Abstrak
Ijab qabul merupakan unsur pokok dalam keabsahan akad jual beli menurut syariat Islam. Dasarnya adalah hadis Nabi Muhammad SAW: إنما البيع عن تراضٍ yang menegaskan pentingnya keridhaan kedua belah pihak dalam transaksi. Karena ridha adalah perkara batin yang tidak dapat diketahui kecuali melalui penampakan lahiriah, maka diperlukan sighat berupa ijab dan qabul. Artikel ini mengkaji makna ijab qabul dan syarat-syaratnya berdasarkan pendapat KH. Ahmad Rifa’i.
Pendahuluan
Jual beli merupakan bentuk akad muamalah yang sangat umum dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif Islam, transaksi ini tidak hanya dinilai dari sisi kemanfaatan materi, tetapi juga dari keabsahan syariatnya. Salah satu prinsip pokok dalam jual beli adalah keridhaan antarpelaku, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ:
إنما البيع عن تراضٍ
“Sesungguhnya jual beli itu harus dengan saling ridha.”
Karena keridhaan bersifat batin dan tidak tampak secara langsung, maka dalam praktiknya, syariat mensyaratkan adanya sighat berupa ijab (pernyataan menyerahkan) dan qabul (pernyataan menerima). Sighat inilah yang menjadi indikator adanya keridhaan dalam transaksi jual beli.
Pengertian Ijab Qabul
Ijab qabul adalah ungkapan, lafaz, atau perilaku dari masing-masing pihak dalam akad yang menunjukkan adanya penyerahan dan penerimaan kepemilikan.
- Ijab adalah lafaz atau tindakan yang keluar dari penjual sebagai bentuk pernyataan penyerahan hak milik.
- Qabul adalah lafaz atau tindakan dari pembeli sebagai bentuk pernyataan penerimaan hak milik.
Macam-Macam Sighat
Sighat ijab qabul terbagi menjadi dua bentuk:
- Sighat Sharih (صريح)
Yaitu sighat yang jelas dan langsung menunjukkan maksud tamlik (memilikkan) dan tamalluk (memiliki), serta umum digunakan dalam praktik jual beli. Contoh lafaz:- بعتك (Aku jual kepadamu)
- ملکتک (Aku milikkan kepadamu)
- وهبتك (Aku hadiahkan kepadamu)
- Sighat Kinayah (كناية)
Yaitu sighat yang secara makna mengandung kemungkinan untuk maksud selain jual beli. Keabsahan sighat kinayah tergantung pada niat pelaku. Jika diniatkan sebagai jual beli, maka akad dianggap sah.
Syarat-Syarat Sighat (Ijab Qabul) Menurut KH. Ahmad Rifa’i
Dalam kitabnya, KH. Ahmad Rifa’i menyebutkan lima syarat utama dalam pelaksanaan sighat ijab qabul:
1. Tidak Ada Pemisah antara Ijab dan Qabul
Keterhubungan antara ijab dan qabul adalah syarat pokok untuk menunjukkan kesinambungan dan kerelaan.
Pemisah dapat berupa:
-
- Diam yang lama: Jika diam melebihi waktu yang dapat memutus bacaan Surah Al-Fatihah (yakni lebih dari sekadar mengambil napas/tanafus), maka akad dianggap batal.
- Menurut qaul aujah dalam kitab Nihayah, diam sesaat pun dapat membatalkan jika disertai niat memutus sighat.
- Menurut Az-Ziyadi, niat memutus sighat tidak membatalkan, selama tidak ada pemisah nyata.
- Diselingi dengan ucapan asing: Jika antara ijab dan qabul terdapat ucapan yang tidak terkait dengan akad, walaupun hanya satu huruf yang bermakna, maka sighat dianggap batal.
Namun, jika lafaz yang diucapkan masih berkaitan dengan jual beli, maka tidak membatalkan.
- Diam yang lama: Jika diam melebihi waktu yang dapat memutus bacaan Surah Al-Fatihah (yakni lebih dari sekadar mengambil napas/tanafus), maka akad dianggap batal.
2. Kesesuaian antara Ijab dan Qabul
Ijab dan qabul harus selaras dalam makna, meliputi:
- Jenis barang
- Jumlah
- Harga
- Sifat barang
- Cara pembayaran (tunai atau tempo)
Tidak disyaratkan lafaznya identik, yang penting maknanya sepadan.
Contoh:
-
- Penjual: “Aku serahkan barang ini kepadamu seharga dua ribu.”
- Pembeli: “Aku beli barangmu seharga dua ribu.”
→ Sah.
Namun, jika terjadi perbedaan harga, akad menjadi tidak sah.
3. Tidak Menggantungkan (Tidak di-Ta’liq)
Ta’liq berasal dari kata yang berarti menggantungkan.
Akad ijab qabul tidak boleh dikaitkan dengan syarat masa depan, seperti:
“Aku jual tanah ini kepadamu jika Zaid datang.”
Hal ini menunjukkan tidak adanya tanjiz (keberlangsungan langsung) dan ketidaktegasan dalam keridhaan. Maka akad semacam ini tidak sah.
Namun, jika ta’liq dilakukan pada harga (tsaman), maka tetap dianggap sah karena harga merupakan bentuk tanggungan bagi pembeli.
4. Pelaku Akad Harus Mukallaf (Berakal dan Balig)
Syarat ini menyatakan bahwa pelaku akad harus:
-
- Bukan anak kecil
- Bukan orang gila
- Bukan orang yang dipaksa tanpa hak
Hal ini sesuai dengan prinsip taklif, yaitu adanya beban hukum yang hanya berlaku bagi orang yang cakap menurut syariat. Syarat ini disebutkan pula dalam kitab Fathul Mu’in.
5. Tidak Dibatasi dengan Waktu
Akad jual beli tidak boleh dibatasi oleh jangka waktu, baik pendek maupun panjang.
Misalnya:
“Aku jual barang ini kepadamu selama satu tahun.”
→ Akad semacam ini tidak sah karena tidak memenuhi unsur perpindahan kepemilikan secara sempurna dan permanen (’ala at-ta’bid).
Dalam I’anat ath-Thalibin disebutkan bahwa bahkan jika batas waktu itu mustahil (misalnya: seribu tahun), tetap dianggap membatalkan akad.
Tambahan
1. Dalam Kitab Al-Bajuri: Menyebutkan Khithab atau Penggantinya
Dalam sighat ijab qabul, khithab atau bentuk komunikasi langsung harus disebutkan, misalnya:
“Aku jual barang ini kepadamu.”
Jika tidak, maka cukup diganti dengan isyarat atau ungkapan lain yang menempati posisi khithab.
2. Pembeli Disyaratkan Islam (dalam Konteks Kepemilikan Budak dan Mushaf)
Kesimpulan
Sighat ijab qabul merupakan rukun penting dalam jual beli yang menunjukkan adanya keridhaan dari kedua belah pihak. Dengan memahami syarat-syaratnya sebagaimana dijelaskan oleh KH. Ahmad Rifa’i, kita dapat menilai keabsahan suatu akad secara tepat dan sesuai dengan ketentuan syariat. Ijab qabul bukan hanya tradisi formal, tetapi merupakan manifestasi hukum yang menjamin kejelasan, kerelaan, dan keadilan dalam transaksi muamalah Islam.
Sumber:
- Kitab Tasyrihatal Muhtaj
- Kitab Al Baijuri
- Kitab Fathul Mu’in
- Kitab Fiqh Al Manhaji
- Kitab Taqrirat As Sadidah
- Kitab I’anah At Tholibiin
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 4: Syarat Sah Barang Jualan
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Yusril Mahendra