Doa menjadi bagian dari hidup manusia, karena manusia adalah makhluk yang bersandar, berkebutuhan khusus, suka dilayani, suka mengeluh, dan bahkan untuk sekadar eksis saja membutuhkan pegangan kepada makhluk lain.
Tanpa yang lain, mustahil manusia menjalani hidupnya. Coba bercermin, pandang baik-baik diri ini, dari ujung rambut kepala sampai ujung jari kaki. Semua organ tubuh memiliki kebutuhan.
Rambut butuh rapi; kita bergantung kepada pembuat sisir dan tukang cukur. Jika pandangan mata buram, kita membutuhkan kacamata. Adanya kacamata pun melibatkan sekian ratus, bahkan ribuan orang, sehingga ia bisa hadir di hadapan kita dan tinggal kita pakai.
Manusia bukan Tuhan yang Qiyamuhu binafsihi (berdiri dengan dirinya sendiri).
Selain bergantung, manusia juga sedemikian bodoh. Lima menit lagi akan ditimpa apa pun ia tidak tahu. Ia sering mengalami masalah-masalah kecil, misalnya lupa menaruh kunci motor, yang membuat hidupnya seolah akan kiamat karena harus memenuhi acara ini dan itu.
Kalau manusia seakan-akan tahu segala hal, sejatinya ia hanya mengaku-aku tahu, karena jumlah bulu mata sendiri saja ia tidak tahu. Ia pelupa, tapi terus saja berceloteh tentang banyak hal—yang rentan kebohongan.
Dengan segala kelemahan, kebodohan, kelupaan, dan kekhilafan yang dimiliki manusia, ia membutuhkan sandaran hati. Ia butuh gegeyongan ing Allah, maka kepantasan yang paling layak adalah memanjatkan doa dan selalu bergantung kepada Allah. Karena tidak mungkin makhluk lemah bergantung kepada makhluk lain yang juga lemah.
Kalau manusia banyak tidak tahu, maka ia harus berdoa sebagaimana disampaikan oleh KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Ibtida Doa lan Jawab:
اللهم ثبت بفضلك فهمنا # هي الله موكي توهان اسيه نتفنا
اع لرسي فهم كول علم عملنا # كلوان كنو كرهان توهان يرتننا
“Yā Allāh, Tuhan Yang Maha Pengasih, semoga Engkau menetapkan kepada kami kebenaran ilmu yang bermanfaat, dengan disertai anugerah dari-Mu.”
Ar-Rāghib al-Aṣfahānī dalam Mufradat fi Gharib al-Qur’an memaknai kata fahm sebagai keadaan seseorang yang menguasai makna-makna yang benar.
Dalam keterangan bait tersebut, KH. Ahmad Rifa’i mengutarakan bahwa pemahaman, selain melalui perantara ikhtiar manusia, sejatinya merupakan anugerah dari Allah semata. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anbiya’: 79:
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا ۖ وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُۥدَ ٱلْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَٱلطَّيْرَ ۚ وَكُنَّا فَـٰعِلِينَ
“Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya.”
Bahkan, pemahaman merupakan bentuk rezeki dari Allah sebagaimana tersurat dalam doa ketika kita hendak belajar:
اللَّهُمَّ ٱرْزُقْنِيْ فَهْمَ ٱلنَّبِيِّيْنَ
“Ya Allah, berikanlah rezeki kepada kami berupa pemahaman para Nabi…”
Sering kali, kebanyakan dari kita mengkonotasikan—bahkan menyempitkan—makna rezeki hanya sebatas uang. Padahal, mendapatkan sesuatu tanpa pemahaman yang benar dapat berpotensi salah dalam mengelolanya: safih dan mubadzdzir. Maka, pemahaman merupakan faktor penting bagi keselamatan manusia di dunia dan akhirat.dari isi teks ini.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra