المعجزة: أمر خارق للعادة، داعٍ إلى الخير والسعادة، مقرون بدعوى النبوة، قصد به إظهار صدق من ادعى أنه رسول من الله
“Mukjizat adalah perkara yang menyalahi adat kebiasaan, mengajak kepada kebaikan dan kebahagiaan, disertai dengan pengakuan kenabian, serta dimaksudkan untuk menampakkan kebenaran orang yang mengaku sebagai utusan Allah.”
Para Rasul, termasuk Nabi Muhammad S.A.W., diberi mukjizat sebagai tanda kenabian dan kerasulan sekaligus sebagai hujjah atau senjata untuk mengalahkan kaum kafir yang menentang dakwahnya. KH. Ahmad Rifa’i mengatakan:
Allah S.W.T. memberikan mukjizat kepada para Nabi dengan jenis yang berbeda-beda sesuai perkembangan peradaban umatnya. Nabi Ibrahim A.S. memperoleh mukjizat berupa tidak hangus ketika dibakar. Sementara itu, Nabi Musa A.S. dianugerahi tongkat yang dapat berubah menjadi ular. Adapun Nabi Isa A.S. mendapat mukjizat membangkitkan orang mati dan menyembuhkan penyakit. Sedangkan Nabi Muhammad S.A.W. menerima mukjizat Al-Qur’an, kalamullah yang menjadi hujjah sepanjang zaman dan merupakan mukjizat tertinggi dari Allah S.W.T. KH. Ahmad Rifa’i menerangkan:
Mukjizat tertinggi adalah Al-Qur’an karena ia kekal hingga akhir zaman. Al-Qur’an merupakan petunjuk yang membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, serta menjadi obat, terutama bagi yang sakit rohani.
Syariat Nabi Muhammad S.A.W. adalah syariat terakhir, menggantikan syariat para Nabi sebelumnya, berlaku untuk semua umat dan sepanjang zaman. Bahkan ketika Nabi Isa A.S. turun di akhir zaman, beliau tidak membawa syariat baru, melainkan memberlakukan syariat Nabi Muhammad S.A.W. Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam Tuhfah al-Murid (hlm. 80) mengatakan:
إذا علمت أنه خاتم النبيين وأن بعثته عامة فشرعه لا ينسخ بغيره، لا كلّا ولا بعضا
“Jika kamu mengetahui bahwa Nabi S.A.W. adalah Nabi terakhir dan beliau diutus untuk seluruh umat manusia, maka syariatnya tidak diganti dengan syariat lain, baik seluruhnya maupun sebagiannya.”
KH. Ahmad Rifa’i menegaskan, kedudukan syariat Nabi Muhammad S.A.W. sebagai pengganti syariat Nabi sebelumnya sudah sangat jelas dan menjadi ijma ulama. Allah S.W.T. berfirman dalam QS. Ali Imran (3:85):
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَـٰمِ دِينًۭا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, maka itu tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
Nabi Muhammad S.A.W. sebagai Nabi terakhir membawa Islam yang mengandung akidah dan syariat. Semuanya wajib diikuti karena telah menggantikan syariat para Nabi sebelumnya. Barang siapa tidak menjadikan Islam sebagai agamanya dan memilih agama lain, maka tidak diterima dan ia akan menjadi orang yang merugi di akhirat. Syekh al-Bajuri dalam Tuhfah al-Murid (hlm. 81) mengatakan:
فنسخ شرعه صلى الله عليه وسلم لشرع غيره واقع سماعا بإجماع المسلمين
“Penggantian syariat Nabi S.A.W. terhadap syariat lainnya merupakan realita yang telah terdengar dengan kesepakatan kaum muslimin.”
Syariat Nabi Muhammad S.A.W. berlaku sepanjang zaman karena beliau adalah Nabi terakhir, tidak ada lagi Nabi setelahnya yang membawa syariat baru. Beliau bersabda:
لا يَزَالُ ناسٌ من أُمَّتي ظاهرينَ على الحَقِّ ، حتى يأتِيَهم أمرُ اللهِ وهم ظاهِرونَ
“Segolongan umat dari umatku akan tetap berpegang pada syariat Allah tanpa ada yang dapat mengalahkannya hingga datang perkara Allah (hari kiamat), dan mereka tetap seperti itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada akhir zaman, Nabi Isa A.S. akan menegakkan tauhid, menghancurkan kekufuran dan kemusyrikan, menegakkan keadilan, dan menghapus kezaliman sehingga manusia sejahtera. Namun, beliau tidak membawa syariat baru, melainkan mengikuti syariat Nabi Muhammad S.A.W.
Untuk memperoleh keimanan yang sah dan mendapatkan syariat Rasulullah S.A.W. bagi yang tidak pernah melihat beliau, caranya adalah melalui khabar shidiq, yakni khabar mutawatir, khabar masyhur, atau khabar ahad yang sahih.
Adapun khabar mutawatir didefinisikan sebagai berikut:
أن المتواتر هو الحديث أو الخبر الذي يرويه في كل طبقة من طبقات سنده رواة كثيرون، يحكم العقل عادة باستحالة أن يكون أولئك الرواة قد اتفقوا على اختلاق هذا الخبر
“Sesungguhnya hadis mutawatir adalah hadis atau khabar yang pada setiap generasi sanadnya diriwayatkan oleh banyak orang yang secara akal tidak mungkin bersepakat untuk merekayasa berita tersebut.” (Taisir Musthalah al-Hadits, hlm. 23).
Selain khabar mutawatir, ada khabar ahad yang didefinisikan sebagai berikut:
هو ما لم تجتمع فيه شروط المتواتر
Khabar yang tidak memenuhi syarat-syarat khabar mutawatir (Taisir Musthalah al-Hadits, hlm. 27).
Khabar atau hadis dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan jumlah perawi:
- Khabar mutawatir — diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi atau mencapai puluhan orang lebih dengan persyaratan sebagaimana disebutkan di atas.
- Khabar masyhur — diriwayatkan oleh sejumlah perawi sekitar sepuluh orang atau kurang.
- Khabar ahad — diriwayatkan oleh beberapa orang perawi saja, meskipun hanya pada satu tingkatan (thabaqat).
Ditinjau dari sumbernya:
- Khabar marfu’ — bersumber dari Nabi S.A.W.
- Khabar mauquf — bersumber dari sahabat.
- Khabar maqthu’ — bersumber dari tabi’in.
Dilihat dari kualitasnya (diterima/maqbul atau ditolak/mardud):
- Khabar sahih — diriwayatkan oleh perawi yang adil (tidak pernah berbuat dosa) dan dhabit (cerdas dan cermat), sanadnya bersambung, dan tidak terdapat cacat yang merusak kesahihannya.
- Khabar hasan — sama dengan sahih, tetapi kecerdasan perawinya lebih rendah daripada perawi hadis sahih.
- Khabar dhaif — tidak memenuhi persyaratan di atas, misalnya sanadnya terputus, hafalan perawi buruk, pelupa, tertuduh berdusta, dan sebagainya.
KH. Ahmad Rifa’i membagi khabar menjadi tiga:
- Khabar shidiq — disampaikan oleh para Nabi dan Rasul yang pasti adil dan dhabit.
- Khabar ihtimal — disampaikan oleh orang mukmin yang mungkin adil dan mungkin fasik.
- Khabar kidzib — disampaikan oleh orang-orang pendusta.
Khabar mutawatir atau masyhur dan khabar ahad yang sahih dapat dipastikan kebenarannya sehingga wajib diterima dan diamalkan.
Ulama ahli hadis menjelaskan: “Imam-imam hadis dan fikih sepakat bahwa seorang perawi harus memenuhi dua persyaratan mendasar, yaitu adil dan dhabit. Adil berarti seorang muslim, dewasa, berakal sehat, selamat dari sebab-sebab fasik, dan terhindar dari hal-hal yang merusak kehormatan diri (muru’ah). Dhabit berarti perawi tidak menyalahi riwayat perawi yang terpercaya, tidak buruk hafalannya, tidak banyak melakukan kesalahan, tidak sering lupa, dan tidak mudah salah sangka.”
Mereka juga menjelaskan bahwa dhabit ada dua macam:
- Dhabit shadri — kemampuan menyampaikan hafalan dengan teliti.
- Dhabit kitabi — ketelitian dalam mencatat.
Kedua jenis dhabit ini dapat dimiliki sekaligus (dhabit tam) atau hanya salah satunya.
Lebih lanjut, KH. Ahmad Rifa’i menegaskan pentingnya menyeleksi khabar dalam memperoleh ajaran Islam. Sebagaimana telah disebutkan di atas, untuk berpegang pada ajaran Islam diperlukan sanad yang tersambung langsung kepada pembawa risalah. Beliau menerangkan:
Bagi umat Islam yang hidup jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad S.A.W. wajib mencari guru alim adil. Jika di suatu tempat terdapat guru yang alim dan adil, maka wajib berguru kepadanya.
- Alim berarti menguasai ilmunya.
- Adil berarti memenuhi kriteria adil dalam periwayatan sebagaimana dijelaskan di atas.
Bagi orang awam yang telah menemukan guru alim adil, wajib percaya dan haram ragu terhadap fatwanya, karena ucapannya benar (shidiq) menurut syariat.
Adapun guru yang alim tetapi fasik (sering melakukan maksiat) tidak sah menjadi guru, tidak boleh dipercaya fatwanya, dan tidak sah dijadikan panutan.
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Ri’ayah al-Himmah 11: Al-Qur’an Sumber Hukum Islam
Penyusun: KH. Muhammad Toha, KH. Muhammad Abidun, Lc, KH. Sodikin, M.Pd.I, KH. Ahmad Rifa’i
Editor: Yusril Mahendra
Sumber: Metode Pengajaran Kitab Tarajumah (Ri’ayah al-Himmah)
Penerbit: UMRI Kab. Pati