Setelah musyawarah ranting (Musyran) dirumuskan program ranting tentang amar makruf nahi munkar, di antaranya program seratus hari warga sudah menutup aurat semuanya. Sebagai Ketua Ranting Rafiyah, Partela merasa diamanati untuk menyukseskan program seratus hari ini. Partela dan teman-teman pegiat Rafiyah resah kepada keadaan lingkungannya yang dipenuhi orang-orang yang terbiasa melakukan maksiat, hingga mereka tak merasa lagi berbuat maksiat.
Banyak perempuan pengumbar aurat mengepung seantero kampung. Ia bisa ditemukan di manapun. Setiap kali melempar pandangan langsung ketemu pupu. Usaha menolehkan mata justru terpapar belahan susu. Sesekali keresahannya itu disampaikan kepada temannya Pardi. Pardi hanya senyam-senyum saja, bahkan kadang meledeknya. “Ah, kamu Par, Imanmu sih ok, tapi imronmu gimana Par, kuat gak? Mata boleh menunduk, tapi apakah hatimu tidak selalu berontak? Ha…ha…ha.”
Semangat Partela selalu dilecut, dan dicambuki dalam setiap halaqah majelis yang diikutinya. Sesepuh Syura penasehatnya selalu mendoktrin pentingnya amar makruf nahi munkar.
“Setiap muslim berkewajiban amar makruf nahi munkar. Kalau pengurus organisasi tidak bisa menegakkan amar makruf dan nahi munkar, apa artinya kita berorganisasi.” Demikian kata-kata yang sering diucapkan Partela. Karena para tetangga Partela yang dirasa cuek, terhadap fenomena maksiat ini, kemudian suatu hari Partela memutuskan untuk turun tangan sendiri menegakkan amar makruf nahi munkar. Ia dengan terus terang memerintahkan kepada teman-teman, tetangga perempuan untuk selalu menutup aurat, bahkan Partela kadang menyodorkan jilbab yang sengaja ia beli sendiri.
Suatu hari ia harus menguntal pil pahit dari perjuangannya itu. Karena tiba-tiba seorang suami marah-marah ketika istrinya sempat ditegur oleh Partela. “Apa urusanmu mengatur-atur keluarga orang. Makani ora, kakean cangkem!” Bentak lelaki yang bertubuh besar itu. Partela terhenyak, beberapa hari menenangkan diri di rumah. Hatinya berkecamuk memotivasi dirinya sendiri bahwa dirinya laksana Nabi ketika hijrah ke Thaif yang bahkan sampai dilempari batu. Semua yang menimpa adalah ujian belaka, untuk meneguhkan dan menguatkan imannya.
Dalam proses penenangan jiwa ia muhasabah kembali apa yang sudah dilakukannya. ”Apakah ada kesalahan saya dalam memerintahkan sesuatu,” bisiknya dalam hati. Ia bahkan mengutarakan perihal ini kepada Pardi. Pardi mencoba menghiburnya dengan mengajaknya jalan-jalan dan makan-makan di bumi damai Kutaraja. Harapannya supaya Partela mengendapkan hati dan pikirannya. Supaya mbibisi satu persatu langkah-langkah amar makrufnya, apakah sudah tepat atau belum?
Setelah dirasa Partela telah cooling down Pardi alon-alon mengajukan pertimbangan-pertimbangan kepada teman karibnya itu. Ia menyodorkan satu ayat dari QS. Ali ‘Imran Ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
“Membaca ayat tadi, saya yakin kamu bagian dari orang-orang yang beruntung, Par. Karena kamu telah berjuang menegakkan nilai-nilai ayat tersebut. Tapi bolehkan temanmu ini mengajukan pertanyaan kepadamu? kamu pernah bertanya gak, Par? Dalam konteks apa kira-kira kita hanya berlaku sebatas sebagai Pengajak (yad’uuna ilal khair) bukan penyuruh (ta’muruuna bil ma’ruf). Dan sebaiknya kepada siapa saja kita berlaku sebagai Penyuruh kebaikan, dan kepada siapa saja sebaiknya kita berlaku sebagai pencegah.”
”Maksudmu bagaimana, Pardi?”
”Kemarin kan kamu dimarah-marahin orang, gara-gara istrinya kamu suruh untuk berjilbab. Kalau kamu posisinya sebagai orang lain, bukan suaminya, bukan kakak dan adiknya, kira-kira yang pas sesuai posisimu, kamu harus berlaku sebagai apa? Pengajak, Penyuruh, atau Pencegah? sebagaimana ayat tadi.”
”Saya yakin bahwa kedekatan seseorang dengan audien menentukan ketepatan berlakunya ketiga metode tersebut. Kesalahan menerapkan laku dakwah, justru akan menimbulkan perpecahan bisa kemudian menimbulkan permusuhan. Kalau sudah terjadi permusuhan maka mustahil upaya mengajak kebaikan (yad’una ilal khair) tercapai.”
”Menurut saya, kepada orang lain kita hanya berlaku sebagai Penganjur/Pengajak kebaikan saja. Kepada anak istri kita baru bisa mengajak kepada kebaikan sekaligus punya hak perintah dalam melakukan kebaikan, atau mencegah kemungkaran. Ibarat ketika istrimu sakit, dokter hanya penganjur obat, dan penerang pantangan dan larangannya, tapi yang punya ‘kuasa’ untuk menyuruh minum obat, dan melarang pantangannya ya kamu, selaku suaminya. Maka amar makruf butuh mapping dulu, agar kita tahu posisi kita, sehingga ketika amar makruf, kita tidak salah langkah.”
”Ingat ya, Par kata Mbah Rifa’i bahwa syarat sahnya amar naha (amar makruf nahi munkar) itu islam, akil, weruh syara’ jujur. Akil artinya seseorang yang berakal harus memikirkan dulu langkah-langkah amar naha yang akan dilakukan, supaya tidak melakukan kecerobohan sehingga justru wuwuh ala, menimbulkan keburukan. Itulah yang disebut Mbah Rifa’i amar makruf harus benar-benar presisi, ibarat menangkap ikan, tanpa keruh airnya, dengan ungkapan Simbah: sentosa tan wuwuh ing ala ngalebur (tentram tidak menimbulkan keburukan yang menghancurkan).
Ahmad Saifullah, jurnalis freelance
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali