Pada suatu kesempatan, ketika saya bermaksud meminta tanda tangan kepada pengawas madrasah, tidak biasanya pengawas tersebut meminta waktu untuk berdiskusi perihal rasa penasaran terhadap perilaku warga Rifa’iyah. Khususnya ketika ia sempat berinteraksi bersama orang Rifa’iyah selama menjadi teman di bangku madrasah aliyah, katanya.
Kebetulan, pengawas madrasah itu juga merupakan tokoh ormas hijau. Pertanyaannya cukup mengagetkan bagi saya: “Apakah orang Rifa’iyah tidak mau bermakmum kepada selain Rifa’iyah, walau sesama Muslim?”
Waktu itu saya menjawab, “Tidak semua warga Rifa’iyah begitu, Pak.”
Ia melanjutkan pertanyaannya, “Tapi artinya kan ada sebagian warga Rifa’iyah yang tidak berkenan makmum kepada orang lain. Kenapa?”
Saya menghela napas dalam-dalam, berusaha menerangkan sambil dalam hati memohon petunjuk kepada Allah. Karena jawaban saya ini mewakili sekian ribu umat Rifa’iyah. Kalau jawaban saya salah, berpotensi menjadi fitnah. Kalau memilih tidak menjawab, kok pertanyaannya sudah di depan mata. Saya memilih menjawab:
“Iya, Pak, karena orang Rifa’iyah disiplin ilmu, terutama ilmu telung perkoro: Ushul, Fiqih, Tasawwuf. Dasar dalilnya:
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ، أَعْمَالُهُ مَرْدُودَةٌ لَا تُقْبَلُ
“Setiap amal yang tidak didasari ilmu, maka amalnya akan tertolak, tidak diterima.”
Sedangkan dalam salat berjamaah, ada ilmu yang diyakini oleh warga Rifa’iyah tentang syarat sah menjadi imam, di antaranya: makmum meyakini tentang keabsahan salatnya imam (ṣaḥ ṣalāte imam kasebut, ing dalem ‘itiqode makmum ora luput) (Abyān al-Khawāij: 2).
Daripada salat tidak sah, lebih baik warga Rifa’iyah tidak bermakmum. Begitu, Pak.”
Pengawas itu mengangguk-angguk seperti memaklumi peristiwa yang menimpanya puluhan tahun yang lalu.
Kemudian ia terus bertanya, “Tapi saya lihat, kadang kamu bermakmum kepada orang-orang non-Rifa’iyah?”
“Iya, Pak. Setahu saya, dulu saat Imam Syafi’i bertandang ziarah ke makam Imam Hanafi dan melakukan salat di masjid Imam Hanafi, pada salat Subuh Imam Syafi’i tidak melakukan qunut, bukan karena lupa, tetapi karena menghormati mazhab Imam Hanafi yang tidak memakai qunut. Ketika ditanya kenapa, beliau menjawab:
أُخَالِفُهُ وَأَنَا فِيْ حُضْرَتِهِ
‘(Bagaimana) aku mempertentangkannya, sementara aku berada di hadapannya.’
Ia pun kembali menyampaikan alasannya kenapa tidak berqunut:
رُبَّمَا انْحَدَرْنَا إِلَى مَذْهَبِ أَهْلِ الْعِرَاقِ
‘Terkadang, kami mengikuti mazhabnya penduduk Irak.’
(Thaha Jabir Fayyadl al-Alwani, Adab al-Ikhtilāf fī al-Islām)
Itu artinya bahwa menghormati pendapat dan ilmu orang lain lebih diutamakan daripada mendahulukan kebenaran fikih, karena kebaikan akhlak bagi para salafus shalih merupakan keutamaan yang harus diprioritaskan daripada fanatik terhadap kebenaran zhanni sendiri. Karena Nabi sendiri bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”
(HR. Al-Baihaqi dari Abu Hurairah r.a.)
“Menurut kamu, pendapat mana yang benar? Kamu atau yang tidak berkenan makmum?”
Saya jawab, “Semua benar, tergantung dalam pertimbangan ketepatan penempatan yang adil dan bagaimana kita menyikapinya.”
Bagi yang tidak bermakmum, mereka benar, karena punya prinsip bahwa menjalani ibadah harus dengan pedoman ilmu. Yang kedua, mereka tepat, karena kaidah berjamaah itu: makmum yang menentukan siapa imamnya setelah syarat-syarat yang diatur oleh fikih dilaksanakan. Dan imam tidak bisa menentukan siapa saja makmum-nya. Sebagaimana hadis berikut ini:
ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ: الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
“Ada tiga golongan yang salatnya tidak akan melampaui telinga mereka (tidak diterima): seorang budak yang melarikan diri sampai ia kembali, seorang wanita yang tidur malam sedangkan suaminya dalam keadaan marah kepadanya, dan seorang imam bagi suatu kaum sementara mereka tidak menyukainya.”
(HR. At-Tirmidzi)
Penting untuk dicatat bahwa para ulama menjelaskan bahwa kebencian yang dimaksud dalam hadis ini adalah kebencian yang didasari alasan syar‘i, bukan kebencian personal atau hal-hal duniawi. Contoh kebencian yang syar‘i adalah jika imam tersebut dikenal melakukan maksiat, tidak cakap dalam memimpin salat (misalnya bacaannya buruk), atau bertindak zalim.
Apabila imam tersebut adalah orang yang salih dan memenuhi syarat keimaman, namun ada sebagian kecil makmum yang tidak menyukainya karena alasan pribadi, maka kebencian itu tidak termasuk dalam makna hadis ini.
Karena warga Rifa’iyah kadang belum benar-benar menyaksikan keabsahan ilmu dan praktik salat imam serta keadilan kehidupan imam, maka sebagai kehati-hatian dalam beribadah (iḥtiyāṭ), mereka kadang tidak bermakmum kepada orang yang kurang diyakini keabsahannya. Upaya ini untuk menghindari kebimbangan dan spekulasi dalam beragama. Kalau kebimbangan terus dipaksakan, bisa jadi akan membenci imamnya.
Namun, keputusan tidak bermakmum kepada orang lain yang belum diketahui keabsahan salatnya ini berisiko dalam hubungan sosial: terkesan seperti tidak mempercayai seseorang atau kurang menghormati sesama Muslim. Maka, kemaslahatan hubungan sesama Muslim sebagai bentuk akhlāqul karīmah patut diutamakan sebagai akhlak para nabi.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra