Batang – Gagasan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering muncul di tengah kekecewaan publik. Korupsi, praktik politik transaksional, lemahnya fungsi pengawasan, hingga kegagalan legislasi membuat DPR sering dipandang sebagai institusi yang tidak layak dipertahankan. Kegeraman rakyat sah adanya. Namun, seruan pembubaran DPR sejatinya lebih merefleksikan keputusasaan ketimbang solusi. Membubarkan parlemen tidak serta-merta menyelesaikan penyakit politik kita, justru berpotensi membuka jalan kembali bagi otoritarianisme.
Sejarah Membuktikan: Membungkam Parlemen Melahirkan Otoritarianisme
Indonesia pernah mengalami dua fase sejarah ketika parlemen dilemahkan. Pertama, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menggantinya dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Alih-alih memperbaiki situasi, langkah itu justru mengkonsentrasikan kekuasaan di tangan eksekutif. Demokrasi berubah menjadi formalitas, sementara rakyat kehilangan ruang partisipasi.
Kedua, di era Orde Baru, DPR memang tetap eksis secara kelembagaan, tetapi kehilangan independensinya karena menjadi alat legitimasi kebijakan pemerintah. Semua kebijakan disahkan tanpa resistensi berarti, dan fungsi kontrol hilang sama sekali. Akibatnya, kekuasaan terkonsentrasi di tangan Soeharto, yang berujung pada krisis multidimensi 1998.
Kedua momen ini menunjukkan pola yang sama: ketika parlemen dilemahkan atau dibungkam, yang muncul bukan stabilitas politik, melainkan rezim otoriter yang brutal.
Masalah Utama: Rakyat Tak Punya Kontrol
Krisis parlemen hari ini bukan hanya soal korupsi atau elitisme. Masalah yang lebih mendasar adalah absennya mekanisme kontrol rakyat terhadap wakilnya. Setelah pemilu, rakyat nyaris tak punya ruang untuk menagih akuntabilitas. Sistem recall hanya bisa dijalankan oleh partai politik, bukan oleh konstituen. Akibatnya, wakil rakyat lebih tunduk pada kepentingan partai dan elite ketimbang suara publik.
Ketidakmampuan DPR menjalankan fungsi representasi ini melahirkan jurang kepercayaan yang makin lebar. Maka wajar bila seruan pembubaran DPR bergema. Namun, pertanyaannya: setelah DPR dibubarkan, mekanisme representasi rakyat akan diganti dengan apa? Kekuasaan eksekutif yang absolut? Dewan militer? Atau pemerintahan teknokrat tanpa kontrol rakyat? Semua opsi itu bukan demokrasi, melainkan kemunduran.
Bahaya Jalan Pintas: Militerisme dan Kekuasaan Tunggal
Membubarkan DPR sama saja dengan mengosongkan salah satu ruang penting dalam sistem demokrasi. Kekosongan itu hampir pasti akan diisi oleh kekuatan yang punya instrumen koersif: militer atau rezim tunggal. Sejarah membuktikan, dua kali bangsa ini jatuh ke jurang krisis justru karena menyerahkan politik pada logika kekuasaan tunggal.
Militerisme mungkin memberi kesan stabilitas, tetapi stabilitas semu. Ia menutup konflik politik dengan represi, bukan dengan penyelesaian. Kekuasaan tunggal mungkin memberi kesan efisiensi, tetapi efisiensi yang menafikan kebebasan. Pada akhirnya, rakyat hanya akan menjadi korban dari sistem yang tidak memberi ruang suara.
Jalan yang Benar: Reformasi Parlemen
Kritik yang matang tidak berhenti pada seruan pembubaran, melainkan menawarkan agenda reformasi yang konkret. Setidaknya ada beberapa langkah yang bisa menjadi solusi:
- Mekanisme Recall oleh Rakyat
Warga harus diberi hak untuk mencabut mandat wakil rakyat yang terbukti mengkhianati amanah, bukan hanya partai. - Transparansi Legislasi
Semua proses pembahasan undang-undang harus terbuka dan melibatkan publik. Bukan hanya formalitas, tapi substansi yang bisa diakses siapa pun. - Penguatan Partisipasi Publik
Rakyat harus bisa mengajukan rancangan undang-undang atau menolak rancangan yang bermasalah. Demokrasi partisipatif bukan sekadar jargon, tapi mekanisme nyata. - Independensi Lembaga Yudisial
Mahkamah Konstitusi dan peradilan harus benar-benar mandiri agar bisa menjadi penyeimbang terhadap DPR dan eksekutif. - Pendidikan Politik Rakyat
Tanpa rakyat yang kritis, wakil rakyat akan terus bebas bermain dalam ruang transaksional. Demokrasi tidak akan kuat jika publik abai.
Kesimpulan: Demokrasi Butuh Parlemen yang Hidup
Membubarkan DPR hanya akan mengganti wajah patologi tanpa menyembuhkan penyakit. Demokrasi membutuhkan ruang representasi. Tanpa parlemen yang hidup, rakyat kehilangan bahasa politiknya, sementara negara kembali berbicara dengan monolog kekuasaan.
Jalan kita bukanlah kehancuran institusi, melainkan reformasi mendalam. Parlemen harus dipaksa kembali menjadi rumah rakyat, bukan sekadar panggung elite. Hanya dengan institusi demokratis yang sehat, kedaulatan rakyat benar-benar dapat dijalankan.
Penulis: M Hazmi Al Faqih
Editor: Ahmad Zahid Ali
© 2025 infobatang.com