Ziarah masal warga Rifa’iyah se-nusantara ke makam para sesepuh Rifa’iyah di Wonosobo sudah biasa dilaksanakan pada setiap tanggal 16 Syawal. Hal ini sudah berlangsung puluhan tahun, mengingat murid angkatan pertama Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad sebagian besar berasal dari Wonosobo.
Maka pelaksanaan Ziarah masal juga dalam rangka Haul Masyayikh di Wonosobo, sekaligus mengenang saat diasingkannya KH. Ahmad Rifai ke Batu Merah Ambon Maluku Utara.
Peristiwa itu terjadi pada 16 Syawal. Sesuai dengan arsip Besluit Pemerintah Hindia Belanda No. 35, melaporkan bahwa Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad diasingkan pada hari Kamis, 19 Mei 1859/ 16 Syawal 1275 H.
Sepanjang yang kita saksikan dalam sejarah, kiranya belum ada ziarah semasal itu, silaturahim seluas dan sebesar itu, hampir sebagian warga Rifa’iyah, bahkan yang bukan Rifa’iyah pun, pada hari itu membuka rumahnya lebar-lebar untuk menerima tamu dari manapun dan kapanpun, demi satu tujuan: Silaturahim. Kadang untuk menjamu rombongan tuan rumah tidak perlu kenal lebih dahulu tamunya, yang penting menghormati tamu dengan sebaik-baiknya, titik.
Untuk menambah pemaknaan Ziarah dan silaturahim, perlu kami sajikan tulisan kisah assabiqul awwaluun, para pendahulu, sesepuh yang menjadi pelopor peradaban Rifa’iyah dari Wonosobo. Tanpa mengetahui kisah mereka, kita seperti kehilangan obor, sehingga tanpa penerang kita bingung mau berjalan kemana dalam melanjutkan estafet perjuangan pendahulu. Sejarah merupakan estafet obor yang nyalanya setiap generasi wajib menjaga, agar tetap bersinar dan bercahaya menerangi jalan-jalan peradaban yang akan kita lewati.
Langit Watumalang menggantung kelabu saat suara gamelan dari keraton Yogyakarta perlahan menghilang dari ingatan seorang pemuda pemberani. Ia adalah putra bangsawan, cucu Tumenggung Gajah, namun memilih menempuh jalan sunyi: meninggalkan istana demi kebenaran yang tak bisa dibungkam. Namanya kelak menggema di masyarakat pegunungan Wonosobo sebagai Syaikh Abdul Aziz Tempursari, pengemban ilmu yang mematri semangat perjuangan dan keteguhan dalam syariat.
Sebagaimana Pangeran Diponegoro yang memilih tinggal di Tegalrejo Magelang, daripada di Keraton Yogyakarta. Suasana politik Keraton tidak baik-baik saja waktu itu. Politik Keraton Yogyakarta pada masa Pangeran Diponegoro (1825-1830) sangat rumit dan dipengaruhi oleh intervensi Belanda.
Belanda telah mengontrol Kesultanan Yogyakarta sejak Perjanjian Giyanti, membatasi kekuasaan raja dan memaksa penerapan kebijakan yang menguntungkan mereka.
Pangeran Diponegoro, yang menolak menjadi sultan, memimpin perlawanan besar-besaran terhadap pemerintahan kolonial karena ketidakpuasan terhadap penindasan, eksploitasi rakyat, dan campur tangan Belanda dalam urusan Keraton.
Kurun K. Abdul Aziz tidak jauh dari masa itu, sehingga langkah Abdul Aziz meninggalkan Keraton juga berawal dari kegelisahan dan kekecewaan terhadap penindasan dan penjajahan. Abdul Aziz seperti sedang mencari pengganti Pangeran Diponegoro, untuk bersatu dalam kegelisahan, angkat senjata untuk melawan, dan hidup dalam kemerdekaan.
Kyai Nur Yasin seorang ketib Kerajaan tahu putranya tak seperti bangsawan lainnya. Sejak kecil, Amad ‘Arfani, -nama kecil K. Abdul Azizi- menatap bintang dengan pertanyaan yang tak kunjung padam. Ia gelisah melihat bangkai ketimpangan yang ditutup dengan sutra dan emas. Tetap saja busuknya kongkalikong Keraton dengan Penjajah menyeruak.
Saat keputusan keraton tak lagi sejalan dengan nuraninya, ia memilih pergi. Langkahnya membawa jejak takdir menuju pegunungan yang sepi, ke tempat di mana ilmu dan ketulusan bersatu.
Ia mengembara ke Kalitulang, di jantung Wonosobo, dan kelak dikenal sebagai pelopor cahaya keilmuan di Tempursari. Ia menikah, membangun keluarga, namun satu hal belum tuntas: pencarian gurunya.
bersambung ke Jalan Sunyi Menuju Kalisalak
Ahmad Saifullah
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali