Khutbah Pertama
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحَمْدُ للهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالهُدَى وَدِيْنِ الحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى دِيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا
وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ القَوِيْمِ وَدَعَا إِلَى الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Maasyiral Muslimin Rakhimakumullah
Keberadaan nafsu di dalam diri manusia merupakan tanda pembeda manusia dengan malaikat. Akal juga sebagai tanda pembeda antara manusia dengan hewan. Artinya manusia bisa berpotensi taat kepada Allah Swt sebagaimana malaikat, seandainya ia menggunakan akal sehatnya dalam menjalani kehidupannya.
Sebagiamana diceritakan dalam Tarikh Khulafa Imam Suyuti, ketika Abu Bakar ditanya oleh para sahabat, “Kenapa pada masa jahiliah kamu tidak pernah minum khamr?”
“Saya menjaga kehormatan, Saya menjaga kepibadian, sebab kebanyakan orang yang meminum minuman keras telah menyia-nyiakan kehormatan dan kepribadiannya.” Jawab Abu Bakar
Pada masa jahiliah tentu belum ada larangan meminum-minuman keras dari Wahyu Allah, tetapi Abu Bakar cukup menggunakan akal, memaksimalkan nadhar-nya untuk belajar dari pengalaman, bahwa orang yang minum khamr pasti menyia-nyiakan kehormatannya. Karena peminum sudah pasti hilang kesadaran, otomatis hilang akalnya. Kalau manusia hilang akal, tak ada bedanya dengan hewan.
Sebagaimana diutarakan dalam Kitab Riayah al-Himmah
طُوْبَى لِمَنْ كَانَ عَقْلُهُ أمِيْراً وَهَوَاُهُ يَكُوْنُ أَسِيْراً # وَوَيْلُ لِمَنْ كَانَ هَوَاُهُ أمِيْراً وَعَقْلُهُ أسيرا
“Beja temen kaduwe wong ana tinamune, akale dari ratu marintah lakune”
“lan hawane kalah ana dadi boyongane, ikulah mukmin adil sabab merangi hawane”
“Berbahagialah orang yang akalnya menjadi pemimpin sedangkanya nafsunya menjadi tawanan. Dan celakalah bagi yang nafsunya menjadi pemimpin sedangkan akalnya menjadi tawanan.”
Nabi Yahya AS yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai Sayyid (pemuka), padahal beliau tidak memiliki kekuasaan duniawi. Allah berfirman:
فَنَادَتْهُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَهُوَ قَاۤىِٕمٌ يُّصَلِّيْ فِى الْمِحْرَابِۙ اَنَّ اللّٰهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيٰى مُصَدِّقًا ۢ بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ وَسَيِّدًا وَّحَصُوْرًا وَّنَبِيًّا مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ ٣٩
“Malaikat (Jibril) memanggilnya ketika dia berdiri melaksanakan salat di mihrab, “Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) Yahya yang membenarkan kalimat dari Allah, (menjadi) anutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi di antara orang-orang saleh.” (QS. Ali Imran: 39)
Maka Jelas bahwa panggilan “Sayyid” bukan karena harta, kekuasaan, atau jabatan, tapi karena Nabi Yahya bisa mengelola hawa nafsunya sejak kecil. Bayangkan, masih kecil sudah mampu menjaga kesucian hati!
Orang sering mengambinghitamkan setan/iblis sebagai biang kerok terjadinya kemaksiataan. Padahal kita sendiri yang lemah terhadap hawa nafsu kita, sehingga kita menjadi budaknya. Kalau memakai logika penciptaan, bahwa iblis/setan diciptakan Allah Swt dari api, maka api tidak mungkin menyala tanpa perantara korek api, kayu bakar, atau bensin. Kalau setan apinya, barangkali hawa nafsu kita korek apinya. Tinggal bagaimana jenis hawa nafsu kita, apakah jenis bensin, kayu kering, atau kayu basah. Mudah menyala tidak ketika didatangi api iblis itu.
Iblis mungkin sudah kalah telak dengan hawa nafsu diri manusia. Iblis tidak punya pengalaman korupsi, manusia lihai dalam korupsi. Iblis tak ingin dipuji bahkan sering sembunyi, tapi manusia selalu selfis. Iblis tidak punya pengalaman membunuh, manusialah yang pertama kali membunuh. Iblis tidak punya pengalaman zina, tapi di mana-mana manusia melakukan perbuatan keji itu. Artinya dalam macam-macam maksiat, manusia lebih berpengalaman, maka alangkah baiknya kita waspada kepada potensi iblis dalam diri kita, daripada selalu menyalahkan lainnya.
Kadang kita sering menyalahkan setan dan iblis, padahal yang paling sering bikin kita jatuh kehormatannya sebagai manusia justru keinginan-keinginan dari dalam diri sendiri: ingin dipuji, ingin menang, ingin tampil, ingin mendapatkan like dan viewer.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
أَعْدَى عَدُوِّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ
“Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri (nafsumu yang ada di dalam dirimu).” (HR. al-Baihaqi)
Maka Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad dalam KItab Riayah al-Himmah korasan 19 menegaskan jihad terbesar itu bukan di medan perang, tapi di dalam diri sendiri. Dengan mengutip sebuah riwayat:
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَر
“Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar.”
Ditanya, “Apa jihad besar itu?” Rasulullah ﷺ menjawab: جِهَادُ النَّفْسِ
“Jihad melawan hawa nafsu.”
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
أَحْمَدُ رَبِّي وَأَشْكُرُهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ، أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي الْخَاطِئَةَ بِتَقْوَى اللَّهِ، فَإِنَّهَا وَصِيَّةُ اللَّهِ لِلْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ، قَالَ تَعَالَى:
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَإِيَّاكُمۡ أَنِ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ – النساء: 131.
عِبَادَ اللَّهِ،
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُعِينُ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى هُوَ مُجَاهَدَةُ النَّفْسِ وَمُخَالَفَةُ الْهَوَى.
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ
النازعات: 40-41].
وقال النبي صلى الله عليه وسلم:
المجاهدُ مَن جاهد نفسَه في طاعةِ اللهِ رواه الترمذي
فَاسْتَعِينُوا بِاللَّهِ، وَارَاقِبُوا أَنْفُسَكُمْ، وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ، لَعَلَّنَا نُفْلِحُ وَنُرْضِي اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ.
وَصَلُّوا وَسَلِّمُوا عَلَى نَبِيِّنا مُحَمَّدٍ، كَمَا أَمَرَنا اللَّهُ بِذَٰلِكَ فَقَالَ:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِى الأُمُورِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْىِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali