Bagi setiap organisasi, terdapat momen-momen krusial yang menjadi titik balik penentu arah perjuangan di masa depan. Bagi Jam’iyah Rifa’iyah, salah satu momen paling monumental itu terjadi pada tahun 1991, ketika semangat persatuan, keberanian, dan pengakuan nasional menyala terang melalui partisipasi dalam perhelatan akbar Festival Istiqlal di Jakarta.
Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan warisan semangat bagi warga Rifa’iyah, khususnya Angkatan Muda Rifa’iyah (AMRI), untuk memahami betapa besar perjuangan para pendahulu dalam mengangkat marwah organisasi ke panggung yang lebih luas.
Bermula dari Sebuah Ikhtiar di Wonosobo
Semangat untuk tampil di kancah nasional tidak lahir dalam semalam. Semua berawal dari sebuah musyawarah besar yang diselenggarakan di Masjid Karangsambo, Wonosobo, pada 1 Oktober 1991 (22 Rabiul Awal 1412 H). Musyawarah ini, yang dihadiri oleh para ulama dan cendekiawan Rifa’iyah–Tarajumah, merupakan respons atas berbagai tantangan yang dihadapi warga, terutama masalah kerukunan dan kekompakan.
Dari pertemuan tersebut, lahirlah tekad bulat untuk membentuk lembaga yang menaungi seluruh warga dalam satu organisasi, menyatukan visi, dan melestarikan ajaran luhur KH. Ahmad Rifa’i. Musyawarah di Wonosobo menjadi fondasi penyatuan langkah untuk tujuan yang lebih besar: ikut serta dalam Festival Istiqlal 1991 di Jakarta.
Menembus Panggung Ibu Kota: Perjuangan di Festival Istiqlal
Keputusan untuk berpartisipasi dalam Festival Istiqlal merupakan langkah berani. Di tengah berbagai hambatan, termasuk dari oknum-oknum yang kontra, para ulama dan cendekiawan Rifa’iyah tetap teguh. Perjalanan ke Jakarta tidaklah mudah. Rombongan dari Pekalongan yang tiba pada 7 Oktober 1991 mendapati bahwa pendaftaran stan pameran resmi telah ditutup.
Namun, berkat kecerdikan dan lobi yang gigih, Rifa’iyah justru berhasil memperoleh posisi strategis: stan nomor 16 di arena Bazar Festival, tepat di halaman parkir Masjid Istiqlal. Di sanalah, selama sebulan penuh (15 Oktober–15 November 1991), Rifa’iyah untuk pertama kalinya menampilkan wajahnya secara terbuka kepada masyarakat Indonesia dan dunia.
Di stan sederhana tersebut, dipamerkan lebih dari 500 kitab Tarajumah tulisan tangan dan cetakan, Al-Qur’an tulisan tangan, serta berbagai kitab kuning berbahasa Arab. Tak hanya itu, ditampilkan pula benda-benda bersejarah seperti Jidaran (alat penggaris untuk menulis kitab) dan Beruk (alat takar zakat dari tempurung kelapa), sebagai bukti kekayaan tradisi intelektual warisan KH. Ahmad Rifa’i.
Stan Rifa’iyah menjadi magnet. Di luar dugaan, stan ini dikunjungi oleh berbagai kalangan: masyarakat umum, mahasiswa, pelajar, ulama dari berbagai daerah, hingga pejabat tinggi negara seperti Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi saat itu, Ir. Soesilo Soedarman. Ini membuktikan bahwa ajaran Rifa’iyah memiliki daya tarik kuat ketika disajikan secara baik.
Jejak Sang Guru: Penemuan Foto Bersejarah KH. Ahmad Rifa’i
Salah satu momen paling mengharukan dan bersejarah selama festival adalah ditemukannya foto KH. Ahmad Rifa’i. Selama ini, sosok sang mahaguru hanya terbayang dalam benak dan tulisan. Setelah dilakukan pelacakan di berbagai instansi di Jakarta, panitia akhirnya menemukan sebuah foto yang diyakini sebagai potret beliau.
Deskripsi foto itu sangat detail: sosok ulama berdiri setengah badan, memegang pena dari bulu itik, mengenakan surban dan jubah putih. Wajahnya cerah, matanya memancarkan cahaya tajam namun tidak angker, dengan senyum berwibawa. Untuk memastikan keasliannya, panitia melakukan silaturahmi ke kediaman Bapak Bilal di Kaliwungu, Kendal, dan bertemu dengan Ibu Rubi’ah, keturunan dari kakak KH. Ahmad Rifa’i. Postur dan ciri keluarga yang mirip semakin menguatkan keyakinan bahwa foto tersebut memang gambar KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad bin Abu Syuja’.
Penemuan ini bukan sekadar penemuan gambar, melainkan penemuan kembali sosok panutan yang menjadi sumber inspirasi utama gerakan Rifa’iyah.
Silaturahmi yang Mengubah Pandangan: Pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Puncak pengakuan datang pada 19 November 1991. Perwakilan Jam’iyah Rifa’iyah diterima sebagai tamu terhormat di ruang sidang Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta. Dalam pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh besar MUI seperti Ketua MUI Prof. Dr. KH. Ali Yafie dan Dr. H. Quraish Shihab, perwakilan Rifa’iyah menjelaskan secara rinci ajaran dan paham organisasi.
Hasilnya sangat membanggakan. Prof. Dr. Ali Yafie menyatakan bahwa selama ini MUI kurang mendapat informasi yang benar tentang Rifa’iyah. Setelah mendengar penjelasan langsung, MUI memperoleh gambaran yang jelas. Bahkan, menurut Quraish Shihab, “antara MUI dengan Rifa’iyah sejalan dalam faham Ahlus Sunnah wal Jamaah.” Ini merupakan pengakuan yang menepis berbagai fitnah dan keraguan selama ini.
Buah Perjuangan: Warisan Festival 1991 bagi Generasi Penerus
Partisipasi dalam Festival Istiqlal 1991 menghasilkan buah manis yang berdampak jangka panjang. Beberapa hasil yang dapat dirangkum antara lain:
- Kebangkitan Harga Diri: Masyarakat Rifa’iyah yang sebelumnya terkesan “penakut” menjadi berani dan percaya diri untuk tampil di forum nasional, bahkan internasional.
- Pengakuan Luas: Jam’iyah Rifa’iyah mulai dikenal oleh pejabat, akademisi, budayawan, hingga tokoh Muslim dari luar negeri. Bahkan, Library of Congress (Amerika) menyatakan minat terhadap 57 judul kitab karya KH. Ahmad Rifa’i.
- Inspirasi bagi Generasi Muda: Festival ini menumbuhkan rasa bangga dan semangat di kalangan anak-anak, remaja, dan pemuda Rifa’iyah untuk melestarikan ajaran dan warisan para pendahulunya.
- Momentum Persatuan: Peristiwa ini merupakan aktualisasi motto seminar nasional Rifa’iyah, “Kesinambungan dan Perubahannya,” yang menunjukkan kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
- Anugerah Pahlawan Nasional: Muncul kesadaran dan dorongan kuat untuk mengupayakan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi KH. Ahmad Rifa’i atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara.
Panggilan untuk Angkatan Muda Rifa’iyah (AMRI)
Kisah perjuangan tahun 1991 adalah cermin bagi kita semua, khususnya AMRI. Para pendahulu telah membuktikan bahwa dengan niat tulus, persatuan kokoh, dan keberanian melangkah, tidak ada yang mustahil. Mereka mengubah pandangan, menepis keraguan, dan meletakkan fondasi kuat bagi eksistensi Rifa’iyah di era modern.
Tugas kita sekarang adalah melanjutkan estafet perjuangan ini. Semangat Festival Istiqlal 1991 harus terus hidup dalam setiap langkah. Mari kita gali kembali kekayaan intelektual warisan KH. Ahmad Rifa’i, aktif dalam dakwah dan kegiatan sosial, serta terus membawa nama baik Rifa’iyah di berbagai bidang.
Sejarah telah ditorehkan dengan tinta emas. Kini, pena ada di tangan kita untuk menulis bab-bab selanjutnya yang tidak kalah gemilang.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra