keadilan dan menghancurkan rahmat dalam muamalah. Namun, syariat bukan sekadar melarang; ia juga membimbing, membuka jalan keluar, dan menunjukkan cara yang bersih.
Salah satu bentuk bimbingan itu adalah akad salam—sebuah model transaksi yang menawarkan kepastian, kejujuran, dan keberkahan dalam jual beli yang tertunda. Dengan pembayaran di muka dan penyerahan barang di masa depan, akad salam menjadi angin segar bagi produsen kecil, petani, pengrajin, hingga pelaku usaha pemula yang membutuhkan modal awal tanpa riba.
Namun, seperti halnya segala sesuatu dalam fiqih, akad ini tidak berdiri bebas. Ia harus ditegakkan di atas landasan yang kuat dan syarat yang jelas. Berikut adalah delapan syarat utama yang menjadikan akad salam sah menurut mazhab Syafi’i berdasarkan penjelasan KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Tasyrihatal Muhtaj:
- Menyebutkan Jenis Barang yang Dipesan (بيان الجنس)
Penjelasan:
Jenis barang harus disebutkan secara jelas, mencakup sifat umum dan nama jenisnya. Tidak cukup hanya menyebut “makanan” atau “kain”, tetapi harus lebih rinci, seperti “beras IR64” atau “kain katun Jepang”.
Tujuan:
Agar tidak terjadi penipuan, perselisihan, atau ketidakjelasan (gharar) antara kedua belah pihak.
- Menyebutkan Jumlah Pemesanan (بيان القدر)
Penjelasan:
Jumlah barang harus pasti dan terukur, baik dengan:
- Timbangan (misalnya: kilogram, ton)
- Takaran (liter, mililiter)
- Ukuran (meter, sentimeter)
- Satuan (buah, stel, lembar)
Contoh: 100 kg beras, 50 liter minyak, 30 potong baju, 10 meter kain.
- Menyebutkan Masa Pengerjaan atau Waktu Penyerahan (بيان الأجل)
Penjelasan:
Harus ditentukan kapan barang akan diserahkan kepada pemesan, baik dalam bentuk:
- Tanggal tertentu (misalnya: 1 Muharam), atau
- Jangka waktu (misalnya: 30 hari setelah akad).
Tujuan:
Untuk menciptakan kejelasan antara pihak pemesan dan pembuat barang, serta menghindari penundaan tanpa batas.
- Barang Harus Mampu Diserahterimakan (إمكان التسليم)
Penjelasan:
Barang yang dipesan harus benar-benar bisa diserahkan saat waktu penyerahan tiba. Tidak boleh berupa sesuatu yang belum tentu tersedia, sangat langka, atau tidak bisa dikirim.
Contoh yang sah:
Seragam sekolah, hasil panen, produk industri.
Contoh yang tidak sah:
Barang antik langka yang belum tentu ditemukan, benda yang dilarang syariat, atau barang yang mudah rusak sebelum dikirim.
- Menyebutkan Tempat Penyerahan Barang (بيان مكان التسليم)
Penjelasan:
Tempat serah terima barang harus diketahui sejak awal agar tidak terjadi perbedaan persepsi di kemudian hari.
Contoh:
- Di rumah pemesan
- Di pasar induk
- Di gudang penjual
- Melalui jasa ekspedisi ke alamat tertentu
- Harga Harus Ditentukan dengan Jelas (بيان الثمن)
Penjelasan:
Harga barang harus disebutkan secara pasti, tidak bergantung pada harga pasar nanti atau tidak ditentukan nominalnya.
Contoh:
Rp10.000 per kg, Rp5.000.000 untuk 100 stel, atau 10 dinar per karung.
Catatan:
Harga tidak boleh berubah-ubah atau disepakati dengan kalimat, “Nanti tergantung kondisi pasar.”
- Pembayaran Dilakukan Secara Penuh Saat Akad (دفع الثمن حال العقد)
Penjelasan:
Harga harus dibayar lunas di muka ketika akad dilakukan. Tidak boleh dicicil, ditunda, atau hanya dibayar sebagian.
Dalil:
Hadis Nabi ﷺ:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِيْ كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari)
Filosofi syariat:
Pembayaran penuh memberikan modal kerja kepada penjual atau pembuat barang.
- Tidak Ada Khiyār Syarṭ (عدم خيار الشرط)
Penjelasan:
Tidak boleh ada syarat pembatalan sepihak dalam jangka waktu tertentu setelah akad, seperti: “Jika saya berubah pikiran dalam 3 hari, boleh dibatalkan.”
Mengapa?
Karena akad salam termasuk akad iltizam (komitmen penuh), dan pihak penjual telah menerima modal di awal. Adanya hak membatalkan sepihak bertentangan dengan prinsip keadilan dalam akad.
Jalan Keberkahan Itu Punya Aturan
Ekonomi Islam bukan sekadar soal halal dan haram. Ia adalah jalan menuju berkah, keadilan, dan ketenangan hati. Akad salam adalah bukti bahwa syariat bukan hanya menjaga dari kerusakan (mafsadah), tetapi juga membuka peluang maslahat.
Dalam akad salam, modal bertemu dengan kebutuhan, kepercayaan bertemu dengan kejelasan, dan niat baik bertemu dengan syariat yang membimbing.
Inilah wajah Islam dalam ekonomi: bukan mempersulit, tetapi menertibkan.
Mari tinggalkan transaksi yang mencederai, dan sambut model muamalah yang membawa manfaat—bukan hanya di dunia, tetapi juga di sisi Allah.
🧭 Nantikan bagian berikutnya: Bagaimana syariat memperlakukan akad salam terhadap barang-barang hidup, budak, atau barang langka yang tidak bisa diukur dengan satuan biasa? Simak kelanjutan pembahasan fiqh muamalah klasik dalam dunia kontemporer.
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 9: Memahami Akad Salam
Sumber
- Fathul Qorib Al Mujib
- Tasyrihatal Muhtaj
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Yusril Mahendra