Sahabat, pernahkah kita merenung sejenak tentang warisan agung para ulama kita? Di antara empat pilar utama hukum Islam—Al-Qur’an, Hadis, Ijmā’ (kesepakatan ulama), dan Qiyās—ada satu pilar keempat yang sering kali terasa jauh dan seolah terlupakan dalam keseharian kita. Namanya Qiyās. Ia bukan sekadar istilah teknis dalam kitab-kitab fikih yang tebal, melainkan jembatan emas yang menghubungkan wahyu—yang teksnya terbatas—dengan samudra kehidupan yang tak henti bergelombang.
Sayangnya, kita sering kali lebih nyaman berhenti pada riwāyah (mengutip apa adanya) daripada berani melangkah ke ranah qiyās (menganalogikan dengan kreativitas). Padahal, jika kita sudi memahaminya, qiyās bukanlah pintu menuju pertentangan, melainkan jalan damai yang membuka peluang kreativitas berpikir dan kelenturan hukum untuk menjawab tantangan zaman.
Apa Sebenarnya Qiyās Itu?
Secara sederhana, qiyās berarti “mengukur” atau “membandingkan”. Para ulama mendefinisikannya dengan sangat indah:
تَسْوِيَةُ فَرْعٍ بِأَصْلٍ فِي حُكْمِهِ لِعِلَّةٍ جَامِعَةٍ بَيْنَهُمَا
“Menyamakan hukum suatu kasus baru (cabang) dengan kasus lama (asal) yang sudah ada hukumnya, karena adanya kesamaan alasan hukum (‘illat) di antara keduanya.”
Qiyās tidak mengarang hukum baru, Sahabat. Ia hanya memperluas cakupan rahmat dari sebuah hukum asal untuk menyinari masalah-masalah baru yang belum tersentuh cahaya nash secara langsung. Ini adalah wujud dari akal sehat yang diberkahi, sebuah seruan yang Allah sampaikan dalam firman-Nya:
فَاعْتَبِرُوا يَا أولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah pelajaran (analogi), wahai orang-orang yang berakal.” (QS. al-Hasyr: 2)
Lihatlah, Allah memerintahkan kita untuk mengambil ‘ibrah—pelajaran dan perbandingan. Dan teladan terindah datang dari guru kita semua, Rasulullah ﷺ. Ketika beliau hendak mengutus sahabat mulia Mu’adz bin Jabal ke Yaman, terjadilah dialog yang menggetarkan jiwa:
أَنَّ رسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم لَمَّا أَرادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعاذًا إلى اليمن، قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكِتابِ اللهِ عَزَّ وجل، قال: فإنْ لمْ تَجِدْ فِي كِتابِ اللهِ عزَّ وجلَّ؟ قال: فَبِسُنَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم، قال: فإنْ لم تَجِدْ في سُنَّةِ رسولِ اللهِ ولا في كِتابِ اللهِ؟ قال: أَجْتَهِدُ رَأْيي ولا آلو . قال: فضرَبَ رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم في صَدْرِه، وقال: الحمدُ للهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسولَ رسولِ اللهِ لِمَا يُرْضِي رسولَ اللهِ
“Ketika Rasulullah ﷺ hendak mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda: ‘Bagaimana kamu akan memutuskan suatu perkara jika dihadapkan padamu?’ Mu’adz menjawab: ‘Saya akan memutuskan berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’an).’ Beliau bertanya lagi: ‘Jika kamu tidak menemukannya dalam Kitab Allah?’ Mu’adz menjawab: ‘Maka dengan Sunnah Rasulullah ﷺ.’ Beliau bertanya lagi: ‘Jika kamu tidak menemukannya dalam Sunnah Rasulullah dan juga tidak dalam Kitab Allah?’ Mu’adz menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan menyia-nyiakan (upaya).’ Maka Rasulullah ﷺ menepuk dada Mu’adz seraya bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah untuk sesuatu yang membuat Rasulullah ridha.’”
Jawaban Mu’adz, “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya,” adalah ruh dari qiyās. Dan tepukan rida dari Rasulullah ﷺ adalah restu abadi bagi kita untuk terus menggunakan akal yang dibimbing wahyu.
Pelajaran dari Tiga Wujud Air: Beku, Cair, dan Uap
Untuk memahami bagaimana qiyās menjadi jalan damai, mari kita pinjam analogi sederhana dari air yang kita temui setiap hari. Bayangkan konflik sosial, seperti bentrok antar ormas, sebagai ujian bagi cara berpikir kita.
- Pemikiran Air Beku: Keras dan Mudah Pecah
Air beku itu keras, kaku, dan sulit digunakan. Jika kita benturkan dua bongkah es, keduanya akan pecah berkeping-keping. Inilah gambaran kelompok dengan pemikiran yang beku. Mereka dibentuk oleh doktrin yang mengarah pada fanatisme, mengkultuskan tokoh, dan merasa paling benar sendiri. Mereka anti-dialog, anti-perubahan, dan enggan berinteraksi. Niat mereka mungkin suci—membela agama—tetapi kekakuan mereka justru melukai dan memecah belah persaudaraan (ukhuwah). - Pemikiran Air Cair: Fleksibel dan Mampu Menyerap
Air cair itu menyejukkan. Ia mengalir, membersihkan, dan mampu menyesuaikan diri dengan wadahnya tanpa kehilangan jati dirinya sebagai air. Inilah karakter pemikiran yang cair. Ia tetap memegang prinsip kesucian, namun memilih cara yang adaptif dan penuh hikmah. Dalam konflik, ia membuka ruang dialog, mendamaikan, dan memposisikan diri untuk menenangkan bara api. Ia mampu menyerap kebenaran dan kebaikan dari mana pun datangnya. - Kesadaran Air Uap: Spiritual dan Menumbuhkan
Inilah puncak dari kesadaran. Air yang menguap naik ke langit, meninggalkan sifat duniawinya, lalu kembali turun ke bumi sebagai hujan yang menumbuhkan kehidupan (hujan rahmat). Ini adalah analogi bagi jiwa yang mampu mengambil hikmah tertinggi dari sebuah konflik. Ia tidak lagi sibuk saling menyalahkan, melainkan sibuk bertabayun dan beristighfar. Ia menjadikan musibah sebagai momentum untuk menyebarkan kasih sayang dan menumbuhkan persaudaraan baru. Kesadaran ini tahu bahwa musuh sejati bukanlah kelompok lain, melainkan hawa nafsu di dalam diri.
Logika qiyās melatih kita untuk menemukan ‘illat (sebab hukum) dari setiap larangan. Mengapa konflik dilarang? Karena ‘illat-nya adalah dharar (bahaya) dan fasād (kerusakan sosial). Maka, segala fenomena baru yang mengandung bahaya dan kerusakan serupa—baik di media sosial, pasar modal, maupun panggung politik—juga harus kita hindari. Inilah inti dari kaidah agung:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghilangkan kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.”
Menjadi Hujan Rahmat di Zaman Ini
Sahabat, qiyās bukanlah sekadar metode hukum, melainkan cara berpikir yang hidup. Ia mengajak kita untuk tidak hanya menjadi penghafal hukum, tetapi menjadi insan yang berilmu di jalan ma‘rifat (mengenal Allah).
Kita dihadapkan pada pilihan setiap hari. Akankah kita memilih menjadi air beku yang mudah dibenturkan dan pecah? Ataukah menjadi air cair yang luwes, menyatukan, dan membersihkan? Atau bahkan, mampukah kita naik ke level air uap yang kembali sebagai hujan rahmat bagi semesta?
Pilihan ada di tangan kita. Kita bisa menjadi ketiganya, asalkan mampu menempatkan diri pada ruang dan waktu yang tepat. Terkadang kita butuh ketegasan laksana es, namun lebih sering dituntut untuk luwes laksana air, dan puncaknya adalah memberi tanpa pamrih laksana hujan.
Mari kita hidupkan kembali hati dan pikiran kita dengan qiyās. Karena syariat ini diturunkan untuk terus segar dan menumbuhkan kehidupan, sebagaimana firman Allah yang abadi:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air.” (QS. al-Anbiyā’: 30)
Maka, mari hidupkan hati kita, agar syariat di dalamnya pun senantiasa hidup.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra