Di antara tradisi masyarakat yang sering kita saksikan pada saat bulan Ramadan adalah ketika mereka akan melaksanakan shalat tarawih ada perwakilan salah satu muraqqi yang mengumandangkan seruan menyebutkan nama-nama khulafa’urrasyidin kemudian disusul para jama’ah membaca do’a tarodli atau lafadz radliyallahu ‘anh. Ada juga variasi yang lain dengan memisah antara tarawih dengan bacaan do’a setiap mendapatkan empat raka’at. Lantas sebenarnya bagaimana syari’at khususnya kaca mata fikih menyikapi apa yang dilakukan masyarakat di Nusantara ini?
Kalau kita kaji secara perlahan dan hati-hati maka kita akan menyadari begitu hebat dan arifnya ulama pendahulu kita dalam membimbing dan mendidik umat menjadi pribadi yang mudah menjalankan ibadah. Untuk itu dalam pembahasan ini akan kami uraikan menjadi dua bagian singkat.
Status Amalan yang Tidak Dilakukan Nabi
Para ulama, baik di Barat maupun di Timur, ulama salaf maupun khalaf, mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW tidak serta merta menunjukkan akan keharaman perkara tersebut karena bukan termasuk metode untuk menetapkan hukum syari’at.
Cara yang mereka gunakan dalam rangka menetapkan hukum syariat, baik hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, adalah adanya nash dari Al-Quran, nash dari sunnah, ijma’ ulama atas sebuah hukum dan qiyas.
Sedangkan dalam beberapa hal berikut, para ulama berbeda pendapat yaitu qaul al-shahabah, saddu al-dzari’ah, amal ahl al-madinah, hadits mursal, istihsan, hadits dha’if, dan cara-cara lain yang dianggap mu’tabar oleh para ulama. Sedangan konsep at-tarku (sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi Muhammad SAW) tidak termasuk pada cara yang digunakan ulama.
Konsep al-tarku tersebut tidak melahirkan hukum syariat apapun. Ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama. Terdapat banyak bukti yang mempertegas bahwa para sahabat Nabi tidak memahami al-tarku sebagai perintah yang menunjuk pada perbuatan haram, bahkan hukum makruh juga tidak. Ini yang dipahami oleh seluruh ulama sepanjang masa. Ibnu Hazm menolak pandangan madzhab Malik dan Hanafi yang menetapkan hukum makruh mengerjakan shalat dua rakaat sebelum maghrib hanya karena beralasan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak pernah melakukan shalat tersebut. Ibnu Hazm berkata, “Ini tidak apa-apa, awalnya ia adalah hadits yang munqathi’, karena Ibrahim tidak bertemu dengan seorang pun dari sejumlah rawi yang kami sebutkan, Ibrahim belum dilahirkan kecuali setelah dua tahun pasca kematian Utsman, kemudian seandainya hadits tersebut adalah shahih maka tetap saja hadits ini tidak mengandung sebuah hujjah, karena dalam hadits itu mereka (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak melarang mengerjakan shalat sebelum maghrib, mereka juga tidak menganggapnya makruh.” Ibnu Hazm menyebutkan, para sahabat yang meninggalkan shalat tersebut tidak mengapa, sepanjang mereka tidak menjelaskan bahwa shalat tersebut makruh dilakukan. Dan para sahabat tidak pernah mengatakan yang demikian itu.
Hukum Membaca Taradli antara Shalat
Sebelum membahas hukum meletakkan taradli di antara shalat tarawih, terlebih dahulu kami tegaskan bahwa yang disepakati ulama adalah disunahkan untuk mendoakan dan memintakan rida Allah kepada muslim lebih-lebih para sahabat. Sementara hukum menempatkanya dalam rangkaian ritual tarawih sering kita dengar adalah tafsil; jika meyakini kesunnahannya dari sisi kekhususan penempatanya antara shalat maka termasuk bid’ah yang buruk dan jika meyakini kesunnahannya hanya secara umum maka tetap disunnahkan.[1]
Masihkah ada peluang untuk menghukumi kesunnahan seacara mutlak? Dalam artian tetap berhukum sunnah meskipun diyakini kesunnahanya juga secara khusus. Dalam hal ini kita tarik dalam pembahasan kesunnahan shalat. Di antaranya terdapat pembahasan adanya anjuran untuk memisahkan antara shalat fardlu dan shalat sunnah dengan dua opsi; berpindah tempat atau dengan perkataan sebagaimana dalam hadits :
أَنَّ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ أَرْسَلَهُ إِلَى السَّائِبِ، ابْنِ أُخْتِ نَمِرٍ، يَسْأَلُهُ عَنْ شَيْءٍ رَآهُ مِنْهُ مُعَاوِيَةُ فِي الصَّلَاةِ. فَقَالَ: نَعَمْ. صَلَّيْتُ مَعَهُ الْجُمُعَةَ فِي الْمَقْصُورَةِ. فَلَمَّا سَلَّمَ الْإِمَامُ قُمْتُ فِي مَقَامِي. فَصَلَّيْتُ. فَلَمَّا دَخَلَ أَرْسَلَ إِلَيَّ فَقَالَ: لا تعد لما فعت. إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلَا تَصِلْهَا بِصَلَاةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ. فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أمرنا بذك. أَنْ لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أو نخرج.[2]
Andaikan dari dua opsi ini kita pilih yang pertama yakni memisah antara dua shalat dengan berpindah tempat dan kita praktekkan dalam shalat tarawih dan isya’ maka yang terjadi adalah kegaduhan jama’ah dan shaf shalatnya menjadi tidak teratur, memakan waktu yang lama dan pastinya membuat para jama’ah awam kurang berminat beribadah.
Sehingga yang menjadi solusi dari kedua opsi adalah opsi yang kedua yakni dengan mengucapkan perkataan di luar shalat. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Minhajul Qowim tatkala membahas kesunnahan di dalam shalat;
وأن يفصل بين السنة والفرض بكلام أو انتقال وهو أفضل، والنفل الذي لا تسن فيه الجماعة في بيته أفضل،
“Di antara kesunnahannya shalat adalah memisahkan antara shalat fardlu dan shalat Sunnah dengan ucapan atau berpindah tempat sedangkan yang lebih utama adalah dengan berpindah tempat”.[3]
Tentunya kalau dalam rangkaian ibadah yang nuansanya khusyu’ akan dianggap tidak pantas apabila untuk memisah shalat menggunakan pembicaraan yang tidak penting. Untuk itu dibacalah lantunan tasbih, salawat dan menyebutkan nama-nama pembesar sahabat serta mendoakannya tentu akan berfaidah. Sehingga dengan kearifan dan kedalaman ilmu ulama kita dibuatlah pilihan ucapan yang dapat menunjukan tingginya derajat para sahabat dan dalam rangka pengenalan terhadap mereka. Tujuan dan cara ini tentunya sudah sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana dalam hadits tersebut.
Hadits di atas oleh imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim-nya meskipun secara tekstual hanya berbicara membahas shalat jum’ah dengan shalat sunnah setelah jum’ah tapi juga berlaku untuk shalat-shalat yang lain.
قَوْلُهُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أن لا نوصل صلاة حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ فِيهِ دَلِيلٌ لِمَا قَالَهُ أَصْحَابُنَا أَنَّ النَّافِلَةَ الرَّاتِبَةَ وَغَيْرَهَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَحَوَّلَ لَهَا عَنْ مَوْضِعِ الْفَرِيضَةِ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ وَأَفْضَلُهُ التَّحَوُّلُ إِلَى بَيْتِهِ وَإِلَّا فموضع آخر مِنَ الْمَسْجِدِ أَوْ غَيْرِهِ لِيُكْثِرَ مَوَاضِعَ سُجُودِهِ وَلِتَنْفَصِلَ صُورَةُ النَّافِلَةِ عَنْ صُورَةِ الْفَرِيضَةِ وَقَوْلُهُ حَتَّى نَتَكَلَّمَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْفَصْلَ بَيْنَهُمَا يَحْصُلُ بِالْكَلَامِ أَيْضًا وَلَكِنْ بِالِانْتِقَالِ أَفْضَلُ لِمَا ذكرناه والله أعلم.[4]
Dengan adanya pemaparan di atas menegaskan Kembali bahwa kedalaman dan kejelian ulama kita dalam berdakwah mengajarkan dan mendidik masyarakat sangatlah rapi dan jenius sehingga bisa menjadikan sebuah ajaran Islam menjadi mentradisi. Orang awam tentu akan sangat mudah mendapatkan pahala memisah antara shalat dengan bacaan-bacaan terpuji sesuai anjuran Nabi meskipun tanpa mereka sadari.
[1]al-Habib `Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin `Umar al-Masyhur ,Bughyah al-Mustarsyidin hal. 37
بغية المسترشدين
(مسألة : ب) : تسنّ الصلاة على النبي بعد الإقامة كالأذان ولا تتعين لها صيغة ، وقد استنبط ابن حجر تصلية ستأتي في الجمعة قال : هي أفضل الكيفيات على الإطلاق ، فينبغي الإتيان بها بعدهما ، ثم اللهم ربَّ هذه الدعوة التامة الخ. ونقل عن النووي واعتمده ابن زياد أنه يسنّ الإتيان بها قبل الإقامة ، وعن البكري سنها قبلهما ، وأما الترضي عن الصحابة فلم يرد بخصوصه هنا كبين تسليمات التراويح ، بل هو بدعة إن أتي به يقصد أنه سنة في هذا المحل بخصوصه ، لا إن أتي به بقصد كونه سنة من حيث العموم لإجماع المسلمين على سنِّ الترضي عنهم ، ولعل الحكمة في الترضي عنهم وعن العلماء والصلحاء التنويه بعلوِّ شأنهم والتنبيبه بعظم مقامهم
[2] Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Sahih Muslim.
[3] Ibn Hajar al-Haitami, Minhajul Qowim, Maktabah At-Turots, hal 110.
[4] Syarafuddin an-Nawi, Syarah sahih Muslim, Maktabah At-Turots, hal. 170 Vol. VI.
Faiz Ali Rosyadi, S.Ag