Pada medio tahun 2005-an di Yogyakarta, muncul makanan tela-tela yang sempat viral. Makanan ini berupa stik yang terbuat dari singkong. Singkong yang sebelumnya tidak dilirik oleh kalangan muda, tiba-tiba mendapatkan tempat tersendiri dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan resep dan kemasan baru, orang memakan tela-tela seolah lupa bahwa makanan tersebut berbahan dasar singkong. Sebelumnya, kaum muda cenderung menganggap makanan tiwul—yang juga terbuat dari singkong—sebagai makanan kampungan.
Dari hal tersebut, kita memahami bahwa minat dan kecenderungan manusia dapat dikendalikan melalui bentuk, rupa, dan kemasan yang baru, yang sesuai dengan zamannya. Dengan memakai atau mengonsumsi kemasan baru, seseorang tidak menyadari bahwa sesuatu yang tadinya dianggap kampungan berubah menjadi tren; dari yang semula membuat minder menjadi hal yang disukai dan dibanggakan.
Kecenderungan serupa juga berlaku dalam aspek kehidupan manusia lainnya. Misalnya, perbuatan olok-olok, menghina, meremehkan, atau membuli dapat hadir dalam bentuk dan cara yang berbeda pada setiap zaman. Namun, muatannya tetap sama: membuat orang merasa tidak rela.
Dulu, bentuk penghinaan, ghibah, atau ngrasani cenderung bersifat verbal. Namun, kini penghinaan bisa hadir melalui simbol, gambar, atau video, di antaranya dalam bentuk penyematan stiker atau penyebaran meme, yang pada hakikatnya tetap mengandung unsur penghinaan dan meremehkan. Tentu orang yang fotonya dicatut tidak akan merelakan.
Bayangkan suatu hari kamu menemukan sebuah foto tergeletak di jalan. Sebagai manusia normal, kamu pasti akan segera mengambilnya karena khawatir terinjak atau kotor.
Foto sebagai representasi eksistensi diri seharusnya dijaga kehormatannya, karena di dalamnya tersirat makna penting tentang martabat pribadi. Penempatan yang tepat atas foto adalah wujud ikhtiar menjaga kehormatan diri.
Bagaimana dengan perbuatan menghina atau ghibah dalam konteks sekarang? Misalnya, muncul pertanyaan tentang penyematan stiker dalam percakapan WhatsApp yang menggunakan gambar tokoh atau orang tertentu. Apakah itu tidak termasuk olok-olok atau gunjingan? Apa parameter yang menentukan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak dan kehormatan seseorang?
Tulisan ini mencoba membahasnya dengan merujuk pada pedoman dasar dari Al-Qur’an, hadis, dan qaul ulama.
Pertama, dasar kaidah interaksi sosial disampaikan oleh Sayyidina Ali dalam kitab Nahjul Balaghah (Puncak Kefasihan):
اجْعَلْ نَفْسَكَ مِيزَانًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ غَيْرِكَ، وَأَحِبَّ لِغَيْرِكَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، وَاكْرَهْ لَهُ مَا تَكْرَهُ لَهَا، لَا تَظْلِمْ كَمَا لَا تُحِبُّ أَنْ تُظْلَمَ، وَأَحْسِنْ كَمَا تُحِبُّ أَنْ يُحْسَنَ إِلَيْكَ، وَاسْتَقْبِحْ لِنَفْسِكَ مَا تَسْتَقْبِحُهُ مِنْ غَيْرِكَ، وَارْضِ مِنْ النَّاسِ مَا تَرْضَى لَهُمْ مِنْكَ
“Jadikanlah dirimu sebagai timbangan antara dirimu dan orang lain.
Cintailah untuk orang lain apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri.
Bencilah untuknya apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri.
Janganlah engkau menzalimi sebagaimana engkau tidak suka dizalimi.
Berbuat baiklah sebagaimana engkau suka diperlakukan dengan kebaikan.
Anggaplah buruk untuk dirimu sendiri apa yang kamu anggap buruk dari orang lain.
Ridhailah dari orang lain apa yang kamu ridhai untuk mereka dari dirimu.”
Ungkapan dari Sayyidina Ali ini diringkas oleh orang Jawa dengan frasa tepo saliro, yang berarti kesadaran diri untuk menempatkan diri secara tepat dalam hubungan dengan orang lain—khususnya dalam hal menghormati, memahami, dan menjaga perasaan serta kepentingan pihak lain.
Hal ini mengandung nilai filosofi bahwa setiap manusia seharusnya memiliki manunggaling rasa dengan orang lain—atau dalam bahasa mudahnya: berempati dan tidak semena-mena terhadap sesama karena menyadari bahwa kita semua memiliki perasaan dan kehormatan.
Dalam konteks ini, narasi Nabi Saw. menegaskan bahwa semua orang beriman ibarat satu jasad:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi adalah bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuh akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari)
Nabi sendiri menekankan tepo saliro sebagai ukuran keimanan:
عَنْ أَبِيْ حَمْزَة أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) رَوَاهُ اْلبُخَارِيّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abu Hamzah—Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu—pembantu Rasulullah, dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari pepiling di atas, terdapat peringatan agar sebelum membuat dan menyebarkan stiker, video, atau meme yang berisi gambar orang lain, sebaiknya kita bertanya pada diri sendiri: “Andaikan gambar ini adalah fotoku, bagaimana perasaanku?” Sudahkah aku mendapat izin dari pemilik gambar? Jika belum, bukankah hal itu tergolong ghoshob? Jangankan menyangkut kehormatan seseorang—mengambil sandal orang lain tanpa izin saja termasuk ghoshob. Mungkinkah orang yang gambarnya aku ambil untuk hiburan pribadi akan legowo?
Tapi bagaimana jika kita tidak merasa bersalah? Di sinilah muncul rupa baru dari perbuatan menghina atau menggunjing. Jika tidak direnungkan secara mendalam, kita tak akan menyadari bahwa itu adalah bentuk maksiat.
Sering kali kategori dosa dipahami secara usang—tidak diperbarui pemahamannya. Padahal, setiap hal mengalami perubahan seiring dinamika zaman.
Hal ini terjadi karena sebagian besar umat Islam hanya melakukan taqlid buta terhadap fatwa. Mereka tidak menangkap substansi dan nilai-nilai di baliknya, kurang melakukan tadabbur terhadap teks-teks agama yang berhubungan dengan kehidupan.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari perbuatan buruk, dan menyalakan hati kita dengan sensor tepo saliro dalam diri kita. Amin.
Wallāhu a‘lam.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra