Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Cerpen

Obor Rifaiyah Tegal: K. Tawan, K. Mukmin

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
June 4, 2025
in Cerpen, Sejarah, Tokoh
0
Obor Rifaiyah Tegal: K. Tawan, K. Mukmin
0
SHARES
74
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Lentera dari Alas Roban 

Angin sore berembus lembut di Dusun Gumalar. Di bawah naungan pohon beringin tua, para santri duduk bersila mengelilingi Mbah Binahu yang mulai bertutur kisah. Di antara mereka, duduk pula Kang Partelo, pemuda bertubuh tegap dengan sorot mata tajam, bersama dua santri muda: Pardi dan Milahur. Mak Umriyah sibuk menyajikan teh hangat, sementara Mbak Himmah diam-diam mencatat kisah itu dalam buku usangnya. 

“Anak-anakku,” ujar Mbah Binahu dengan suara bergetar namun penuh wibawa, “Pernahkah kalian mendengar nama Kyai Tawan dan Kyai Mu’min?” 

“Pernah, Mbah,” jawab Milahur cepat. “Beliau yang dulu belajar ke timur, ke pondok di tengah Alas Roban, kan?” 

Mbah Binahu mengangguk, matanya menerawang jauh ke masa lalu. 

“Zaman Belanda dulu, Gumalar ini belum ramai. Kyai Mu’min, warga asli sini, berangkat mengaji ke timur, sampai di hutan lebat. Di sanalah ia bertemu seorang kakek yang tak lain adalah KH. Ahmad Rifa’i. Ia belajar diam-diam, tanpa tahu siapa gurunya yang sesungguhnya…” 

“Dan Kyai Tawan ikut menyusul kemudian, bukan?” potong Pardi. 

“Benar. Kyai Tawan, yang aslinya dari Gebangan, masih muda waktu itu. Namanya bukan Tawan sebenarnya. Ia dijuluki begitu karena sering ditawan oleh Belanda gara-gara dakwahnya yang lantang. Tapi justru dari penawanan itu, lahir keberanian dan hikmah yang langka.” 

Mbak Himmah mencatat cepat. “Mbah, apakah betul mereka tidak tahu bahwa gurunya adalah KH. Ahmad Rifa’i sampai akhir?” 

“Hehe… mereka tahu setelah satu peristiwa luar biasa. Seorang tamu datang, menanyakan KH. Ahmad Rifa’i. Tapi keduanya tak tahu nama itu. Tamu itu lalu lumpuh saat melihat gerbang pondok yang bertuliskan syahadat. Barulah setelah dibawa ke hadapan Sang guru mereka, semua jadi terbuka. Siapa tamu dan siapa nama Guru sebenarnya. Tamu bernama Muhammad Tuba dan Guru bernama Ahmad Rifa’i.” 

Kang Partelo menatap langit yang mulai menguning. “Mbah, apakah kisah itu masih relevan bagi kami di zaman sekarang?” 

Mbah Binahu tersenyum, lalu menatap satu-satu wajah para santri. 

“Karena dalam zaman kebingungan ini, kita sering mencari ilmu tanpa tahu hakikat guru. Kita belajar Islam, tapi tak memahami ruh dakwahnya. Kyai Mu’min dan Kyai Tawan mengajarkan, bahwa ilmu bukan hanya ditimba, tapi diamalkan meski dihina. Dakwah bukan tentang diterima atau ditolak, tapi tentang ketulusan menyampaikan.” 

Mak Umriyah menambahkan lembut, “Dan jangan lupa… kadang keluarga sendiri menolakmu, seperti yang dialami Kyai Mu’min. Tapi bukan berarti perjuangan harus berhenti.” 

Mbak Himmah mengangkat tangannya. “Mbah, bagaimana akhir kisahnya?” 

“Setelah pulang ke Gumalar, Kyai Mu’min berdakwah, tapi keluarganya menolak. Ia uzlah, pergi hingga ke Banteng Ompong, Karawang, dan wafat di sana. Sedangkan Kyai Tawan… dialah yang meneruskan cahaya itu di Gebangan. Sampai hari ini, cahaya itu belum padam, karena kalian semua adalah lentera-lentera kecil yang meneruskan nyala itu.” 

Hening sejenak. 

Lalu Kang Partelo berdiri, menatap para santri. “Mbah Binahu benar. Malam ini, mari kita lanjutkan ngaji kitab Tarajumah. Karena siapa tahu, di antara kita ada yang kelak dijuluki Kyai Tawan baru—yang tetap berdakwah meski ditawan oleh zaman.” 

(Foto: Ahmad Saifullah)

Dakwah di Tengah Gelap 

Malam telah tiba. Di langgar kecil pinggir dusun, suara Santri Pardi terdengar lantang membaca kitab Tarajumah. Di depannya, Kang Partelo duduk bersila, matanya tajam memperhatikan setiap baris kalimat. 

“Santri Milahur,” ujar Kang Partelo setelah Pardi selesai membaca, “Apa makna kalimat ‘aja ngaji mung kanggo ngilmu, nanging ngaji kanggo ngamal lan dakwah kanti ikhlas?’“ 

Milahur terdiam sejenak, lalu menjawab, “Artinya, jangan ngaji hanya untuk tahu, tapi untuk diamalkan dan disebarkan dengan ikhlas…” 

“Bagus,” sahut Kang Partelo sambil tersenyum. “Itulah pesan Kyai Tawan. Ia tidak hanya belajar di hutan, tapi menyulut api semangat di hati masyarakatnya, meski ditolak, dihina, bahkan dipenjara.” 

Suasana langgar hening. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani mereka. Tiba-tiba, pintu langgar diketuk tiga kali. Mak Umriyah muncul sambil membawa nampan berisi wedang jahe dan ubi rebus. 

“Kalian jangan lupa makan. Belajar juga butuh tenaga,” katanya sambil tersenyum hangat. 

Mbak Himmah yang duduk di pojok ruangan, mendekat sambil membawa buku catatannya. “Mas Partelo, aku ingin menulis tentang perjuangan dakwah santri zaman sekarang. Tapi kadang aku ragu, siapa yang mau membaca kisah seperti ini?” 

Sambil membetulkan pecinya, Kang Partelo menerangkan. “Justru karena zaman sekarang sibuk mengejar viral dan lupa pada nilai, tulisan seperti itu dibutuhkan. Teruslah menulis, Mbak. Mungkin bukan hari ini kau dihargai. Tapi kelak, tulisanmu bisa menjadi pelita bagi generasi yang kehilangan arah.” 

Esok paginya, santri-santri Gumalar menyebar ke kampung. Pardi pergi ke dusun barat, Milahur ke dusun sawah utara. Mereka bukan sekadar mengaji, tapi juga mengajarkan—membaca dan memahami kitab Tarajumah, menghafal surat pendek bersama anak-anak, menuntun ibu-ibu mengenal wudhu, shalat, dan peribadatan fardlu mudhayyaq lainnya bahkan mengajak remaja untuk salat subuh berjamaah. 

Namun tak semua mudah. 

Suatu siang, Milahur dihadang oleh lelaki bernama Jelunat, pemuda urakan yang tak suka dakwah mereka. 

“Kamu pikir dusun ini perlu ceramahmu? Sana bawa kitabmu pulang!” bentaknya. 

Milahur nyaris terpancing emosi, tapi ia ingat pesan Kang Partelo: “Berani bukan berarti melawan dengan tangan, tapi menahan marah dan tetap istiqamah.” 

“Aku hanya ingin berbagi ilmu. Kalau Mas Jelunat berkenan, aku bisa membantu adikmu yang ingin belajar ngaji.” 

Jelunat diam. Tak menyangka dijawab dengan kelembutan. 

Di langgar, Kang Partelo mendengar laporan itu dari Pardi. Ia tersenyum dan menepuk bahu Pardi. 

“Jalan dakwah memang tak selalu disambut karpet merah. Tapi lihatlah Kyai Tawan, Kyai Mu’min, bahkan KH. Ahmad Rifa’i. Mereka tidak mundur. Maka jangan kita yang baru melangkah, cepat menyerah.” 

Mbah Binahu yang duduk di belakang mereka tiba-tiba angkat suara. Suaranya berat namun lembut. 

“Jika kalian ingin jadi penerus Kyai Tawan, jangan takut gelap. Sebab lentera paling berarti justru ketika malam paling pekat.” 

Malam itu, cahaya lampu teplok di langgar Gumalar menyala lebih terang dari biasanya. Bukan karena minyaknya bertambah, tapi karena semangat para santri yang mulai menyala: mereka telah memutuskan untuk jadi lentera-lentera kecil di tengah zaman yang kelam. 

(Foto: Ahmad Saifullah)

Pena di Tangan Perempuan 

Mbak Himmah menatap lembar catatannya yang mulai penuh. Tiap malam ia menulis, mencatat kisah-kisah yang ia dengar dari Mbah Binahu, dari Kang Partelo, bahkan dari dialog sederhana anak-anak di langgar. Baginya, dakwah tak harus dengan suara lantang di mimbar. Dakwah bisa lewat tulisan, lewat ketekunan menjaga makna. 

Namun dalam hati kecilnya, kadang rasa ragu menyelinap. 

“Perempuan sepertiku… apakah bisa jadi penerus perjuangan Kyai Tawan?” bisiknya malam itu di depan cermin. 

Keesokan harinya, Mak Umriyah memanggilnya. “Himmah, bisa bantu mengajar ibu-ibu di kampung bawah? Mereka ingin belajar membaca surat Yasin.” 

“Tapi… aku belum sehebat Kang Partelo, Mak.” 

Mak Umriyah tersenyum, menggenggam tangannya. 

“Himmah, Kyai Mu’min dulu tak dikenal orang. Tapi ilmunya disampaikan lewat satu dua murid. Dakwah bukan tentang besar atau kecil, tapi tentang keberanian untuk memulai. Kau punya pena, dan itu senjata yang tak kalah tajam.” 

Hari itu, Mbak Himmah melangkah ke kampung bawah. Awalnya, para ibu merasa canggung. Tapi perlahan, suara Himmah yang lembut dan sabar menenangkan mereka. Ia tak hanya mengajar membaca, tapi juga mendengarkan curhat tentang anak-anak, suami, bahkan rasa malu karena tak bisa ngaji di usia tua. 

“Saya pikir saya terlalu tua untuk belajar,” kata Bu Sarinah pelan. 

“Justru karena umur kita pendek, belajar tak boleh ditunda,” jawab Himmah lembut. 

Dari hari ke hari, semakin banyak ibu-ibu yang datang. Bahkan beberapa remaja putri mulai bergabung. 

Suatu malam, Himmah membaca tulisannya di depan para santri. Judulnya “Surat untuk Ibu yang Belajar Mengaji”. Kata-katanya sederhana, tapi menembus hati. 

Saat ia selesai membaca, langgar senyap. Lalu terdengar isak tertahan dari salah satu ibu. 

“Terima kasih, Nak. Tulisanmu seperti menguatkan kami… bahwa kami pun bisa jadi pejuang, meski tak hafal banyak kitab.” 

Kang Partelo mendekat, menaruh tangan di pundaknya. 

“Mbak Himmah, teruslah menulis. Suara perempuan yang lembut, justru bisa menembus dinding keras yang tak sanggup ditembus suara lantang.” 

Beberapa minggu kemudian, sebuah selebaran sederhana mulai beredar di dusun: “Majelis Ngaji Ibu-Ibu Gumalar, setiap Selasa sore, dipandu Mbak Himmah.” Tak disangka, selebaran itu sampai ke desa tetangga. Beberapa bahkan meminta Himmah datang ke sana. 

Mbak Himmah menatap pena tuanya. “Dari sinilah, aku akan terus menyalakan cahaya.” 

Pena yang Diuji 

Popularitas majelis Mbak Himmah perlahan menyebar. Tak hanya dari Gumalar, ibu-ibu dari desa tetangga mulai datang untuk belajar. Mereka membawa anak-anak, duduk bersila di tikar, menyimak penjelasan Himmah tentang isi kitab Tarajumah, surah-surah pendek, akhlak perempuan dalam Islam, dan kisah-kisah sahabiyah yang menginspirasi. 

Namun sebagaimana terang selalu diiringi bayang-bayang, suara sumbang mulai terdengar. 

“Perempuan ngajari ngaji? Apakah dia lulusan pondok? Apakah dia cukup ilmunya?” tanya seorang tokoh bernama Wolo saat rapat RT. 

“Dakwah kok lewat tulisan? Itu bukan cara ulama dulu!” tambahnya. 

Kabar ini sampai ke telinga Mbak Himmah. Malam itu, ia termenung di teras rumah Mak Umriyah. 

“Apa aku salah, Mak?” tanyanya pelan. “Aku cuma ingin membagikan sedikit ilmu. Tapi sekarang, orang-orang mulai meragukan aku.” 

Mak Umriyah, yang sejak tadi menenun tikar pandan, berhenti dan menatapnya. 

“Dengar, Himmah. Dulu KH. Ahmad Rifa’i pun dicurigai, bahkan dituduh sesat oleh bangsanya sendiri. Tapi beliau tetap menulis. Bahkan saat dibuang ke Ambon, tangannya tak berhenti berkarya.” 

Ia memegang tangan Himmah erat-erat. 

“Kalau pena itu ujianmu, maka terus pegang erat. Jangan lepaskan hanya karena angin kencang.” 

Besoknya, Himmah menghadiri forum diskusi kecil di langgar. Ia membawa beberapa karyanya yang telah ditulis tangan dan disalin oleh para santri. Di situ hadir Kang Partelo, Mbah Binahu, bahkan beberapa tokoh tua yang sebelumnya bersikap dingin. 

Dengan suara pelan tapi mantap, Himmah berkata: 

“Saya bukan ustadzah. Saya hanya santri yang ingin berbagi. Saya tak berceramah, hanya menulis pengalaman para ibu yang belajar. Tulisan saya mungkin tak sempurna, tapi niat saya insyaAllah lillah.” 

Seketika suasana hening. 

Mbah Binahu yang duduk di depan, tiba-tiba berkata, “Dulu, Rifa’i pun tak bicara keras. Tapi tulisannya membuat Belanda ketakutan. Apa kalian mau kita kalah oleh ketakutan yang sama?” 

Kang Partelo menambahkan, “Zaman ini butuh suara jernih. Dan suara itu bisa datang dari seorang perempuan, dari pena, dari air mata.” 

Perlahan, satu per satu kepala mengangguk. Termasuk tokoh tua yang sebelumnya mencibir, kini mulai berkata, “Kalau begitu, lanjutkan. Tapi jangan tinggalkan bimbingan para guru.” 

Malam itu, Himmah menulis di bawah lampu teplok: 

“Aku telah menyaksikan, bahwa bukan hanya suara lantang yang bisa mengubah dunia. Kadang, satu tulisan lembut dari hati yang tulus, mampu menembus dinding ketidaktahuan dan prasangka.” 


Penulis: Ahmad Saifullah
Narasumber: Amin Rosyadi (PD. Rifaiyah Tegal)
Editor: Yusril Mahendra

Tags: dakwahK. Mu'minK. TawanKH. Ahmad RifaiPondok Pesantren
Previous Post

Pekan Madaris Rifa’iyah ke-19 Wonosobo: Menggali Potensi Santri

Next Post

Khutbah Jum’at: Pentingnya Taubat dalam Kehidupan Seorang Mukmin

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
Khutbah Jum’at: Pentingnya Taubat dalam Kehidupan Seorang Mukmin

Khutbah Jum'at: Pentingnya Taubat dalam Kehidupan Seorang Mukmin

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id