Tulisan ini merupakan lanjutan dari artikel berjudul Mengenal Kitab Fatawiyah Karya KH. Ahmad Rifa’i, yang membahas secara umum mengenai latar belakang penulisan, struktur nadzam, serta poin-poin pokok yang terkandung dalam Kitab Fatawiyah. Pada bagian kedua ini, akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai tujuh fatwa utama yang disampaikan KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab tersebut. Ketujuh fatwa ini menjadi inti dari misi keilmuan dan dakwah beliau, terutama dalam membimbing masyarakat awam agar memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara sah dan benar.
Tujuh Fatwa Utama dalam Kitab Fatawiyah
Sesuai dengan namanya, kitab ini berisi kumpulan fatwa KH. Ahmad Rifa’i yang berjumlah tujuh. Fatwa-fatwa ini ditujukan kepada orang-orang yang bodoh dan yang ilmunya setengah-setengah. Alasan paling tepat menurut penulis, kitab ini ditulis tidak lain agar masyarakat Jawa lebih memahami agama, mengingat pada masa itu mayoritas masyarakat masih tergolong awam dalam hal agama.
Dari analisis tersebut tampak bahwa KH. Ahmad Rifa’i merupakan sosok ulama yang peduli terhadap keabsahan keislaman dan keimanan masyarakat Jawa. Ia senantiasa melaksanakan perintah Allah berupa amar ma’ruf nahi munkar melalui lisan dan tulisan yang hingga kini masih dapat kita baca, meski beliau telah wafat berabad-abad yang lalu.
Ya, tujuh fatwa KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Fatawiyah ini, menurut saya, tidak hanya relevan pada masa itu. Pada zaman sekarang pun, fatwa-fatwa ini masih penting dan perlu diperhatikan oleh seluruh umat Islam Indonesia—bukan hanya masyarakat Jawa saja. Sebab, ketika KH. Ahmad Rifa’i masih hidup, istilah “Indonesia” bahkan belum dikenal.
Ketujuh fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
- Orang bodoh dan yang ilmunya setengah-setengah, tidak sah Islam dan imannya apabila meremehkan syariat atau tidak mau menerima syariat Allah dan Rasul-Nya.
- Orang bodoh dan yang ilmunya setengah-setengah, tidak sah ibadahnya apabila tidak disaksikan kebenarannya oleh orang alim yang adil, yakni orang yang mengajarkan tentang rukun dan syarat ibadah.
- Seorang guru wajib mengajarkan kebenaran ilmu mengenai iman, Islam, dan segala kebaikan, serta menyampaikan fatwa tentang pentingnya memenuhi rukun dan syarat. Sebab, tidak sah iman, salat Jumat, dan lain-lain apabila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi. Guru yang tidak mengajarkan hal demikian sudah tentu menjadikan muridnya tersesat dalam bid’ah (tidak berpedoman pada Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas).
- Jika di tanah Jawa hanya ada satu orang yang alim dan adil, maka fardu ‘ain hukumnya untuk i‘timad (berpegang teguh) kepadanya.
- Bagi orang bodoh dan yang ilmunya setengah-setengah, hukumnya fardu ‘ain untuk belajar kepada orang alim dan adil, karena mereka mengajarkan ilmu yang benar tentang sahnya iman, sahnya ibadah salat Jumat, serta ibadah-ibadah lainnya.
- Tidak sah pernikahan seseorang yang tidak memenuhi rukun dan syarat. Bisa jadi, pengantin tersebut belum sah Islam dan imannya. Bisa juga, saksi dalam pernikahan itu adalah orang fasik yang tidak mengetahui ilmu mengenai syarat dan rukunnya.
- Orang bodoh dan yang ilmunya setengah-setengah, haram melaksanakan tadarus, dzikiran, maulidan, tahlilan, kenduren, dan sebagainya, karena mengikuti keawaman dirinya. Terkadang, karena tidak mau belajar, pemahamannya keliru; kadang keharamannya disebabkan salah baca sehingga menimbulkan makna yang salah; atau bisa juga karena mengabaikan perkara yang fardu seperti mencari ilmu atau melaksanakan qadha’ mubadarah (mengqadha kewajiban yang harus disegerakan); dan terkadang karena adanya kemungkaran di dalam majelis tersebut.
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra