Pengertian Rukun
Dalam kitab Syarihul Iman, KH. Ahmad Rifa’i menerangkan bahwa praktik ajaran Islam yang mesti dilaksanakan ada lima, yaitu syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Namun, beliau menegaskan dalam beberapa kitabnya bahwa rukun Islam hanya satu, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Di sini, KH. Ahmad Rifa’i berbeda dengan mayoritas kaum Muslimin pada umumnya yang mengatakan bahwa rukun Islam ada lima, yakni membaca dua kalimat syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji apabila mampu. Perlu ditegaskan bahwa KH. Ahmad Rifa’i tidak mengingkari kewajiban pokok yang oleh mayoritas kaum Muslimin disebut sebagai lima rukun Islam tersebut. Meskipun beliau berpendapat bahwa rukun Islam hanya satu—yakni mengucapkan dua kalimat syahadat—pendapat ini tidak didasarkan pada istilah rukun menurut ilmu ushul fikih, yaitu:
مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ صِحَّةُ الشَّيْءِ وَكَانَ جُزْءًا مِنْهُ كَغَسْلِ الْوَجْهِ لِلْوُضُوءِ وَتَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ لِلصَّلَاةِ
Sesuatu yang menjadi ketergantungan bagi sahnya sesuatu yang lain dan ia merupakan bagian darinya, seperti membasuh wajah bagi wudu dan takbiratul ihram bagi salat.
(Mabadi Awaliyah, karya Abdul Hamid Hakim, hlm. 6)
Dengan demikian, rukun Islam menurut beliau adalah perkara yang menjadi syarat sahnya keislaman seseorang dan merupakan bagian dari Islam itu sendiri, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak zaman Nabi Muhammad saw. hingga sekarang, siapa pun yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi telah sah menjadi seorang Muslim dan wajib diperlakukan sebagai orang Islam, meskipun belum melaksanakan kewajiban lainnya seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Kecuali jika setelah mengucapkan dua kalimat syahadat orang tersebut melakukan dosa kekufuran, seperti mengakui adanya tuhan selain Allah, menyembah berhala, atau meminta-minta kepada selain Allah. Namun, jika ia meninggalkan salat dan/atau rukun lainnya dengan sengaja atau karena sebab tertentu, maka ia tetap dihukumi sebagai mukmin dan Muslim, hanya saja dihukumi fasik.
Dari uraian di atas, jelas bahwa yang dimaksud rukun oleh KH. Ahmad Rifa’i bukanlah rukun sebagaimana dalam istilah ushul fikih, melainkan menurut makna bahasa: sendi yang kokoh (rukn), fondasi (asāsun), atau tiang penyangga (qā‘idun) yang menentukan keislaman seseorang. Maka dari itu, hanya satu: mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika rukun diartikan sebagai unsur atau bagian dari Islam seperti halnya rukun wudu, salat, atau iman, maka orang yang hanya mengucapkan syahadat namun tidak melaksanakan rukun lainnya belum bisa disebut Muslim. Inilah maksud KH. Ahmad Rifa’i bahwa rukun Islam hanya satu, sedangkan yang lainnya merupakan pengamalan untuk menyempurnakan keislaman.
Salah satu dalil yang memperkuat pendapat ini adalah firman Allah swt. dalam QS. An-Nisa [4]: 94:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا ضَرَبْتُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَتَبَيَّنُوا۟ وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَنْ أَلْقَىٰٓ إِلَيْكُمُ ٱلسَّلَـٰمَ لَسْتَ مُؤْمِنًۭا تَبْتَغُونَ عَرَضَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا فَعِندَ ٱللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌۭ ۚ
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu,1 “Kamu bukan seorang yang beriman”, (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak.
Dalam kitab-kitab tafsir dijelaskan bahwa yang dimaksud mengucapkan salam dalam ayat ini adalah mereka yang mengucapkan kalimat tauhid: lā ilāha illā Allāh. Allah melarang menyebut kafir orang-orang yang telah mengucapkan salam. Beberapa kitab tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud salam adalah dua kalimat syahadat. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan kisah Al-Miqdad yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan syahadat. Said bin Jubair menyebut bahwa Ibnu Abbas ra. berkata:
Rasulullah saw. mengutus pasukan sariyah (tanpa keikutsertaan beliau), dan Al-Miqdad bin Al-Aswad termasuk di dalamnya. Saat mereka menemukan musuh, tersisa satu orang yang memiliki harta banyak. Orang itu mengucapkan: “Lā ilāha illā Allāh.” Namun, Al-Miqdad tetap membunuhnya. Ibnu Abbas berkata, “Apakah kamu membunuh orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Demi Allah, aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah!” Setelah dilaporkan, Rasulullah saw. bersabda:
ادعوا لي المقداد . يا مقداد ، أقتلت رجلا يقول: لا إله إلا الله ، فكيف لك بلا إله إلا الله غدا؟
“Panggilkan Miqdad menghadapku.” Beliau bertanya, “Wahai Miqdad, apakah kamu membunuh orang yang mengucapkan ‘lā ilāha illā Allāh’? Bagaimana keadaanmu besok (di akhirat) dengan ‘lā ilāha illā Allāh’ itu?”
(HR. Bazzar)
Ulama Ahlus Sunnah memiliki pandangan serupa dengan KH. Ahmad Rifa’i. Mereka mengatakan:
الإسلام هو النطق بالشهادتين فقط، فمن أقرهما أجريت عليه أحكام الإسلام في الدنيا، ولم يُحكم عليه بكفر إلا بظهور أمارات التكذيب كسجود اختيار الكواكب أو صورة أو استخفاف بنبي أو بمصحف أو بالكعبة أو نحو ذلك
Islam adalah pengucapan dua kalimat syahadat saja. Siapa pun yang mengucapkannya, maka hukum-hukum Islam diberlakukan kepadanya. Ia tidak boleh dihukumi kafir kecuali jika menampakkan tanda-tanda pendustaan seperti bersujud kepada benda-benda, patung, atau menghina Nabi, mushaf, Ka’bah, dan sejenisnya.
Syekh Al-Bajuri dalam Hāsyiyah Tuḥfah al-Murīd menyatakan:
فعلى كل حال مدار الإسلام على النطق بالشهادتين
Pada prinsipnya, Islam berpijak pada pengucapan dua kalimat syahadat.
Iman tempatnya di dalam hati. Jika seseorang meyakini ajaran yang disampaikan Nabi saw., maka ia sah disebut mukmin. Namun, amal merupakan penyempurna iman, sehingga Al-Qur’an sering menyandingkan antara iman dan amal saleh. Kuat-lemahnya amal mencerminkan kuat-lemahnya iman.
Terkait iman tanpa amal, dalam hadis panjang tentang syafaat Nabi saw. kepada orang mukmin di neraka disebutkan:
فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتِ الْمَلاَئِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنَ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِى نَهْرٍ فِى أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهْرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِى حَمِيلِ السَّيْلِ
“Allah SWT berfirman: Para malaikat telah memberikan syafaat, para nabi telah memberikan syafaat, dan orang mukmin telah memberikan syafaat. Kini hanya tersisa Dzat Yang Maha Penyayang. Lalu Allah menggenggam satu genggaman dari neraka dan mengeluarkan suatu kaum yang tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali. Mereka telah hangus. Allah melemparkan mereka ke sungai di bibir surga, yang disebut sungai kehidupan. Mereka keluar seperti biji yang tumbuh setelah terbawa arus.”
(HR. Muslim dan Abu Dawud)
Barang siapa yang mengucapkan dua kalimat syahadat hanya secara lahiriah tanpa meyakininya dalam hati, maka menurut pandangan manusia ia Muslim, namun menurut pandangan Allah ia kafir. Orang seperti ini disebut munafik. Jika tidak segera bertobat, maka ia akan kekal di neraka. Maksud tobat di sini adalah meyakini kandungan syahadat.
Orang yang hanya beriman dalam hati tanpa amal tidak berhak mendapat syafaat dari para nabi. Mereka akan langsung dikeluarkan dari neraka oleh Allah sendiri.
Imam Nawawi mengatakan bahwa Qadhi Iyadh rahimahullah menyebut:
قال القاضي رحمه الله: فهؤلاء هم الذين معهم مجرد الإيمان، وهم الذين لم يؤذن في الشفاعة فيهم، وإنما دلت الآثار على أنه أذن لمن عنده شيء زائد على مجرد الإيمان
Mereka adalah orang-orang yang hanya memiliki iman tanpa amal. Mereka tidak diizinkan mendapat syafaat. Atsar-atsar menunjukkan bahwa syafaat hanya diberikan kepada orang yang memiliki lebih dari sekadar iman, yaitu amal.
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Ri’ayah al-Himmah 9: Pokok-pokok Ajaran Iman
Penyusun: KH. Muhammad Toha, KH. Muhammad Abidun, Lc, KH. Sodikin, M.Pd.I, KH. Ahmad Rifa’i
Editor: Yusril Mahendra
Sumber: Metode Pengajaran Kitab Tarajumah (Ri’ayah al-Himmah).
Penerbit: UMRI Kab. Pati