Rifaiyah.or.id – Dalam khazanah hukum Islam, terdapat sebuah prosedur penyelesaian perselisihan yang paling serius, yang pelaksanaannya hanya dilakukan ketika segala upaya argumentasi, dalil, dan bukti telah menemui jalan buntu. Prosedur ini disebut Mubahalah (المباهلة). Bukan sekadar sumpah biasa, Mubahalah adalah pengajuan perkara secara langsung kepada Dzat Yang Maha Mengetahui, sebuah seruan yang meminta Allah SWT untuk segera menimpakan laknat atau azab-Nya kepada pihak yang benar-benar berdusta. Berakar kuat dari perintah langsung dalam Al-Qur’an dan menjadi penentu dalam perselisihan akidah terbesar di masa Nabi Muhammad SAW, Mubahalah mewakili langkah terakhir dan paling berani yang diizinkan syariat ketika kebenaran mutlak harus dipertaruhkan. Di Indonesia sendiri, seruan Mubahalah seringkali mencuat ke permukaan, terutama dalam perselisihan publik yang melibatkan tuduhan serius atau isu akidah yang tak terselesaikan, menandakan bahwa prosedur ini, meski jarang, tetap diakui sebagai puncak pertaruhan kebenaran.
Secara bahasa, Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah, yang berarti mengerahkan segala upaya, menjatuhkan laknat, atau mendoakan kebinasaan bagi pihak yang berbohong. Mubahalah adalah sumpah serapah yang dilakukan oleh dua pihak yang berselisih dan sama-sama meyakini kebenaran argumennya, dengan memohon kepada Allah SWT agar laknat atau azab-Nya segera ditimpakan kepada pihak yang berdusta.
Sejarah dan Ayat Al-Qur’an
Sejarah Mubahalah yang paling terkenal terekam jelas dalam Al-Qur’an, melibatkan dialog antara Nabi Muhammad SAW dan delegasi pendeta Kristen dari Najran.
- Konteks Sejarah
Delegasi Najran datang ke Madinah untuk berdialog dengan Nabi Muhammad SAW mengenai hakikat Nabi Isa AS. Setelah dialog panjang, mereka tetap menolak penjelasan Rasulullah ﷺ bahwa Isa adalah hamba dan nabi Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Akhirnya turunlah perintah mubahalah dalam QS Ali ‘Imran:61.
- Ayat Mubahalah
Ayat yang menjadi landasan utama Mubahalah adalah Surah Ali ‘Imran (3): Ayat 61:
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا۟ نَدْعُ أَبْنَآءَنَا وَأَبْنَآءَكُمْ وَنِسَآءَنَا وَنِسَآءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ ٱللَّهِ عَلَى ٱلْكٰذِبِينَ
“Siapa yang membantahmu tentang (kisah Isa) setelah datang ilmu (kebenaran) kepadamu, maka katakanlah (Nabi Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan:
-
“Anak-anak kami” yang dibawa Nabi adalah Hasan dan Husain RA
-
“Istri-istri kami” adalah Fatimah RA
-
“Diri kami” merujuk pada Nabi sendiri dan menantunya, Ali bin Abi Thalib RA
Ibnu Katsir menekankan bahwa ayat ini menunjukkan keagungan kedudukan Ahlul Bait dan keberanian Nabi dalam membela kebenaran. Ketika pihak Kristen Najran melihat keseriusan dan ketulusan Nabi beserta keluarganya, mereka menarik diri dari mubahalah dan memilih berdamai.
Dalil Hadis
Prosedur Mubahalah diperkuat oleh Hadis seperti Riwayat Muslim:
Anas bin Malik meriwayatkan: “Ketika turun ayat: ‘Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…’, Rasulullah SAW memanggil Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain, kemudian beliau bersabda: ‘Ya Allah, mereka ini adalah keluargaku’.”
Definisi, Kegunaan, dan Hukum Fikih
- Definisi dan Syarat Fikih
Mubahalah adalah upaya litigasi yang melibatkan doa bersama untuk laknat sebagai cara untuk memisahkan kebenaran dari kebatilan, terutama ketika bukti-bukti nyata (saksi) tidak dapat dihadirkan.
- Syarat utama: Perselisihan Agama atau Fakta Mendasar, Argumentasi Buntu, dan Kedua Pihak Yakin Benar.
- Hukum: Dianggap diperbolehkan (Mubah) atau Sunnah jika memenuhi syarat dan dijadikan pilihan terakhir (akhirul ‘ilaj).
- Kegunaan Kontemporer
Mubahalah dapat menjadi jalan keluar dalam kasus-kasus sensitif seperti tuduhan serius yang sulit dibuktikan atau sebagai bentuk sumpah yang lebih kuat untuk memutus perkara (Yamin Fasl).
Kasus-Kasus Mubahalah Setelah Peristiwa Najran
Sejarah Islam mencatat beberapa kasus di mana ulama atau tokoh besar menggunakan Mubahalah sebagai upaya terakhir untuk menegakkan kebenaran akidah atau fakta, menunjukkan keyakinan mereka yang mutlak.
1. Mubahalah Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (Abad ke-9 H)
Kisah ini dicatat oleh murid beliau, Imam As-Sakhāwi, terkait perselisihan Ibnu Hajar mengenai masalah akidah dengan pengikut yang fanatik terhadap Ibnu ‘Arabī. Perselisihan yang ada adalah perkara teologis fundamental mengenai pandangan Wahdatul Wujūd dan kedudukan Ibnu ‘Arabī. Ibnu Hajar menantang lawannya untuk Mubahalah karena kebuntuan argumen. Doa mereka adalah meminta laknat Allah ditimpakan kepada pihak yang salah (yakni, jika Ibnu ‘Arabī sesat, atau jika beliau benar). Menurut riwayat As-Sakhawi, pihak yang berselisih dengan Ibnu Hajar dilaporkan langsung buta belum sampai di rumah dan meninggal dunia keesokan harinya, membuktikan keseriusan sumpah tersebut.
2. Mubahalah Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dan Syaikh Tsanaullah (Awal Abad ke-20)
Kasus ini adalah salah satu yang paling terkenal dalam sejarah Islam modern karena memiliki hasil yang jelas dan teramati. Pangkal perselisihan ini sangat mendasar, yakni mengenai klaim kenabian atau kerasulan yang dilancarkan oleh MGA, yang ditentang keras oleh Syaikh Tsanaullah al Amritsari, seorang ulama Ahl al-Hadith. Ketika perdebatan menemui jalan buntu, pada tahun 1907 MGA menantang Syaikh Tsanaullah untuk melakukan Mubahalah. Dalam tantangannya, ia memohon agar pihak yang berdusta dikenai hukuman mati lebih dahulu dalam masa kehidupan orang yang benar, dan mati secara tragis. Hasil Mubahalah ini menjadi sorotan sejarah: Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia pada Mei 1908, tidak lama setelah tantangan itu dikeluarkan, sementara Syaikh Tsanaullah al-Amritsari hidup hingga 40 tahun kemudian. Peristiwa ini sering dikutip sebagai bukti nyata dampak Mubahalah.
Apa yang Harus Kita Lakukan Saat Perselisihan
Penelusuran historis dan fikih menunjukkan bahwa Mubahalah memang dibenarkan oleh syariat dan terbukti menjadi jalan keluar final yang ditetapkan Allah SWT, khususnya dalam kasus-kasus perselisihan akidah yang buntu, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi SAW hingga ulama seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun demikian, kita perlu sangat hati-hati dalam penggunaannya. Mubahalah bukanlah alat untuk perselisihan pribadi atau masalah furu’iyah (cabang syariat). Ia adalah doa yang meminta intervensi Ilahi dan berpotensi membinasakan salah satu pihak. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang menghadapi perselisihan, jalan terbaik adalah selalu mengutamakan:
- Tabayyun (Mencari Kejelasan): Selidiki kebenaran dengan cermat.
- Dialog yang Baik (Al-Jidal bil Lati Hiya Ahsan): Upayakan komunikasi yang santun dan bijaksana.
- Rujuk kepada Pihak Berwenang (Ulil Amri): Kembalikan masalah kepada ulama atau hakim yang kompeten.
- Memaafkan dan Berdamai (Sulh): Mengedepankan perdamaian dan pemaafan adalah sikap yang paling utama.
Mubahalah harus tetap menjadi pilihan terakhir dari yang terakhir, yang hanya ditempuh dengan keyakinan mutlak akan kebenaran dan kesiapan menerima konsekuensi duniawi yang fatal. Dan Mubahalah hanya boleh dilihat sebagai jalan keluar paling akhir ketika kebenaran mutlak (akidah) terancam, keadilan tidak dapat ditegakkan dengan cara lain, dan salah satu pihak dengan yakin bersikeras pada kebohongannya. Wallohu a’lam.
Baca juga: Menata Ulang Relasi Kita dengan Alam Usai Bencana Banjir dan Longsor di Sumatera
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali



Yo! Looking for an alternative link to Bet188? Someone told me about bet188link. Anyone used it before? Is it legit and reliable? Let me know! You can find them at: bet188link