KH. Ahmad Rifa’i bukan hanya tokoh yang melawan kolonial Belanda. Lebih dari itu, ia hadir mewakili kalangan santri yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada masyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai tokoh yang ahli dalam bidang agama, langkah gerak KH. Ahmad Rifa’i tak lepas dari amrih sahe iman lan ibadah.
KH. Ahmad Rifa’i sangat pantas dijadikan role model bagi para santri masa kini. Mengapa demikian? Sejarah mencatat bahwa setelah ditinggal wafat ayahanda tercinta, Ahmad Rifa’i kecil (sekitar usia 7 tahun) hingga dewasa nyantri di pesantren kakak kandungnya, yakni Nyai Rojiyah—istri dari Kyai Asy’ari Kaliwungu, Kendal, yang masyhur dengan sebutan Kyai Guru.
Kala itu, di Pesantren Kaliwungu, KH. Ahmad Rifa’i terkenal dengan kecerdasannya di segala bidang keilmuan. Ia tidak hanya cerdas secara pemikiran, tetapi juga bijaksana serta berperilaku baik, sehingga dikagumi dan dihormati para santri. Tak heran jika Kyai Asy’ari begitu mencintai adik iparnya.
Cerita kesantrian KH. Ahmad Rifa’i tak selesai di situ. Dalam situasi yang sangat mencengangkan di Pulau Jawa kala itu, ia berpamitan dengan istri dan sanak keluarga untuk menunaikan ibadah haji serta mencari ilmu di Jazirah Arab dalam jangka waktu yang lama. Belanda mencatat bahwa pada usia 47 tahun, KH. Ahmad Rifa’i berangkat haji dan menetap di Jazirah Arab selama 8 tahun, dari tahun 1833 hingga 1841.
Walau sudah tua dan telah menjadi kiai pengasuh pondok pesantren, di sana ia tetap mendalami ilmu agama. Salah satu gurunya adalah Syaikh Ibrohim al-Bajuri. Tak heran jika karya-karya beliau memiliki corak pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan gurunya.
Sosok yang sangat gandrung terhadap ilmu serta peka terhadap kondisi sosial ini menjadikan KH. Ahmad Rifa’i diburu oleh mereka yang haus akan keilmuan. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, ia menulis lebih dari 65 judul kitab dari berbagai fan keilmuan serta membangun Pondok Pesantren Kalisalak sebagai sarana tempat singgah bagi mereka yang menimba ilmu kepadanya. Ia berhasil mencetak puluhan santri yang siap menyebarkan ajaran serta karya-karyanya ke berbagai daerah. Alhasil, sosok KH. Ahmad Rifa’i menjadi luar biasa dan tak bisa dilepaskan dari pendidikan pesantren.
Ki Hadjar Dewantara, yang dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, pun mengakui bahwa model pendidikan yang ideal adalah pesantren. Sebab di pesantren, praktik pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga transfer nilai, penanaman keteladanan, serta penjagaan mata rantai keilmuan hingga Rasulullah SAW. Pengaruh doa serta tirakat para kiai yang menjadi pupuk spiritual turut menjadi sarana keberhasilan para santri. Bukan hanya itu, jangan anggap remeh kecintaan orang-orang pesantren terhadap tanah airnya.
Sejarah mencatat bahwa jauh berabad-abad sebelum negara Indonesia berdiri, pesantren sudah lebih dahulu eksis dan tumbuh berakar kuat di Nusantara, bahkan sebelum lembaga pendidikan formal diinisiasi. Meski tanpa dukungan finansial dari pemerintah, pesantren sering kali dicap sebagai pendidikan tradisional dengan tempat yang kumuh dan terbelakang, bahkan distigma sebagai lembaga pendidikan yang konservatif dan statis. Anggapan semacam itu, menurut penulis, merupakan pandangan yang dangkal dan tidak kritis.
Ajaran dan karya KH. Ahmad Rifa’i hingga kini masih dipelajari dan dilestarikan oleh sebagian penduduk Nusantara. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah semangat mereka dalam memondokkan serta menyekolahkan putra-putrinya di pesantren-pesantren Rifa’iyah. Di pesantren-pesantren Rifa’iyah inilah mereka diajari membaca, menghafal, memahami, serta menganalisis karya-karya KH. Ahmad Rifa’i.
Membaca, menghafal, memahami, dan menganalisis adalah empat tahapan penting dalam proses memahami karya KH. Ahmad Rifa’i. Membaca adalah proses membaca dan mengidentifikasi kata-kata dalam sebuah karya. Menghafal adalah proses mengingat isi karya yang dibaca atau didengar. Memahami adalah proses menginterpretasikan dan mendapatkan makna dari karya yang dibaca. Menganalisis adalah proses untuk memeriksa, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dalam karya.
Empat tahapan itu tidak dapat diperoleh hanya di TPQ, Madin, atau majelis taklim saja. Pesantren merupakan wadah yang paling cocok untuk menjawab kebutuhan tersebut. Dengan bimbingan para guru yang alim dan adil, sudah tentu akan melahirkan santri yang paham serta siap melestarikan dan menyebarluaskan ajaran KH. Ahmad Rifa’i.
Sebaliknya, jika semangat memondokkan serta menyekolahkan putra-putri di pesantren-pesantren Rifa’iyah menurun, maka ajaran, tradisi, dan karya KH. Ahmad Rifa’i akan semakin pudar. Jika hal itu terjadi, maka ormas Rifa’iyah akan kehilangan jati dirinya, bahkan langkah roda organisasinya akan melenceng jauh dari ajaran yang telah susah payah dilestarikan oleh KH. Ahmad Rifa’i serta para khalifah-nya.
Keresahan sebagian warga Rifa’iyah bahwa generasi sekarang sudah tidak memahami karya-karya KH. Ahmad Rifa’i hendaknya dijadikan sebagai ‘ibrah atau pelajaran. Sekarang sudah saatnya kita mulai membenahi diri, serta mendidik putra-putri kita agar dapat menjawab berbagai keresahan yang ada dan ikut ambil bagian dalam merawat ajaran dan karya KH. Ahmad Rifa’i.
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra