Pendahuluan
Konsep safih dibahas dalam beberapa kitab karangan KH. Ahmad Rifa’i, diantaranya bisa kita temukan dalam kitab Tanbih. Kitab Tanbih adalah satu-satunya kitab tematik karangan KH. Ahmad Rifa’i yang ditulis pada 1260-an s/d 1273 H.
Ada sekitar 500 tema yang diwedar di dalamnya, masing-masing tema dimuat dalam tiga halaman. Hal itu menurut saya merupakan buah keallamahan beliau. Syaikhina mendisiplinkan diri untuk memastikan bahwa satu tema hanya dimuat dalam tiga halaman.
Seberapapun luas pengetahuannya, ia tetap disiplin diri untuk menulis satu tema dalam tiga halaman. Padahal Setahu saya, seseorang yang punya banyak ilmu pengetahuan selalu tertarik untuk memperlihatkan luasnya ilmu melalui tulisan-tulisannya. Terlihat jelas bahwa Beliau jauh dari hal tersebut. Artinya kita menemukan jejak ketulusan dan kedisiplinan diri KH. Ahmad Rifa’i dalam kenyataan kitab Tanbih
Sebagaimana judul kitabnya Tanbih yang bermakna peringatan. Apabila kita membaca dan memahaminya kita akan terbelalak mendapatkan peringatan, karena mendapati praktek keagamaan masyarakat Rifa’iyah sekarang nan jauh dari ajaran-ajaran yang diwedar beliau. Duh Gusti.
Apabila para khatib di masjid-masjid Rifa’iyah menghendaki kitab khutbah yang bersumber dari khazanah kitab tarajumah, kitab Tanbih menjawab kebutuhan tersebut. Dan saya lihat tema-tema yang dibahas masih sangat relevan dengan zaman, bahkan sebagai jawaban dari problema masyarakat sekarang.
Kami tertarik untuk menulis tema-tema yang sudah diwedar dalam kitab Tanbih. Berawal dari pengajian di Masjid Uswatun Hasanah di Sokorejo (Benteh) Kota Pekalongan. Karena permintaan pengajiannya tematik, maka kitab yang paling cocok adalah kitab Tanbih.
Gemblengan dari pertanyaan-pertanyaan para jamaah membuat saya gemetaran, sehingga selalu mengusahakan diri untuk membuat kepekan setiap kali ikut ngaji disana. Saya sadar bahwa saya manusia pada umumnya yang sangat rentan dengan salah dan lupa. Sehingga sangat riskan apabila ngaji tanpa kepekan, rasanya seperti orang bepergian tanpa membawa dompet.
Mudah-mudahan Allah Swt. selalu memberikan hidayah dan inayahNya. Dan mudah-mudahan selalu merasakan dan mengharap barakah dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Peringatan: inilah nadzam pengingat yang dibutuhkan untuk diingat oleh orang yang safih (bodoh, lemah akal). Ia tidak sah dalam mengelola keuangan yang ditasarufkan dalam kesunahan. Tetapi apabila perkara itu wajib, maka hukumnya menyesuaikan konteksnya.
Tanda-tanda Safih
Adapun tanda-tanda orang yang safih itu adalah:
- Orang yang sudah baligh tetapi tidak mengerjakan keharusan-keharusan yang semestinya dilakukannya. Misalnya, sebagai seorang suami seharusnya ia mempunyai kewajiban menafkahi istri dan anaknya, tetapi justru uangnya ditasarufkan untuk menuruti hobi-hobi yang lagha. Menyia-nyiakan waktu untuk hiburan semata, sedangkan ia banyak meninggalkan kewajiban-kewajiban.
- Tidak berusaha memperbaiki diri dalam hal keagamaan. Diantaranya selalu meremehkan hal-hal yang seharusnya. Misalnya, sebagai seorang Bapak bagi anak-anaknya seharusnya menjadi qudwah (teladan), justru ia memberikan contoh yang tidak baik. Dalam ilmu jawa sering dikenal uangkapan Kacang ora ninggal kulit artinya anak (kacang) sangat terpengaruh oleh orang tuanya (kulit) sebagaimana peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Maka menjaga diri untuk menjadi teladan merupakan kebaikan yang harus selalu diusahakan sebagai wujud tinemu mbeciki agama kabeneran.
- Selalu salah dalam Menasarufkan hartanya. Artinya ia menggunakan hartanya untuk selalu bermaksiat kepada Allah SWT. Atau karena lemah akalnya sehingga tidak mampu memprioritaskan kewajiban-kewajibannya (misalnya membayar hutang) tetapi justru menghambur-hamburkannya untuk wisata, sebelum kewajibannya terlunasi. Maka secara syara ia dilarang untuk mengelola hartanya (mahjur). Artinya Walinya harus berperan aktif dalam pengelolaan harta orang-orang safih.
Sebagaimana yang telah diingatkan oleh Firman Allah SWT:
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
“Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan adil.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Pengertian Safih Menurut Raghib Al-Asfahani
Di dalam kitab al-Mufradaat fii gharibil Qur’an diutarakan bahwa kata assafahu (السَّفه) artinya adalah kekurangan pada fisik. Dari makna tersebut lahirlah sebuah kalimat arab زِمَامٌ سَفِيْهٌ artinya tali kendali yang buruk, karena banyak goyangannya, atau kalimat lainnya ثَوْبٌ سَفِيْهٌ maksudnya adalah kain yang buruk karena rendah kualitas tenunannya.
Lalu kata السَّفه digunakan untuk mengartikan kekurangan pada jiwa seseorang karena kurangnya daya nalar akalnya, baik pada perkara duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu disebutkan dalam kalimat arab سَفِهَ نَفْسَهُ artinya orang itu telah membodohi dirinya. Asal kalimatnya adalah سَفِهَ نَفْسُهُ yang berarti jiwanya bodoh.
Allah Swt. berfirman dalam penggunaan kata السَّفَهُ dalam perkara duniawi:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
”Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisa’: 5)
Pengertian Safih Menurut Syaikh Wahbah Zuhaili
Untuk lebih jelasnya tentang pengertian Safih, baiklah kita merujuk kepada keterangan dari Tafsir Munir, Fil ‘Aqidah, Wasyari’ah, Wal Manhaj karangan Syaikh Wahbah Zuhaili yang telah menafsirkan ayat di atas.
Sufahaالسفها Bentuk jamak dari kata safih سفيه yang berarti orang yang menghambur-hamburkan hartanya. Orang yang menggunakan hartanya untuk hal-hal yang tidak semestinya dan tidak memiliki kedewasaan dan kecakapan dalam mengelola dan menggunakan keuangan dengan baik dan benar, baik laki-laki, perempuan dewasa maupun anak-anak.
Kata tersebut berasal dari kata السفه yang berarti kekacauan atau kelainan pada akal dan perilaku. امولكم maksudnya harta milik orang-orang safih yang berada di bawah pengawasannya dan penjagaan kalian. Di sini harta orang-orang safih disandarkan kepada para Walinya atau orang yang mengasuh mereka, seolah-olah harta tersebut adalah harta mereka. Hal ini mengandung unsur dorongan agar mereka benar-benar menjaga harta tersebut seperti menjaga harta mereka sendiri.
Qiyamanقِيَامًا bentuk mashdar dari kata قَامَ maksudnya adalah harta tersebut merupakan sesuatu yang bisa menegakkan urusan kebutuhan hidup kalian وَارْزُقُوهُمْ فِيْهَا dan penuhilah kebutuhan hidup mereka dari harta tersebut. وَقُوْلُوْ لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوْفَا maksudnya dan janjikanlah kepada mereka janji yang baik, bahwa harta mereka akan diserahkan kepada mereka apabila mereka telah dewasa. Al-Qaulu al-Ma’ruuf adalah perkataan yang baik adalah perkataan yang bisa menyenangkan hati.
Pengertian Safih Menurut KH. Ahmad Rifa’i
Sedangkan pengertian Safih menurut KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Tanbih sebagai berikut:
اُتَوِيْ اَرَانْ وَوعْ سَفِيهْ شَرَاعْ فَعكرَانْ # اِيْكُوْ وَوعْ وُسْ بَالِغْ يَاتَ كَتَقْصِرَنْ
تَنْ تِنمُوْ بجِيْكِيْ اَكَمَا كَبنرَانْ # لَنْ مَرِنْتَهْ اِعْ اَرْتَانَىْ كَلُوْفُوْتَنْ
اِيْكُوْ مَحْجُورْ مُوعْكُهْ شَرَاعْ حُكُوْمَنَي # إِيْكُولَهْ اَرَانْ وَوعْ سَفَيهْ فَرْتَيْلَاني
”yang dinamakan orang safih dalam ketentuan Syara, yaitu orang yang sudah baligh, tetapi lalai. (lalai dalam hal) tidak memperbaiki kebenaran dalam beragama dan selalu keliru dalam menasarufkan hartanya.”
”Orang yang safih itu terhukum mahjur (tidak diperbolehkan/ ditahan untuk mengelola hartanya sendiri) itulah kejelasan pengertian orang Safih.”
Orang-orang Yang Mahjur
Mahjur adalah orang-orang yang dicegah/ditahan oleh Walinya untuk mengelola hartanya sendiri. Orang tersebut belum bisa dipercaya, karena kebodohan, atau belum cukup umur. Kalau hartanya dikelola sendiri berpotensi menasarufkan harta dengan secara serampangan yang berakibat menjadi mubadzir.
Diantara orang-orang yang mahjur adalah Pertama Anak kecil, yang dimaksud adalah yang belum baligh. Ia terus dihajr hingga baligh.
Kedua Orang gila, yaitu yang hilang ingatannya karena sakit. Ia terus dihajr hingga sadar.
Ketiga Safiih (bodoh), yaitu orang yang tidak bisa menggunakan harta dengan baik. Pengertian safiih yang paling umum adalah orang yang mengeluarkan harta pada jalan maksiat kepada Allah SWT atau memubadzirkannya, tanpa guna.
Bahwa orang-orang yang ditahan hartanya tidak selama-lamanya di tahan. Tetapi berdasarkan keadaan seseorang tersebut. Apabila yang dihajr anak-anak, maka ketika sudah dewasa, (sudah bisa menasarufkan harta dengan baik), ia diberikan keleluasaan dalam mengelola hartanya sendiri.
Apabila seseorang dihajr karena safiih, maka ia diperbolehkan mengelola hartanya dikala ia telah bertaubat, atau telah berubah perilaku hidupnya menjadi seorang yang Rasyid. Sehingga tidak teledor lagi dalam mengelola hartanya. Perhatikan QS. An-Nisa Ayat 6:
وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا
“Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah cerdas (pandai mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas.”
Sebagaimana dalam kalamnya KH. Ahmad Rifa’i di dalam kitab Tanbih:
فَإنْ بَلَغَ رَشِيدًا اُعْطِيَ مَالُهُ وَالرُّشْدُ صِلَاحُ دِيْنٍ وَمَالٍ بِأنْ لَا يَفْعَلَ مُحَرَّمًا يُبْطِلُ عَدَلَتَهُ وَلَا يُبَذِّرُ بِأنْ لَا يُضَيِّعَ مَالًا بِإِحْتِمَالِ غَبْنٍ فَاحِشٍ فِىْ مُعَامَلَةٍ اَوْ رَمْيَةٍ فِىْ بَحْرٍ اَوْ صَرْفِهِ فِىْ مُحَرَّمٍ لَا خَيْرٍ وَنَحْوِ مَلاَبِسَ وَمَطَاعِمَ
“Maka apabila anak telah pandai (rasyid) dalam mengatur harta, diserahkanlah hartanya itu. Yang dinamakan Rasyid adalah (1) Shilahuddin: selalu memperbaiki agamanya (bertaqwa) mengerjakan kewajiban dan menjauhi dosa. (2) Mampu memperbaiki hartanya, artinya tidak menasarufkan hartanya untuk perbuatan kemaksiatan, yang menyebabkan rusaknya keadilan seseorang. (3) Tidak memubadzirkan hartanya, seperti menyia-nyiakan hartanya dalam kesalahan, sehingga menanggung kerugian. (Seperti praktek bisnis yang tidak diilmui. Hal ini bisa dilihat praktek-praktek lishit giro, ngeprokke harga, dll). atau menggunakannya untuk hal-hal yang haram yang tidak ada kebaikannya, seperti dalam (kemewahan) pakaian atau makanan.”
Penjelasan Terjemahan:
فَإِنْ بَلَغَ رَشِدًا : Jika seseorang mencapai kedewasaan atau kecerdasan (kemampuan mengelola dirinya sendiri), harta yang dipegang wali atau pengasuhnya harus diberikan kembali kepadanya.
الرُّشْدُ صِلَاحُ دِيْنٍ وَمَالٍ: Kematangan atau kecerdasan dalam Islam mencakup baiknya agama dan kemampuan mengelola harta dengan baik.
يَفْعَلَ مُحَرَّمًا : Tidak melakukan hal-hal yang haram atau dosa yang dapat membatalkan keadilannya.
لَا يُبَذِّرُ: Tidak boros atau menghamburkan harta secara tidak wajar (mubadzir).
اَوْ رَمْيَةٍ فِىْ بَحْرٍ : Atau membuang harta ke hal-hal yang sia-sia.
صَرْفِهِ فِىْ مُحَرَّمٍ: Menggunakan harta untuk hal-hal yang diharamkan.
مَلاَبِسَ وَمَطَاعِمَ: Contoh-contoh hal yang bisa dibelanjakan dengan boros, seperti pakaian atau makanan mewah yang berlebihan.
Berdasarkan Kalam Ulama di atas menerangkan bahwa manusia yang telah mengalami perbaikan agama dan hartanya diantara tandanya adalah tidak menasarufkan harta kepada maksiat dan kemungkaran kepada Allah Swt. dan Rasulullah. Juga tidak mubadzir dan berlebih-lebihan (israf) dalam menasarufkan hartanya. Sebagaimana larangan Al-Qur’an dan Hadits tentang berlebih-lebihan dan mubadzir.
وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (27)
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا ، فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ
“Makan dan minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa bersikap berlebihan dan sombong.” (HR. An-Nasa’I, no. 2559)
Kita tentu ingin mengetahui perbedaan pengertian mubadzir (tabdzir/boros) dengan Israf (berlebih-lebihan)
Berdasarkan definisi mubadzir dalam kamus Maany diterangkan bahwa mubadzir adalah
مُبَذِّرٌ لِمَالِهِ : مُسْرِفٌ، أَيْ يُنْفِقُهُ فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ
“Mubadzir dalam harta, adalah pemborosan atau menginfakkan harta yang tidak semestinya.”
Merujuk kepada kamus maani bahwa israf adalah
كَلمةُ “سَرَف” تُشِيرُ إِلَى الإِسْرَافِ، وَهُوَ تَجَاوُزُ الحَدِّ أَوِ الإِفْرَاطُ فِي شَيْءٍ مُعَيَّنٍ
“Kata sarf menunjukkan pemborosan, yaitu melampaui batas atau berlebihan dalam suatu hal tertentu.”
Berdasarkan keterangan Ibnu Abidin berkaitan dengan perbedaan Israf dan Mubadzir, beliau mendefinisikan,
الإسرافُ: صَرفُ الشَّيءِ فيما يَنبَغِي زائِدًا علَى ما يَنبَغِي، والتَّبذِيرُ: صَرفُ الشَّيءِ فيما لا يَنبَغِي
“Israf adalah memanfaatkan sesuatu sepantasnya namun sudah berlebihan dari yang pantas. Tabzir (mubazir) adalah memanfaatkan sesuatu pada sesuatu yang tidak pantas.”
Contoh:
Untuk keperluan berkendaraan untuk sekedar pergi ke kantor, sebenarnya bisa memakai motor yang seharga 15 juta rupiah. Itu bisa selamat sampai kantor, namun terlalu berlebihan hingga membeli yang berada dalam kisaran harga 50 juta. Ini namanya israf.
- Dan sah orang safih melakukan ibadah-ibadah dan shadaqah wajib, seperti zakat, mengganti ghasab.
- Tidak sah orang safih melakukan shadaqah sunah sebagaimana kalam ulama berikut ini:
اَمَّا الْمَالِيَةُ الْمَنْدُوْبَةُ كَصِدْقَةِ التَّطَوُعِ فَلَا تَصِحُّ مِنْهُ
Adapun Maliyah Mandhubah (harta untuk infak sunah) seperti shadaqah tathowu (shadaqah sudah/sukarela) bagi orang safih maka melakukannya tidak sah.
Penjelasan:
- الْمَالِيَةُ الْمَنْدُوْبَةُ: frasa ini merujuk pada harta atau donasi yang bersifat mandub (dianjurkan) atau sunnah, bukan yang wajib seperti zakat. Contohnya adalah صدقَة التطوع (sedekah sunnah atau sukarela).
- فَلَا تَصِحُّ مِنْهُ: ini menyatakan bahwa tindakan tersebut (yakni pemberian harta dalam bentuk sedekah sunnah) tidak sah dari orang yang bersangkutan dalam kondisi atau situasi tertentu.
Maka apabila orang safih meninggalkan shadaqah tathowu tidak terhukum dosa. Dan apabila meninggalkan shadaqah wajib (zakat) dihukumi berdosa. Itulah ketentuan-ketentuan hukum Islam yang harus diketahui supaya selamat dalam hal kehalalan dan keharaman. Memohonlah kepada Allah mudah-mudahan mendapat keberuntungan.
Asalnya manusia itu pandai (dalam mengatur hartanya), hal ini lebih jelas bisa diketahui saat telah baligh. Apabila diketahui ia melakukan safih setelah baligh, berarti ia telah safih sejak semula.
قَالَ الْبَرْمَاوِىُّ رَحِمَهُ اللهُ فَائِدَةٌ سُئِلَ الشَيْخُ الرَّمْلِىِّ هَلِ الْأَصْلُ فِى النَّاسِ الرَّشْدُ اَوْلا فَأَجَابَ بِأنَّهُ اِنْ عُلِمَ الرَشْدُ بَعْدَ الْبُلُوغْ فَالْأصْلُ الرَّشْدُ وَإلَّا بِأن عُلِمَ ضِدُّهُ بَعْدَ الْبُلُوغِ فَالْأَ صْلُ السَفِهَ
Pernyataan ini berasal dari Al-Barmawi, yang menyampaikan bahwa Syekh Ramli, Ra, ditanya: “Apakah asal dari manusia adalah cerdas (rasyid) atau tidak?” Ia menjawab dengan bijak: Jika setelah mencapai usia dewasa (baligh) seseorang menunjukkan tanda-tanda Rasyid, maka ia asalnya Rasyid. Namun, jika sebaliknya, jika seseorang menunjukkan kebodohan setelah dewasa, maka asalnya adalah kebodohan (safah).
Penjelasan:
Teks yang Anda sebutkan membahas masalah tentang apakah pada dasarnya orang dianggap bijaksana (rasyid) atau tidak bijaksana (safih) setelah mencapai usia baligh. Al-Barmawi mengutip penjelasan dari Syaikh Ar-Ramli terkait hal ini.
Rasyid di sini berarti seseorang mampu mengelola hartanya dan urusannya dengan baik setelah mencapai usia baligh.
Safih berarti seseorang tidak bijaksana dalam mengelola harta, seperti boros atau tidak mampu mengatur keuangan dengan baik.
Pertanyaannya adalah: Apakah pada dasarnya manusia dianggap bijaksana atau tidak setelah baligh?
Syaikh Ar-Ramli menjawab dengan rincian berikut:
- Jika kebijaksanaan (rasyid) diketahui setelah baligh, artinya jika setelah baligh seseorang menunjukkan tanda-tanda kebijaksanaan dalam mengelola urusan dan hartanya, maka pada dasarnya orang tersebut dianggap bijaksana.
- Jika ketidakbijaksanaan (safih) diketahui setelah baligh, artinya jika setelah baligh seseorang menunjukkan tanda-tanda tidak bijaksana dalam mengelola urusan dan hartanya, maka pada dasarnya orang tersebut dianggap tidak bijaksana (safih), sampai ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Kesimpulannya, status seseorang ditentukan berdasarkan perilaku yang muncul setelah baligh: jika ia menunjukkan kebijaksanaan, maka ia dianggap bijaksana, dan jika ia menunjukkan ketidakbijaksanaan, maka ia dianggap tidak bijaksana.
Fatwa-fatwa KH. Ahmad Rifa’i tentang Safih
- Orang Safih tidak sah apabila menjadi Wali Nikah, dan tidak boleh menikahi lebih dari satu istri.
- Orang Safih diperbolehkan menikah dengan satu orang istri dengan izin dari seorang Walinya. Hal itu merupakan langkah antisipatif agar orang safih tidak melakukan dosa besar zina.
- Solusi: Apabila orang Safih hendak melakukan Kesunahan Aqiqah dan Korban, maka seharusnya ia menyerahkan hartanya aqiqah dan kurban kepada alim adil, sehingga amaliyah sunah yang sejatinya dilarang menjadi boleh, karena dipandu orang yang berilmu. Sehingga orang safih bisa mengambil manfaat pahala aqiqah dan kurban di akherat.
- Hukumnya Fardlu Kifayah untuk mengangkat Ulil Amri yang berperilaku benar menurut syariat, jadi teladan orang-orang awam dalam ketaatan. Sifatnya alim adil sah dijadikan guru. Ia mengajarkan keabsahan Iman dan kebaikan. Menyaksikan dan memberi fatwa terhadap rukun, syarat, (iman, ibadah, Kebaikan).
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra