سَبنْ بَرَاعْ كَعْ كدَيْ أَجِنَيْ، إِيكُوْ لُوِهْ بَعت كَاجِيتَا رُوْمكْسَانَيْ
“Setiap sesuatu yang besar nilainya, maka lebih diperhatikan dalam menjaganya”
Sabda KH. Ahmad Rifa’i tersebut mengingatkan kita pada sebuah kebenaran universal: yang berharga harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Seperti seorang pedagang emas yang menyimpan dagangannya di brankas berlapis, sementara ia membuang sampah tanpa beban. Demikianlah fitrah manusia dalam memperlakukan sesuatu sesuai kadar nilainya.
Makna Sejati “Aji”: Mutiara dalam Bahasa
Kata aji dalam khazanah bahasa Jawa menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Ia bukan sekadar “berharga” dalam pengertian material, tetapi merujuk pada nilai intrinsik yang memancar dari esensi suatu hal. Ketika seseorang berkata, “Duit sewu saiki wis ora ono ajine”, ia tidak hanya berbicara tentang inflasi ekonomi, tetapi juga tentang pergeseran nilai dan degradasi nilai mata uang. Jumlahnya bisa banyak, tapi nilai tukarnya sedikit.
Lebih dalam lagi, ketika kata aji mendapat awalan nga menjadi ngaji, terbukalah cakrawala makna yang menakjubkan. Dalam struktur bahasa Jawa, imbuhan nga berarti “menuju”. Maka ngaji sesungguhnya adalah perjalanan spiritual menuju kemuliaan, kehormatan, dan nilai diri yang hakiki.
Allah Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Maka, orang yang benar-benar ngaji adalah mereka yang ilmunya menjelma menjadi cahaya iman dalam akhlaknya, bukan sekadar hafalan di kepala dan canggih dalam melantunkan fatwa. Jika seseorang rajin mengaji namun kehilangan harga diri, patut dipertanyakan: ke mana arah ngajinya? Bagaimana mungkin ia menuju kemuliaan jika langkahnya justru menjauh dari akhlak mulia? Disitu mungkin relevansi sabda Rasulullah Saw: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurkan akhlaq yang mulia.
Hierarki Kehormatan: Sandang, Pangan, Papan
Dalam filosofi hidup masyarakat Jawa, ada urutan prioritas yang harus tertib urut-urut: Sandang-Pangan-Papan. Urutan ini bukan sekadar tentang kebutuhan fisik, melainkan cerminan nilai-nilai yang dianut.
Sandang disebut pertama karena ia melambangkan kehormatan. Bayangkan jika seseorang ditawari uang ratusan juta dengan syarat harus berjalan telanjang sepanjang jalan. Orang yang masih memiliki harga diri pasti menolak dengan tegas. Karena kehormatan tidak bisa ditukar dengan angka berapapun.
Imam Ali bin Abi Thalib ra. Yang juga dikutip dalam beberapa kitab Tarajumah, pernah berkata:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.”
Kehormatan sejati bukan terpancar dari kemewahan pakaian, jabatan bergengsi, atau saldo rekening yang melimpah. Ia memancar dari pancaran akhlak yang mulia. Rasulullah ﷺ mendapat gelar Al-Amin (yang terpercaya) bukan karena kekayaannya, melainkan karena kejujuran dan integritasnya yang tak tergoyahkan.
Kisah Hajar Aswad: Kepemimpinan Tanpa Arogansi
Sebelum masa kenabian, terjadi peristiwa monumental di Makkah. Banjir besar merusak Ka’bah dan melepaskan Hajar Aswad dari tempatnya. Suku-suku Quraisy bersengketa siapa yang berhak memasangnya kembali, hingga hampir terjadi pertumpahan darah.
Mereka sepakat: siapa yang pertama memasuki Masjidil Haram esok hari, dialah yang berhak memutuskan. Tatkala fajar menyingsing, Muhammad bin Abdullah lah orang pertama yang tiba. Mereka bersorak, “Ini Al-Amin! Kami ridha dengan keputusannya!”
Dengan kebijaksanaan luar biasa, beliau membentangkan kain, meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, lalu meminta setiap kepala suku memegang ujung kain tersebut. Bersama-sama mereka mengangkat dan memasangnya kembali.
Inilah kehormatan sejati: bukan merebut untuk pansos diri, tetapi membangun kebersamaan kemaslahatan bersama. Nguwongke setiap yang hadir. Bukan arogansi kekuasaan, tetapi kedewasaan dalam kepemimpinan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Brahmana Jawa: Kearifan Lokal Bertemu Spiritualitas
Dalam kosmologi Jawa klasik, dikenal klasifikasi Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Ini bukan tentang feodalisme atau kasta, melainkan tentang bagaimana masyarakat menghargai kebijaksanaan spiritual.
Brahmana adalah mereka yang telah terbebas dari belenggu dunia, baik lahir maupun batin. Mereka adalah para empu, wali, sunan, dan resi yang hidup sederhana di gua-gua atau lereng gunung, namun justru merekalah yang dirujuk oleh para raja dalam memutuskan urusan negara.
Mbah Nur Moga, sang wali yang manembah di lereng Gunung Slamet, adalah contoh nyata. Ia tidak memiliki tahta atau harta, namun para pembesar negeri datang meminta bimbingannya. Mengapa? Karena masyarakat Jawa memahami bahwa orang yang dekat dengan Allah adalah mereka yang telah melepaskan hijab dunia dari hatinya. Sehingga ketika memberi nasehat dan masukan tanpa pamrih (ihlas)
Allah berfirman:
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Dan harta benda serta anak-anakmu bukanlah yang mendekatkanmu kepada Kami sedikitpun, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (QS. Saba’: 37)
Iman: Harta yang Tak Ternilai
KH. Ahmad Rifa’i dalam mengudar kaweruhnya menegaskan bahwa yang paling berharga dalam hidup adalah iman. Beliau menyatakan bahwa iman tidak bisa ditukar dengan emas sepenuh bumi sekalipun.
Kenapa? Karena iman adalah substansi ruhani, sementara emas adalah materi. Yang ruhani selamanya lebih tinggi nilainya daripada yang material. Ilmu adalah ruhani, maka tidak ada jumlah uang seberapapun yang bisa menggantinya. Amal saleh adalah ruhani, maka orang yang beramal hanya karena gaji belum pernah merasakan ihsan sejati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ
“Iman itu memiliki tujuh puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah mengucapkan La ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)
Kisah Inspiratif: Raja yang Menemukan Harga Diri
Konon di zaman dahulu, ada seorang raja yang sangat kaya raya. Suatu hari ia menyamar sebagai pedagang biasa dan bertemu seorang fakir yang sedang salat di masjid tua. Selesai salat, sang fakir membaca doa dengan wajah berseri penuh ketenangan.
Raja penasaran, ia bertanya, “Wahai fulan, apa yang membuatmu begitu bahagia? Padahal engkau tidak memiliki apa-apa.”
Sang fakir tersenyum, “Wahai saudaraku, aku memiliki Allah. Dan barangsiapa memiliki Allah, ia memiliki segalanya. Aku tidak khawatir tentang besok, karena Dia yang memberi hari ini pasti akan memberi hari esok.”
Raja tertegun. Ia yang memiliki istana dan harta berlimpah justru sering gelisah memikirkan kerajaannya, takut kehilangan kekuasaan, was-was terhadap pengkhianatan. Sementara fakir yang tidak memiliki apa-apa ini hidup dalam ketenangan yang tidak ia miliki.
Sejak hari itu, sang raja mengubah orientasi hidupnya. Ia tetap menjadi raja, tetapi hatinya tidak lagi terikat pada tahta dan harta.
Sabda KH. Ahmad Rifa’i: Peringatan untuk Zaman Ini
KH. Ahmad Rifa’i memberikan peringatan keras tentang degradasi harga diri:
أَوْرَ نَنَا وَوعْ لُوِهْ هِنَا دَرَجَاةْ اَعِعْ وَوعْ بُوْرُوْ دُنْيَا بَعتْ حَاجَةْ
لُوبَا اِعْ اَرْتَ دَلَانَيْ مَعْصِيَةْ ظَاهِرْ بَاطِنْ لُوِهْ بَعتْ دِهِمَةْ
لَا لِيْ اِعْ الله كَعْ اَكَوَيْ سَرِيْرَنَيْ كَتُوعْكُولْ مَارِعْ دُنْيَا فَندْيَانَيْ
tidak ada orang yang lebih hina derajatnya
daripada orang yang memburu dan benar-benar berhajat (kepada) dunia
tamak kepada harta (yang menjadi) jalannya maksiat
lahir batin benar-benar mencita-citakan (harta)
(hal itu mengakibatkan) lupa kepada Allah yang mencipta dirinya, (karena) kecenderungannya tunduk kepada dunia
Sabda ini menohok keras di zaman di mana banyak orang rela menggadaikan prinsip demi materi. Mereka pasang tarif untuk harga dirinya: asalkan ada yang mau bayar, apapun bisa dilakukan. Inilah dalam kehidupan sehari-hari kita sebut sebagai “kaidah pelacur” — mentalitas yang mengukur segala sesuatu dengan nominal rupiah.
Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Ketika manusia lupa bahwa dirinya adalah pancaran ruh Allah (ruhaniah), ia mulai memperlakukan dirinya seperti barang dagangan. Padahal manusia bukan sekadar jasad, melainkan makhluk mulia yang ditiupkan ruh Ilahi kepadanya.
Menjaga Harga Diri di Era Modern
Di zaman yang serba materialistis ini, menjaga harga diri menjadi ujian yang berat. Godaan untuk “dijual” dengan harga tertentu datang dalam berbagai bentuk: menjual prinsip demi proyek, menggadaikan integritas demi jabatan, mengkhianati kebenaran demi popularitas.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. An-Nawawi dalam Al-Arba’in)
Harga diri sejati adalah ketika kita menolak untuk dinilai dengan ukuran materi. Ketika kita tidak mau “dibeli” meskipun dengan tawaran setinggi langit. Ketika prinsip lebih berharga daripada rupiah. Ketika ridha Allah lebih dicari daripada puja-puji manusia. Karena manusia sebagai khalifatullah bukan khalifaturrupiah
Merawat Mutiara Kehormatan
Seperti kiai yang semakin sepuh semakin dimuliakan, kehormatan sejati bertambah seiring waktu jika dijaga dengan istiqamah. Berbeda dengan pelacur yang harganya semakin turun seiring waktu, karena ia tidak menjaga kehormatannya.
Mari kita renungkan: apakah kita termasuk orang yang ngaji dalam makna sejatinya — menuju kemuliaan dengan menjaga harga diri? Atau justru terjebak dalam “logika pelacur” yang rela menggadaikan kehormatan demi dunia yang fana?
Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan bagi Allah-lah segala kemuliaan, dan bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al-Munafiqun: 8)
Kemuliaan sejati hanya milik mereka yang menjaga harga dirinya di hadapan Allah. Bukan di hadapan manusia dengan segala godaan duniawinya. Wallahu a’lam bisshawab.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Baca Juga: Reportase Tahsinah: Ketika Huruf Demi Huruf Menjadi Jalan Menuju Surga
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra


