Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jejak perjuangan para pahlawannya. Berangkat dari semangat inilah, komunitas Rifa’iyah melalui Pimpinan Pondok Pesantren INSAP Kedungwuni, Pekalongan, menempuh perjalanan panjang dan berliku untuk melacak kembali salah satu bagian terpenting dari sejarah mereka: lokasi pasti makam sang guru dan pendiri, KH. Ahmad Rifa’i. Dokumen-dokumen korespondensi dari tahun 1991 hingga 1992 merekam sebuah upaya gigih yang membuahkan hasil, menyatukan kembali kepingan sejarah yang terpisah oleh waktu dan jarak.
Titik Awal: Silaturahmi dan Sebuah Pertanyaan Besar
Kisah ini bermula dari sebuah acara penting, yaitu Seminar Nasional Gerakan KH. Ahmad Rifa’i di Yogyakarta pada tahun 1990. Dalam seminar tersebut, terungkap informasi krusial bahwa makam sang ulama pejuang berada di Manado, Sulawesi Utara. Informasi ini memicu semangat Pimpinan Rifa’iyah, yang diwakili oleh KH. Ahmad Syadzirin Amin dari Pondok Pesantren INSAP, untuk mencari kebenaran data tersebut.
Sebelumnya, pada 19 November 1991, Pimpinan Rifa’iyah telah bersilaturahmi dengan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DPMUI) di Jakarta. Kunjungan ini tidak hanya bertujuan menjalin ukhuwah, tetapi juga untuk menegaskan identitas Rifa’iyah sebagai organisasi keagamaan berasaskan Pancasila, berakidah Ahlussunnah wal Jamaah, dan menganut mazhab empat—bukanlah sebuah sekte baru. Momen ini menjadi penegasan eksistensi sekaligus fondasi untuk melangkah lebih jauh dalam penelusuran sejarah mereka.
Rantai Informasi: Tiga Tokoh Kunci dalam Satu Misi
Pencarian makam ini menjadi kerja kolektif yang menghubungkan tiga tokoh dari tiga kota berbeda:
- KH. Ahmad Syadzirin Amin (Pekalongan): Sebagai perwakilan resmi Pimpinan Rifa’iyah, beliau menjadi pemantik utama dengan mengirimkan surat permintaan data pada 11 Februari 1992.
- Drs. H. Karkono Kamadjaja Partokusumo (Yogyakarta): Bertindak sebagai koordinator dan penghubung informasi. Ia menindaklanjuti permintaan dari Pekalongan dengan menghubungi kontaknya di Manado dan menggali arsip lama.
- H. Ali Hardi Kiaidemak, S.H. (Manado) dan Mustofa Syarif (Jakarta): Mereka adalah investigator lapangan. Surat dari Mustofa Syarif tahun 1979 menjadi bukti awal, yang kemudian dikonfirmasi dan diperjelas secara mendetail oleh H. Ali Hardi Kiaidemak pada tahun 1992.
Penelusuran Awal: Jejak Mustofa Syarif (1979)
Ternyata, upaya pelacakan ini telah dirintis jauh sebelumnya. Sebuah surat bertanggal 8 Mei 1979 dari Mustofa Syarif mengungkapkan perjalanannya yang luar biasa dalam mencari jejak KH. Ahmad Rifa’i.
- Ekspedisi Lintas Pulau: Mustofa Syarif memulai pencariannya di Ambon, namun tidak menemukan jejak sang ulama. Perjalanannya berlanjut ke Ternate (Maluku Utara), tetapi hasilnya pun nihil.
- Titik Terang di Tondano: Perjalanan akhirnya membawanya ke Manado. Setelah mengunjungi makam Imam Bonjol, ia menuju Kampung Jawa Tondano di Kabupaten Minahasa. Di sinilah ia menemukan titik terang: makam KH. Ahmad Rifa’i berada dekat dengan makam Kiai Mojo dan KH. Zaenudin dari Kuningan.
- Kisah Pengasingan: Menurut catatannya, rombongan buangan dari Jawa berjumlah 63 orang, namun hanya 46 yang selamat sampai di Tondano. Di pengasingan, KH. Ahmad Rifa’i sempat menikah dan memiliki keturunan yang menggunakan nama “Rifa’i” sebagai marga.
Surat dari Mustofa Syarif ini menjadi dokumen historis yang sangat berharga—bukti otentik dari penelusuran pertama yang berhasil.
Konfirmasi dan Detail dari Manado: Laporan H. Ali Hardi Kiaidemak, S.H. (1992)
Tiga belas tahun setelah surat Mustofa Syarif, konfirmasi yang lebih detail dan resmi datang dari H. Ali Hardi Kiaidemak, S.H. Ia yang saat itu menjabat sebagai advokat, anggota DPRD Sulawesi Utara, dan pengurus partai, memberikan laporan komprehensif pada 10 Maret 1992.
Berikut adalah poin-poin penting dari laporannya:
- Konteks Sejarah: KH. Ahmad Rifa’i (disebut Riva’i) termasuk dalam rombongan pengikut Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo yang dibuang oleh kolonial Belanda setelah Perang Diponegoro (1825–1830).
- Terbentuknya Kampung Jawa Tondano (JATON): Kiai Mojo dan pengikutnya mendarat di Tondano dan mendirikan komunitas yang dikenal sebagai Kampung Jawa. Rombongan ini berjumlah 62 orang (semuanya pria, kecuali istri Kiai Mojo), kemudian berbaur dan menikah dengan wanita Minahasa, membentuk komunitas yang dikenal sebagai JATON (Jawa Tondano).
- Garis Keturunan: Keturunan KH. Ahmad Rifa’i masih ada dan terus menggunakan nama keluarga (fam) “Rifa’i”. Sesuai adat setempat, nama keluarga ini diteruskan oleh anak laki-laki.
- Lokasi Tepat Makam: Inilah informasi yang paling dicari. H. Ali Hardi Kiaidemak menyatakan:
“Maka makam Kiai Rifa’i letaknya berada di sisi luar cungkup sebelah pojok utara-barat…”Makam ini berada di dalam kompleks pemakaman Kiai Mojo di Bukit Tondata, sekitar satu kilometer dari Kampung Jawa. Namun, posisinya berada di luar cungkup (bangunan pelindung) utama yang dibangun pada masa Jenderal Gatot Subroto menjabat sebagai KASAD.
- Kondisi Makam dan Seruan Aksi: Laporan tersebut juga menyebutkan kondisi makam yang sudah cukup tua, mengalami keretakan, dan terletak di tepi tebing. H. Ali Hardi Kiaidemak menyarankan agar dilakukan perbaikan yang terkoordinasi dengan keluarga di Tondano.
Sebuah Misi yang Tuntas dan Inspiratif
Rangkaian korespondensi ini lebih dari sekadar surat-menyurat biasa. Ia adalah cerminan semangat yang tak pernah padam untuk menghormati leluhur dan menjaga api sejarah. Upaya yang dimulai dari sebuah seminar, dilanjutkan dengan surat-menyurat lintas provinsi, dan didukung oleh penelusuran lapangan yang gigih, akhirnya berhasil memetakan kembali lokasi peristirahatan terakhir seorang ulama besar dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kisah ini menjadi inspirasi bahwa sejarah tidak akan hilang selama ada generasi yang peduli untuk mencari dan merawatnya. Berkat dedikasi para tokoh yang terlibat, jejak perjuangan KH. Ahmad Rifa’i di tanah pengasingan akhirnya terlacak dengan jelas, memberikan kepastian bagi para pengikutnya dan warisan berharga bagi seluruh bangsa Indonesia.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra