Sepeninggal KH. Ahmad Rifa’i, para santrinya telah menyebar ke berbagai pelosok, meliputi wilayah pantai utara Jawa Tengah (Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, dan lain-lain), wilayah selatan (Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara, Kebumen, dan lain-lain), bahkan hingga ke luar Pulau Jawa. Di berbagai tempat tersebut, mereka berinteraksi dengan kebudayaan setempat yang telah terbentuk dan mengakar. Ketertarikan kaum muslimin pada ajaran-ajaran KH. Ahmad Rifa’i di sana pada gilirannya menggerakkan para santri generasi awal (as-sabiqunal awwalun) untuk menyalin kembali karya-karya beliau.
Di antara mereka adalah Kiai Maufuro, yang dikenal sebagai santri kinasih sekaligus menantu, menjadi orang pertama yang menyalin kitab atas instruksi langsung KH. Ahmad Rifa’i. Kemudian di Batang, terdapat Kiai Ilham, yang namanya tercatat sebagai kepala pondok pesantren yang didirikan KH. Ahmad Rifa’i di Kalisalak. Beliau kemudian dikenal sebagai penyebar ajaran tarajumah di Kabupaten Batang.
Gerakan penyalinan karya warisan Waliyullah Alim Adil itu memberikan kontribusi terbesar dalam Jam’iyyah Rifa’iyah. Sebagian besar tulisan asli KH. Ahmad Rifa’i konon dirampas oleh kolonial Belanda dan hingga saat ini masih tersimpan rapi di Museum Leiden, Belanda. Penyalinan karya tersebut meninggalkan kesan mendalam bahwa meskipun tulisan aslinya berada di negeri kincir angin, namun hingga kini di Nusantara, karya-karya KH. Ahmad Rifa’i terbilang lengkap. Terdapat keinginan dari sebagian kalangan agar karya yang tersimpan di Belanda dikembalikan ke Nusantara, namun sebagian kalangan lainnya memilih untuk tidak membaca salinan karya-karya yang telah lengkap di Nusantara.
Rifa’iyah sebagai organisasi telah terstruktur dan rapi di semua tingkatan. Jutaan orang yang mengaku sebagai muridnya juga telah tersebar ke seluruh pelosok Nusantara, bahkan hingga negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain. Alangkah baiknya jika potensi ini diakomodasi secara rapi melalui organisasi dalam rangka menghidupkan karya dengan menerjemahkannya ke berbagai bahasa, lebih dari itu, dengan memberikan syarah (penjelasan) terhadap karya-karya tersebut.
Kita dapat belajar dari masa kepemimpinan Khalifah Al-Makmun yang mengundang ahli-ahli penerjemah dan meminta mereka menerjemahkan karya-karya Yunani kuno, yang dikenal sebagai “Ulum al-Awail” (ilmu-ilmu kuno). Khalifah Al-Makmun memberikan imbalan yang layak kepada para penerjemah tersebut, di antaranya Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq (809-973 M). Hunain bin Ishaq adalah penerjemah paling terkenal, seorang ilmuwan Nasrani yang menguasai sejumlah bahasa agama dan ilmu pengetahuan.
Besar harapan kami, semoga dalam lima tahun mendatang seluruh karya KH. Ahmad Rifa’i telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia serta banyak syarah yang telah diterbitkan, sehingga sepuluh hingga dua puluh tahun mendatang, dari jutaan warga Rifa’iyah, 50 persennya benar-benar memahami Sepuluh Bismillah.
Pekalongan, 14 Oktober 2023
Muhammad Nawa Syarif, Sekretaris Jenderal PP AMRI
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Ahmad Zahid Ali