Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, sering kali kita mencari musuh di luar diri. Kita menyalahkan keadaan, menuding orang lain, dan merasa menjadi korban dari dunia yang tidak adil. Namun, dalam sebuah pengajian mendalam tentang Kitab Al-Hikam, KH. Ma’ruf Sabrawi mengingatkan kita pada sebuah pertempuran yang jauh lebih fundamental dan abadi: perang melawan musuh terdekat yang bersemayam dalam diri kita sendiri. Musuh itu adalah nafsu.
Dari pengajian tersebut, terpancar sebuah pesan kuat bahwa mengenali dan mengendalikan nafsu merupakan inti dari perjalanan spiritual seorang hamba. Tanpa perjuangan ini, ibadah bisa menjadi hampa dan kebaikan ternoda oleh niat yang tersembunyi.
Tipu Daya Nafsu yang Samar (Tersembunyi)
Salah satu poin krusial yang diangkat adalah betapa licik dan samarnya nafsu. Ia tidak selalu datang dalam bentuk kemaksiatan yang terang-terangan, melainkan kerap menyelinap dalam jubah ketaatan. Kita bisa merasa bangga dengan ibadah, merasa lebih baik dari orang lain, atau bahkan melakukan kebaikan demi pujian. Sebagaimana disiratkan dalam pengajian:
“Samar-samar sangking samare wong iki ora paham, jebule nuruti maring nafsu.”
(Begitu tersembunyinya hingga orang ini tidak paham, ternyata ia hanya menuruti nafsunya.)
Nafsu mampu membuat keburukan terasa indah dan membutakan kita terhadap kekurangan diri sendiri. Al-Qur’an telah memperingatkan tentang sifat dasar nafsu yang selalu mendorong pada keburukan, kecuali yang dirahmati Allah:
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)
Perang Terbesar yang Sering Terlupakan
Pengajian ini menggambarkan perjuangan melawan nafsu sebagai perang dan mujahadah yang tiada henti. Ini bukanlah pertempuran fisik dengan senjata, melainkan pertempuran batin yang jauh lebih berat. Inilah yang disebut Rasulullah SAW sebagai Jihad Akbar (jihad yang lebih besar).
Ketika kembali dari sebuah perang fisik, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya, mengingatkan mereka bahwa ada pertempuran yang lebih agung menanti:
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ؟ قَالَ: جِهَادُ الْقَلْبِ (أَوْ) جِهَادُ النَّفْسِ
“Kita telah kembali dari jihad yang lebih kecil (perang fisik) menuju jihad yang lebih besar.” Para sahabat bertanya, “Apakah jihad yang lebih besar itu?” Beliau menjawab, “Jihad melawan hati (atau) jihad melawan nafsu.” (HR. Al-Baihaqi)
Pesan ini menggarisbawahi bahwa menaklukkan diri sendiri adalah kemenangan yang paling hakiki, sebuah peperangan seumur hidup yang menentukan kualitas keimanan kita.
Jalan Menuju Kemenangan: Kenali Dirimu, Kenali Tuhanmu
Bagaimana cara memenangkan perang ini? Jawabannya terletak pada kesadaran diri dan introspeksi yang terus-menerus. Kita harus berani menelanjangi niat di hadapan Allah, memohon pertolongan-Nya untuk meluruskan apa yang bengkok di dalam hati.
Perjalanan ini merupakan inti dari tasawuf dan penyucian jiwa. Para ulama arif bijaksana mengajarkan sebuah kaidah emas yang menghubungkan pengenalan diri dengan pengenalan Tuhan:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barangsiapa yang mengenal dirinya (nafsunya), maka ia telah mengenal Tuhannya.”
Dengan mengenali kelemahan, kefakiran, dan ketergantungan diri kita, kita akan semakin mengenal keagungan, kekayaan, dan kemandirian Allah SWT. Dari sanalah lahir kelembutan hati dan ketundukan yang sejati.
Buah Manis Perjuangan: Sibuk dengan Aib Diri
Salah satu tanda keberhasilan seseorang dalam berjihad melawan nafsu adalah ketika ia menjadi terlalu sibuk mengurusi aib dan kekurangan diri sendiri, sehingga tidak sempat memperhatikan kesalahan orang lain. Sebagaimana disinggung dalam pengajian tentang menutupi cela, orang yang sadar akan banyaknya ‘pekerjaan rumah’ dalam dirinya tidak akan punya waktu untuk mencari-cari kesalahan saudaranya.
Sikap ini sangat dipuji oleh Rasulullah SAW karena akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang dan saling menjaga kehormatan:
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)-nya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Akhirnya, pengajian ini mengajak kita untuk kembali ke dalam, memulai perjalanan paling penting dalam hidup: perjalanan menaklukkan diri sendiri demi menggapai rida Ilahi. Ini adalah sebuah perjuangan yang berat, namun buahnya adalah ketenangan batin, keikhlasan dalam beramal, dan kedekatan sejati dengan Sang Pencipta.
Referensi: https://www.youtube.com/watch?v=WytCmsNKENs
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra