Kemerdekaan
Dalam kajian Kerifaiyahan ke-5, kami belum menyertakan definisi kemerdekaan. Maka dari itu, perlu kami sampaikan pengertian kemerdekaan secara bahasa, istilah, dan makna kontekstual.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa salah satu makna kata merdeka adalah tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Lalu, apa yang dimaksud dengan merdeka menurut KH. Ahmad Rifa’i? Berikut ini adalah kutipan pernyataan beliau dalam kitab Bayan Akhir, yang menjelaskan prinsip dasar dari kemerdekaan:
أَنْتَ حُرٌّ مِمَّا لَهُ اَيِسٌ
سِيْرَ إِيكُوْ مَرْدِيْكَا سَكِعْ بَرَعْ أَنَانَىْ ۞ سِيْرَ سَكِعْ سَوِيْجِ وِجِىْ فُوْتُوسْ لُوْبَانَىْ
أَوْرَا عَرَفْ عَرَفْ إِعْ مَنُوْسَا فَوَيْوَيهْ رِزْقِنَىْ ۞ بَالِكْ لُوْبَا عَرَفْ عَرَفْ إِعْ الله فَفَارِعَانَىْ
دَادِيَا مَنُوْسَا عُوْلُوعَاكنْ سَكِعْ تَاعَنْ ۞ أُوْكَا فَمَنْدعَىْ سَكِعْ الله فَفَارِعَانْ
وَعَبْدٌ لِمَا أَنْتَ لَهُ طَامِعٌ
لَنْ دَادِىْ كَوُلَنَىْ كَدُوَىْ سَوِجِ وِجِ أَنَانَىْ ۞ سِيْرَ كَارَنَا سَوِجِ وِجِ لُوْبَا تِنَمُوْنَىْ
عَرَفْ عَرَفْ إِعْ مَنُوْسَا سَنْدَاعْ فَعَانَىْ ۞ لَنْ دَادِىْ كَلُونْتَا لُوِهْ كَدَىْ دُوْسَانَىْ
(Dikatakan merdeka itu ketika) Anda tidak berharap lebih kepada siapa pun maupun apa pun. Tidak bergantung kepada pemberian rezeki dari manusia, tetapi mengharapkan anugerah dari Allah Swt. semata.
Meskipun manusia kadang mengulurkan tangan (memberi sesuatu), dalam hati tetap memandang bahwa semua itu hakikatnya berasal dari Allah.
(Sebaliknya) manusia menjadi budak dari sesuatu yang ia inginkan. Mengharap kepada manusia untuk kebutuhan sandang dan pangan menjadikannya hina, bahkan lebih besar dosanya.
Kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)—yang sering kali menjadi rujukan hampir semua disiplin ilmu yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi—dinyatakan bahwa merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Mbah Rifa’i menyatakan bahwa konsep merdeka dalam kitab Bayan lebih antisipatif, lebih mendalam, lebih hakiki, dan lebih luas. Jika mengacu pada definisi kedua dalam KBBI, maka pengertian “manusia terjajah” seakan-akan bermula karena ada pihak lain yang menjajah; yakni pihak luar yang membuat manusia menjadi terikat, bergantung, atau terjajah.
Padahal, jika merujuk pada epistemologi Mbah Rifa’i tentang kemerdekaan, tidak ada istilah “manusia terjajah”. Yang ada adalah manusia yang berharap untuk dijajah. Ia menyerahkan dirinya pada keterikatan, perbudakan, atau keterjajahan karena adanya rasa raghab (ambisi) dan loba (ketamakan) yang memancar dari dirinya. Rasa inilah yang menarik para penjajah untuk datang, lalu mengikat dan menjajahnya. Bisa diibaratkan bahwa kedua rasa itu adalah seperti magnet yang mengundang pihak luar untuk menjajah.
Sebagaimana yang dahulu menimpa raja-raja Jawa. Mereka bisa diadu domba oleh VOC karena memiliki penyakit thoma’ untuk bertahta dan menguasai. Jika masing-masing putra mahkota ingin naik tahta sedangkan kursi hanya satu, maka salah satunya akan didekati VOC, seakan-akan dibela, padahal sesungguhnya hanya di-belah bambu, lalu semuanya dijajah.
Seberapa miskin pun seseorang, tidak akan ada yang bisa mengikatnya jika hatinya terbebas dari loba (thoma’). Di antara pernyataan Mbah Rifa’i, beliau mengatakan bahwa merdeka itu putus lobane (terbebas dari ketamakan).
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra