Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Memahami Tradisi Santri, Meluruskan Framing Media

Tim Redaksi by Tim Redaksi
October 21, 2025
in Kolom
0
tradisi santri

Para santri tengah khusyuk membaca Al-Qur'an. (Yudhistirama/Shutterstock)

0
SHARES
56
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Rifaiyah.or.id – Orang akan cenderung mengistimewakan sosok yang menjadi idolanya. Fenomena ini sudah sangat manusiawi. Lihat saja bagaimana para penggemar artis Korea rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli tiket konsernya, menunggu berjam-jam demi sekadar melihat sang idola, bahkan memajang fotonya di kamar, media sosial, dompet, atau di mana pun tempat yang mereka suka. Semua itu adalah bentuk ekspresi cinta dan kekaguman—sesuatu yang sesungguhnya diterima secara wajar oleh masyarakat.

Namun, anehnya, ketika hal serupa terjadi di dunia pesantren, banyak orang justru menjadi salah paham. Para santri yang mencium tangan kiai, memberikan amplop sebagai bentuk cinta, atau merunduk ketika berhadapan dengan sosok yang mereka muliakan, sering kali dicap berlebihan, bahkan sampai dituduh melakukan praktik “feodalisme” atau “perbudakan”. Padahal, semua itu adalah bagian dari tradisi adab dan cinta kepada guru yang telah berakar ratusan tahun dalam dunia keilmuan Islam bahkan tradisi budaya Jawa.

Tradisi santri bukan sekadar formalitas budaya, tetapi merupakan wujud penghormatan terhadap ilmu dan sumbernya. Kiai bukan hanya guru dalam arti akademis, melainkan juga pembimbing spiritual, teladan moral, dan panutan hidup. Dalam pandangan santri, mencium tangan kiai bukan penyembahan, melainkan bentuk ta’dzim (penghormatan). Santri dengan sukarela melakukannya bahkan menjadi suatu kebanggaan. Ibarat karyawan menunduk kepada bosnya karena uang, begitu pun santri akan sendiko dawuh kepada kiai karena ilmunya—sama sebagaimana murid menghormati gurunya di sekolah, hanya saja dengan nilai spiritual yang lebih dalam dan praktik sopan santun yang lebih eksotis.

Santri yang ikut mengecor bangunan pesantren, mengurusi sawah, mengelola toko, atau menjadi abdi dalem kiai bukanlah bentuk eksploitasi atau feodalisme, melainkan suatu proses tarbiyah (pendidikan pembentukan diri) yang dijalani santri dengan rasa bangga dan penuh keikhlasan. Di pesantren, pendidikan tidak berhenti pada penguasaan ilmu-ilmu akademik semata, tetapi juga mencakup pembelajaran keterampilan hidup (life skills) yang menumbuhkan kemandirian, tanggung jawab, dan etos kerja.

Melalui pengalaman langsung di berbagai bidang, santri belajar menghargai kerja keras, memahami realitas sosial, dan melatih kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, pesantren tidak hanya melahirkan generasi yang mampu beretorika, tetapi juga insan yang siap terjun ke tengah masyarakat dengan sikap luwes, membumi, dan penuh pengabdian. Inilah hakikat pendidikan pesantren: memadukan antara ilmu, amal, dan adab dalam satu kesatuan yang utuh.

Namun, sayangnya, tidak semua orang bisa bijaksana memahami konteks ini. Beberapa waktu terakhir, muncul tayangan di salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, program Xpose Uncensored yang memuat narasi seolah-olah kehidupan pesantren penuh praktik yang menyimpang, penuh ketundukan buta, bahkan mengarah pada pelecehan atau penyalahgunaan kekuasaan kiai. Tayangan semacam ini jelas merupakan framing yang menyesatkan karena menilai tradisi pesantren dari kacamata luar yang dangkal, tanpa riset mendalam dan minim data.

Media seharusnya berfungsi sebagai jembatan pengetahuan, bukan sebagai alat pembentuk stigma. Ketika sebuah tayangan gagal membedakan antara “takzim” dan “taklid”, antara “adab” dan “penyembahan”, maka ia tidak hanya keliru dalam memahami pesantren, tetapi juga merusak citra lembaga pendidikan Islam yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.

Perlu diingat, dari pesantren lahir tokoh-tokoh nasional yang berkontribusi besar bagi negeri ini—dari KH. Ahmad Rifa’i, KH. Hasyim Asy’ari, hingga KH. Ahmad Dahlan—dari santri pejuang di masa penjajahan hingga cendekiawan Muslim di era modern. Pesantren adalah rumah pembentukan karakter, tempat menumbuhkan kesederhanaan, kemandirian, serta cinta tanah air. Menyerang pesantren dengan narasi fitnah sama saja dengan menyerang akar moral bangsa sendiri.

Dalam budaya pesantren, sikap santri yang mencintai kiai bukanlah bentuk pemujaan, tetapi buah dari pendidikan akhlak. Nilai semacam inilah yang akhir-akhir ini mulai mengalami krisis di banyak lembaga pendidikan modern. Relasi antara guru dan murid sering kali terbatas pada hubungan transaksional: guru sekadar penyampai materi, dan murid hanya penerima pengetahuan. Akibatnya, pendidikan kehilangan dimensi ruhaniah yang membentuk karakter dan kepribadian.

Kendati demikian, pesantren bukanlah lembaga pendidikan yang maksum atau selalu benar. Kritik terhadap pesantren tetap perlu, hanya saja harus dimulai dari istilah yang jernih, bukan dari kesan yang kabur. Evaluasi perlu diarahkan pada aspek-aspek konkret seperti tata kelola, kurikulum, metode pembelajaran, maupun fasilitas. Dilakukan dengan riset yang mendalam, berdasarkan fakta serta kaya data. Bukan hanya framing murahan yang berskala fitnah, melainkan dengan analisis yang objektif, konstruktif, dan berorientasi pada perbaikan.

Maka, sebelum menilai dunia pesantren dengan kacamata prasangka, belajarlah memahami nilai yang hidup di dalamnya. Jangan bandingkan ta’dzim santri kepada kiai dengan fanatisme buta, karena di balik setiap cium tangan dan amplop kecil itu, tersimpan cinta tulus kepada ilmu dan penghormatan kepada sang pembawa cahaya pengetahuan.

Pesantren bukan ruang gelap seperti yang disuguhkan oleh sebagian media, melainkan taman keilmuan yang melahirkan insan beradab. Media semestinya mengekspos dari sisi itu dan berhenti menjadikan pesantren sebagai komoditas sensasional. Sebab di balik kesederhanaannya, pesantren menyimpan pendar cahaya yang barangkali tak bisa dipahami oleh mereka yang terbiasa hidup dalam gemerlap dunia.


Penulis: Isa Abdallah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: citra pesantrenframing mediamedia dan pesantrenMedia SosialpesantrenPondok Pesantrensantritradisi santriviral
Previous Post

Capaian dan Arah Gerakan Angkatan Muda Rifa’iyah: Dari Kitab Menuju Gerakan

Next Post

Mas’ad dan Mbah Mad: Pesantren lan Peodhalisme

Tim Redaksi

Tim Redaksi

Next Post
Pesantren lan Peodhalisme

Mas'ad dan Mbah Mad: Pesantren lan Peodhalisme

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id