Pati, Jawa Tengah – Fenomena politik di Kabupaten Pati memasuki babak baru yang krusial. Gelombang demonstrasi besar menuntut Bupati Sadewo mundur dari jabatannya. Aksi ini mencerminkan runtuhnya kepercayaan publik. Beralasan dipilih secara konstitusional, sang bupati bersikukuh untuk tetap menjabat. Sikap itu muncul di tengah amarah warga akibat kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang fantastis dan dugaan korupsi memperdalam krisis legitimasi.
Fenomena ini bisa dikaji melalui kearifan lokal dan syariat Islam. KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Riayah al-Himmah mengibaratkan hubungan pemimpin dan rakyat seperti imam dan makmum dalam salat.
Sahnya Imam Bergantung pada Itikad Makmum
Krisis di Pati berpusat pada satu pertanyaan: masih sahkah kepemimpinan jika rakyat tidak lagi percaya?
KH. Ahmad Rifa’i menegaskan kaidah: “Sah shalate imam kasebut, ingdalem itiqode makmum tan luput” (Sahnya salat imam bergantung pada keyakinan makmum).
Artinya, legitimasi pemimpin tidak hanya diukur dari legalitas formal atau proses elektoral. Legitimasi sosial, yang lahir dari kepercayaan dan keadilan, justru lebih kokoh. Ketika rakyat kehilangan itiqod atau keyakinannya, pondasi kepemimpinan sejatinya rapuh. Logikanya sederhana: jika yang dipimpin enggan mengikuti, mengapa pemimpin enggan berhenti?
Empat Syarat Kepemimpinan yang Dilanggar
Analogi kepemimpinan dari syarat sah salat berjamaah memberi empat refleksi penting tentang krisis di Pati:
- Imam Harus di Depan Menjadi Teladan (Ojo Dingini Saking Adeke Imam).
Imam harus di depan, bukan hanya secara fisik tetapi juga dalam perilaku dan kebijakan. Pemimpin yang terseret dugaan korupsi dan arogan gagal menjadi teladan. Ia bukan panutan, melainkan sorotan negatif. - Makmum Harus Mengetahui Gerak Imam (Ngaweruhi Lakune Imam).
Syarat ini menekankan transparansi dan komunikasi. Kebijakan menaikkan PBB hingga 250 persen memicu kemarahan besar. Pemimpin gagal menyosialisasikan kebijakan secara persuasif. Rakyat pun merasa aspirasinya diabaikan. - Adanya Kedekatan Imam dan Makmum (Kumpul, Ojo Luwih Telung Asto).
Jarak imam dan makmum tidak boleh terlalu jauh. Ini metafora kedekatan emosional dan komunikasi intens. Penolakan bupati untuk mundur di tengah protes besar menunjukkan jarak menganga dengan rakyat. - Niat Tulus Mengikuti Imam (Niyate Ati Ing Imam Anutan).
Kepercayaan melahirkan niat tulus untuk mengikuti. Ketika pemimpin mengkhianati amanah—baik melalui kebijakan memberatkan atau isu integritas—kepercayaan hilang. Tanpa kepercayaan, rakyat tidak lagi mengikuti dengan tulus. Yang tersisa hanya keterpaksaan atau perlawanan.
Amanah: Inti Kepemimpinan Islam
Dalam perspektif Islam, kepemimpinan adalah amanah. Tanggung jawab dari Allah SWT dan rakyat harus diemban dengan adil dan jujur. Pemimpin sejati adalah khadim al-ummah (pelayan umat), bukan penguasa absolut. Kekuasaan bukanlah hak, melainkan kewajiban yang kelak dipertanggungjawabkan.
Ketika pemimpin lebih memilih kursi kekuasaan daripada mendengarkan rakyat, ia mengkhianati amanah. DPRD Pati membentuk panitia khusus (pansus) pemakzulan sebagai respon politik atas desakan publik.
Krisis di Pati menjadi pelajaran berharga bagi semua pemimpin. Kekuasaan tanpa kepercayaan rakyat adalah kekuasaan yang rapuh. Seperti dalam salat, jika makmum mengingatkan imam yang salah dengan tasbih, imam bijak akan segera memperbaiki kesalahan. Kepemimpinan sejati adalah kerelaan memimpin dengan amanah dan kebesaran hati untuk mundur ketika tidak lagi dipercaya.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra