Di dalam kamar sederhana di kediamannya sendiri, Hafshah binti Umar berdiri dengan tatapan tajam. Dadanya naik turun menahan gejolak perasaannya. Mata indahnya yang biasanya penuh kelembutan kini menyorot kekecewaan. Ia baru saja mendapati Rasulullah bersama Maria Al-Qibtiyah di kamarnya sendiri, pada hari yang seharusnya menjadi gilirannya.
“Wahai Rasulullah, sungguh Engkau telah melakukan sesuatu yang tidak pernah Engkau lakukan terhadap istri-istrimu yang lain. Pada hari giliranku dan di ranjangku?” kata Hafshah dengan nada penuh ketidaksenangan.
Rasulullah menatapnya dengan penuh kesabaran. Wajah beliau tetap tenang, meskipun jelas terlihat bahwa Hafshah merasa terluka. Setelah hening sejenak, Rasulullah berkata, “Apakah Kau senang jika Aku tidak menggauli dan tidak mendekatinya lagi?”
Hafshah mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa kesal.
“Jika begitu, Aku bersumpah untuk tidak mendekatinya lagi,” ujar Rasulullah dengan suara yang penuh keteguhan.
Namun, peristiwa itu tidak berakhir di sana. Hafshah segera menemui Aisyah, sahabat dekatnya sekaligus istri Nabi yang juga dikenal karena kecerdasannya. Dengan berapi-api, ia menceritakan semua yang terjadi di kediamannya.
Tak butuh waktu lama, berita itu semakin bulat di antara Hafshah dan Aisyah. Rasa cemburu semakin membakar hati mereka. Maria Al-Qibtiyah, budak yang telah dimerdekakan oleh Rasulullah, kini menjadi menjadi semakin diperhatikan. Kecantikannya yang luar biasa, rambutnya yang panjang dan tebal, serta kesederhanaannya membuat Rasulullah begitu menyayanginya. Namun, bukan hanya kecantikannya yang membuat Maria istimewa, tetapi juga kesuciannya dalam beribadah serta keberuntungannya mengandung anak Rasulullah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh istri-istri beliau yang lain pada saat itu.
Di tengah kegelisahan itu, wahyu Allah pun turun, menegur Rasulullah:
“Wahai Nabi! Mengapa Engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)
Rasulullah tercenung saat menerima teguran itu. Allah tidak menghendaki beliau untuk mengharamkan sesuatu yang halal demi menyenangkan hati manusia. Rasulullah pun mengerti bahwa beliau harus kembali kepada ketetapan Allah.
Namun, wahyu tidak berhenti di situ. Allah juga mengungkapkan bahwa Hafshah telah membocorkan rahasia yang diminta untuk dirahasiakan:
“Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafshah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu kepada Aisyah dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepada Nabi…” (QS. At-Tahrim: 3)
Berita ini tentu mengejutkan Hafshah dan Aisyah. Mereka menyadari bahwa Allah telah menegur mereka secara langsung. Rasa bersalah menyelimuti hati mereka, dan mereka pun segera bertobat. Karena kecemburuannya, Nabi sampai mengharamkan apa yang sudah dihalalkan Allah. Ini semakin menegaskan bahwa sesuatu yang halal tidak bisa diharamkan karena alasan pribadi.
Maria Al-Qibtiyah, wanita lembut yang awalnya hanya seorang budak dari Mesir, tetap diam dalam kesederhanaannya. Ia tak pernah menuntut atau membela diri. Ia mencintai Rasulullah dengan tulus, tanpa berharap lebih. Maria tak hanya dikaruniai kecantikan, tetapi juga kelembutan hati dan keberuntungan mengandung anak Rasulullah, Ibrahim. Hal inilah yang semakin membuat Rasulullah mencintainya.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ibrahim, putra yang begitu dinanti dan dicintai, meninggal di usia 18 bulan. Rasulullah menangis dalam keperihan, sementara Maria merasakan duka yang tak terkatakan.
Meski hidup dalam kecemburuan para istri Rasulullah, Maria tetap menjalani kehidupannya dengan ketakwaan. Setelah Rasulullah wafat, Maria hidup dalam ibadah dan pengabdian kepada Allah, hingga akhirnya berpulang pada tahun 16 Hijriah. Umar bin Khattab, khalifah saat itu, sendiri yang memimpin shalat jenazahnya.
Maria Al-Qibtiyah adalah wanita yang tak hanya dikaruniai kecantikan, tetapi juga kesabaran dan keberuntungan melahirkan putra Nabi. Kehadirannya menjadi pelajaran berharga dalam sejarah Islam, tentang kecemburuan, ketakwaan, dan ketentuan Allah yang tak bisa diingkari.
Ahmad Zahid Ali, ST