Pada masa lalu, sistem yang digunakan adalah konsinyasi. Artinya, pemilik barang menitipkan dagangannya kepada pemilik toko, dan pembayaran dilakukan secara cicilan. Tak jarang, transaksi disertai dengan surat berharga seperti giro dan cek. Sistem ini membuat pembayaran tidak berlangsung secara tunai dan seringkali menimbulkan utang-piutang yang berujung pada masalah ekonomi, bahkan merusak hubungan sosial antarpedagang.
Kini, hampir seluruh transaksi dilakukan secara daring dan dibayar lunas sebelum barang dikirim. Perubahan ini memberikan dampak positif, terutama bagi kelancaran usaha di sektor konveksi dan perdagangan lainnya.
Menurut teman saya yang telah berdagang batik selama lebih dari dua dekade, mayoritas pelaku bisnis daring adalah generasi muda—anak-anak yang lahir pada tahun 1990-an hingga 2000-an. Mereka tumbuh bersama teknologi dan lebih lincah memanfaatkan internet untuk memperluas pasar.
Namun, tren munculnya pengusaha muda di Pekalongan juga membawa tantangan baru. Fenomena ini erat kaitannya dengan budaya tempel—budaya memamerkan kekayaan agar terlihat sukses. Kekayaan dianggap belum sempurna jika belum diwujudkan dalam bentuk rumah mewah, mobil terbaru, motor gede, pakaian bermerek, dan gaya hidup glamor.
Budaya tempel mencerminkan ciri khas masyarakat industri modern. Sayangnya, banyak anak muda yang terjebak dalam pola pikir konsumtif tanpa mempertimbangkan skala prioritas, nilai manfaat, dan akal sehat dalam penggunaan uang (tasharruf). Tak sedikit dari mereka yang masih lajang tetapi telah memiliki lebih dari satu rumah atau mobil.
Perlombaan dalam hal gaya hidup ini menyebabkan banyak anak muda berani mengambil pinjaman, bahkan dari lembaga keuangan yang menawarkan pinjaman daring (pinjol) dengan mudah. Tujuan berdagang untuk mendapatkan keuntungan yang halal dan diridhai Allah mulai tergeser oleh ambisi pamer dan kepuasan sesaat.
KH. Ahmad Rifa’I pernah memberikan peringatan kepada umat agar dalam mengonsumsi sesuatu selalu berpedoman pada prinsip seqodar hajat kanggo tulung thoat—cukup sekadar kebutuhan untuk membantu ketaatan kepada Allah. Prinsip ini mengajarkan pentingnya membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Menurut Kanjeng Nabi Muhammad SAW, keseimbangan konsumsi dijaga dengan membagi perut menjadi tiga bagian: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk udara. Beliau juga bersabda, “Aku makan ketika lapar, dan berhenti sebelum kenyang.” Sebuah nasihat yang menegaskan pentingnya pengendalian diri dalam hal konsumsi.
Dalam kehidupan modern, prinsip ini sangat relevan. Jika satu mobil sudah cukup, mengapa harus dua? Jika satu rumah sudah memadai, mengapa harus tiga? Setiap bentuk konsumsi seharusnya diniatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar memuaskan nafsu dunia.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra