KH Ahmad Rifa’i dan Kalisalak yang Teduh
Langit sore di Kalisalak tak pernah berubah—teduh, tenang, seolah menyimpan gejolak di dada rakyatnya. Namun, hari itu ada sesuatu yang berbeda. Pesantren di pinggir desa ramai didatangi santri dan warga dari berbagai penjuru. Mereka duduk bersila, menunggu sosok yang dianggap lebih dari sekadar guru.
Kitab Abyanal Hawaij: Api Perjuangan dari Pena
KH. Ahmad Rifa’i keluar dari ndalem kecilnya dengan kitab Abyanal Hawaij di tangan. Bukan kitab biasa—ini adalah kitab perjuangan, ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon. Judulnya sederhana, namun isinya bagai api yang membakar keberanian: seruan untuk bangkit melawan penjajahan dan kesadaran untuk berpegang teguh pada kebenaran syariat (Ushuluddin, Fikih, Tasawuf).
Dengan penuh wibawa, KH. Ahmad Rifa’i mulai membaca Abyanal Hawaij Jilid 3, halaman 10–11:
Tanbihun, wong kafir mlebu negara Islam
Dadi raja negara Jawi wus dawam
Iku satrune mu’min khos lan awam
Iku fardhu ‘ain diperangi kafaham
Ngelawan ing raja kafir kinawaruhan
Ratu Islam maring raja kafir anutan
Bupati, Demang ngawula asih-asihan
Maring raja kafir anut parintahan.
Artinya: Peringatan! Orang kafir masuk ke negeri berpenduduk mayoritas Islam dan lama berkuasa di Pulau Jawa, adalah musuh orang mukmin, baik kalangan tertentu maupun awam. Fardhu ‘ain memerangi raja yang diketahui kafir, sedangkan raja Islam justru tunduk pada raja kafir. Para bupati dan demang mengabdi, bermesraan, serta patuh pada pemerintahan raja kafir Belanda.
Ajakan Perang Sabilillah
Seluruh santri menyimak dengan khidmat. KH. Ahmad Rifa’i melanjutkan pembacaan di halaman 14–15:
Maka kaduwe sekeh kafir kelakuan
Iku rong perkoro tingkah kinawaruhan
Salah sawijine karone panggeran
Arep ana kafir kabeh iku panggonan
Ning negarane kafir kabeh tinamune
Maka perang Sabilillah hukumane
Iku fardhu kifayah ning Syara’ panggerane
Atas wong Islam iku kabeh nyatane
Ing dalem saben tahun sakuasa linakonan
Maka tetkala wus gawe kinawaruhan
Wong kang ana ing njerone kifayahan
Maka gugur dosane tan kateqsiran
Saking sekarine wong iku kabeh anane
Kang ora melu perang Sabil tinamune
Lan kapindo kinawaruhan wicarane
Arep ana sekeh kafir kelakuane
Mlebu negara Islam ngarusak kabecikan
Tuwin manggon kafir kabeh kedhahiran
Perek saking negara Islam sekabehan
Maka perang Sabil ing kafir ngelawan
Nalika iku fardhu ‘ain milahur
Atas wong Islam kabeh tinutur
Maka wajib kaduwe wong ahli Islam jujur
Mengkono iku wong negoro ojo mundur
Memerangi nulak ing sekeh kafir rusuhan
Kelawan sabab wong kang kuoso peperangan
Satengah saking wong iku kabeh kawajiban
Tan wajib kaduwe wong ana ka’udzuran.
Karena orang-orang kafir menjajah wilayah negara Islam serta merusak dan menyerang secara masif, maka hukumnya fardhu ‘ain melakukan perang Sabilillah melawan kafir harbi. Hal itu wajib dilakukan setiap Muslim secara jujur, pantang mundur, pantang menyerah, dan pantang putus asa dalam melawan serta mengusir mereka yang berbuat kerusakan, kerusuhan, dan penjarahan di tanah air (Nusantara). Semua dilakukan sesuai kadar kemampuan masing-masing, kecuali bagi mereka yang memiliki kesulitan atau halangan.
Pena Melawan Senjata
Ahmad Hasan, santri termuda, mengangkat tangan.
“Tapi, Kiai, jika kita perang melawan kolonial, para penjajah bersenjata semua, sedangkan kita hanya punya kitab dan pena.”
“Justru karena itu kita lebih kuat,” jawab KH. Ahmad Rifa’i dengan senyum tenang. “Yang kita lawan bukan hanya penjajah tubuh, tetapi penjajah akal dan hati. Hanya ilmu yang bisa membebaskan.”
Setiap malam, suara pena di atas kertas menggantikan denting senjata. KH. Ahmad Rifa’i terus menulis. Ia tahu, setiap kalimat adalah peluru yang menembus ketakutan; setiap lembar adalah nyala yang menyalurkan harapan.
Ancaman Penangkapan dan Pengasingan
Namun, Belanda tidak tinggal diam.
Kitab-kitabnya dianggap berbahaya. Ajarannya dinilai radikal. Laporan demi laporan menumpuk di meja kontrolir kolonial. Hingga akhirnya, mereka datang membawa surat penangkapan, tentara, dan ancaman.
KH. Ahmad Rifa’i berdiri tenang di depan suraunya.
“Apakah kalian datang untuk memadamkan suara ini?” katanya sambil mengangkat kitabnya. “Kalian bisa membuang tubuhku sejauh-jauhnya, tetapi pikiran tak bisa diasingkan, dan kebenaran tak bisa dibungkam.”
Tanpa perlawanan, ia ditangkap dan dibuang ke Ambon. Tak ada jeritan, tak ada amarah. Hanya santri-santri yang menunduk, menggenggam kitabnya, dan berjanji dalam hati: perjuangan ini tidak akan berhenti.
Warisan Perjuangan
Bertahun-tahun kemudian, Indonesia merdeka. Namun, tak semua orang tahu bahwa kemerdekaan itu tumbuh dari bibit kesadaran yang ditanam para ulama. Salah satunya adalah KH. Ahmad Rifa’i—yang memilih menulis saat banyak orang memilih diam, dan memilih berjuang dengan pena ketika banyak yang memilih tunduk.
Wallahu a‘lam.
Baca Juga: Takhalli & Tahalli, Mana yang Didahulukan?
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra