Rukun iman yang keempat ialah iman kepada para Nabi dan para Rasul. Iman kepada para Nabi dan para Rasul merupakan prinsip yang keempat dalam ajaran Islam. Prinsip ini berhubungan erat dengan prinsip ketiga, yaitu iman kepada kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada umat manusia. Apabila prinsip ketiga merupakan ajaran yang wajib diimani dan wajib dilaksanakan oleh manusia, maka prinsip keempat ini merupakan sosok pembawa risalah yang wajib diikuti, baik ucapan maupun perbuatan dan ketetapannya. KH. Ahmad Rifa’i menerangkan sebagai berikut:

Allah s.w.t. mengutus para Nabi dan para Rasul untuk menyampaikan perintah dan larangan kepada umat manusia. Nabi dan Rasul adalah manusia, berjenis kelamin laki-laki, merdeka, dan mendapatkan wahyu dari Allah s.w.t. Beda antara keduanya bahwa seorang Nabi tidak mendapat perintah untuk menyampaikan wahyu itu kepada umat, sedangkan Rasul mendapat perintah untuk menyampaikannya kepada umat. Dalam kitab Tuhfatul Murid hal. 33 dikatakan berikut ini:
وعرفوا النبي بأنه إنسان ذكر حر من بني آدم سليم عن منفر طبعا، أوحي إليه بشرع يعمل به وإن لم يؤمر بتبليغه. وأما الرسول فيعرف بما ذكر لكن مع التقييد بقولنا (وأمر بتبليغه) فبينهما العموم والخصوص المطلق؛ لأن كل رسول نبي ولا عكس وجعل بعضهم الرسول أعم، قال: لأن الرسول تكون من الملائكة
Para ulama menjelaskan bahwa Nabi adalah manusia dari keturunan Nabi Adam, berjenis kelamin laki-laki, tidak memiliki cacat yang menjijikkan menurut tabiat, diberi wahyu tentang sesuatu untuk diamalkan, tetapi tidak mendapat perintah untuk menyampaikan kepada orang lain. Sedangkan Rasul sama seperti Nabi tetapi mendapat perintah untuk menyampaikan kepada orang lain. Dalam hal ini pengertian Nabi dan Rasul antara umum dan khusus, karena setiap Rasul adalah Nabi, tidak sebaliknya. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kata Rasul lebih umum, mereka mengatakan bahwa Rasul itu mencakup dari Malaikat, maka lebih umum. Keterangan lebih lanjut mengenai nabi dan rasul adalah sebagai berikut:
(ولم تكن نبوة مكتسبة) أي: لا يكتسبها العبد بمباشرة أسباب مخصوصة كملازمة الخلوة والعبادة وتناول الحلال كما زعمت الفلاسفة لعنهم الله تعالى، فالذي ذهب إليه المسلمون جميعا أن النبوة خصيصة من الله تعالى لا يبلغ العبد أن يكتسبها، ويفسرونها باختصاص العبد بسماع وحي من الله تعالى بحكم شرعي تكليفي سواء أمر بتبليغه أم لا، وهكذا الرسالة، لكن بشرط أن يؤمر بالتبليغ
وذهبت الفلاسفة إلى أن النبوة مكتسبة للعبد بمباشرة أسباب خاصة، ويفسرونها بأنها صفاء وتجلّ للنفس يحدث لها من الرياضات بالتخلي عن الأمور الذميمة والتخلق بالأخلاق الحميدة، فالخلاف بين المسلمين والفلاسفة في أن النبوة ليست مكتسبة أو أنها مكتسبة: مبني على الخلاف بينهما في معناها
Bahwa kenabian tidaklah dapat diusahakan, meskipun manusia dapat mencapai tingkatan derajat yang tertinggi dalam ibadah dan tertinggi dalam ketaatan kepada Allah SWT. Memang ada yang berpendapat bahwa kenabian dapat diusahakan, seperti pendapat beberapa orang ahli filsafat (lihat Kitab Tuhfatul Murid). Lebih lanjut ulama ahli ushul menerangkan bahwa para nabi dan para Rasul adalah laki-laki, tidak ada seorang pun nabi dan Rasul yang perempuan. Tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa nabi ada yang perempuan, yaitu Maryam binti Imran. Pendapat ini berdasarkan ayat Al-Qur’an yang menyebutnya sebagai Shiddiqah dan diceritakan adanya malaikat berbicara (memberi wahyu) kepadanya (seolah-olah Maryam menerima wahyu). Akan tetapi pendapat ini ditolak oleh Imam Laqqoni dan oleh mayoritas ulama Sunni seperti disebutkan dalam Tafsir Al-Alusi sebagai berikut:
قال الآلوسى: واستدل بهذه الآية من ذهب إلى نبوة مريم: لأن تكليم الملائكة يقتضيها ومنعها اللقاني وغيره من العلماء، لأن الملائكة قد كلموا من ليس بنبي إجماعا، فقد جاء في الحديث الشريف أنهم كلموا رجلا خرج لزيارة أخ له في الله، وأخبروه بأن الله يحبه كما أحب هو أخاه، ولم يقل أحد بنبوته- فكلام الملائكة لمريم لا يقتضى نبوتها وهو الصحيح
Syekh Al-Bajuri dalam kitab Tuhfatul Murid mengatakan sebagai berikut:
والقول بنبوة مريم وآسية امرأة فرعون وحواء وأم موسى واسمها (يوحانذ) بالذال المعجمة وهاجر وسارة فهو مرجوح
Pendapat yang mengatakan bahwa Maryam, Asiyah istri Firaun, Ibu Hawa, Ibunya Nabi Musa yang bernama Yuhannadz, Siti Hajar, dan Siti Sarah adalah para nabi merupakan pendapat yang lemah.
ثم قال تعالى ” هو الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ” فالهدى هو ما جاء به من الإخبارات الصادقة والإيمان الصحيح والعلم النافع ودين الحق هو الأعمال الصالحة الصحيحة النافعة في الدنيا والآخرة
Alhuda (Petunjuk) yaitu apa-apa yang didatangkan oleh seorang Rasul dari berbagai berita yang benar, dari iman yang sah dan merupakan ilmu yang bermanfaat. Sedangkan yang dimaksud Diinul Haq (Agama yang Haq) adalah amal-amal saleh yang sah, bermanfaat di dunia dan akhirat. Selanjutnya KH. Ahmad Rifa’i menerangkan kedudukan orang alim adil sebagai penerus risalah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai berikut:

Syariat yang disampaikan oleh seorang Rasul dan yang disampaikan oleh seorang yang alim adil adalah sama, karena sama-sama menyampaikan ajaran dari Allah SWT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya tidak ada perbedaan tentang wajibnya mengikuti syariat yang dibawa oleh alim adil dengan mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasul. Inilah arti bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Sudah maklum bahwa seorang mukallaf yang tidak mau mengakui kebenaran Al-Qur’an adalah munafik, imannya mardud, dan bila tidak bertobat maka akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Selanjutnya, di dalam mengambil petunjuk haruslah dari seorang yang alim dan adil yang dibuktikan dengan menyertakan dalil-dalil syara’ dan berperilaku baik. Orang-orang yang bodoh dan/atau fasiq tidak sah menjadi guru dan panutan.

Mengatakan atau menilai sesuatu itu baik, buruk, mukmin, dan kafir harus mengikuti standar syariat atau berdasarkan dalil, yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Selanjutnya KH. Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa para Nabi diutus oleh Allah untuk menyampaikan ajaran (risalah) kepada masyarakat dengan menggunakan bahasa lokal atau bahasa kaumnya. Allah berfirman dalam QS Ibrahim [14]: 4 sebagai berikut:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Yang dimaksud bahasa kaumnya ialah Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi tidak berarti bahwa Al-Qur’an hanya berlaku untuk bangsa Arab saja, melainkan untuk seluruh umat manusia. Dan yang dimaksud disesatkan artinya orang itu menjadi sesat akibat dari keingkaran dan kesombongannya, ia tidak mau memahami petunjuk-petunjuk dari Allah s.w.t. dan dari para Rasul yang diutus untuk menjelaskan perintah dan larangan dengan bahasa yang dipahami oleh kaumnya itu.
Makna ayat diutusnya Rasul kepada kaumnya dengan memakai bahasa mereka karena alasan dapat menjelaskan lebih terang. Dengan penjelasan yang terang tersebut terkadang tampak dengan mengetahui petunjuk dan kadang tidak tampak disebabkan kesesatan yang nyata.
Rasulullah s.a.w. telah menjelaskan syariat dengan sejelas-jelasnya, namun sikap masyarakat ada yang mau mengikuti petunjuknya hingga menjadi orang yang beruntung dan ada pula orang yang tidak mau mengikuti petunjuknya karena telah disesatkan oleh Allah sehingga mereka celaka. (Dikutip dari Tafsir Tahrir wa Tanwir juz 13 hlm. 188).
Jika Nabi Muhammad s.a.w. diutus untuk semua umat manusia, mengapa beliau menggunakan bahasa Arab, bagaimana dengan orang-orang yang selain Arab? Maka jawabannya menggunakan dua penalaran, yaitu Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan semua bahasa, atau Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan satu bahasa.
Seandainya Al-Qur’an turun dengan semua bahasa maka akan muncul macam-macam Al-Qur’an yang sangat berpotensi menimbulkan perpecahan yang besar akibat merasa Al-Qur’an versi mereka masing-masing yang paling benar. Yang demikian tidak sesuai dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan. Dengan demikian maka yang paling sesuai dengan kemaslahatan adalah Al-Qur’an turun dengan satu bahasa yaitu bahasa Arab, alasannya karena kaum yang paling dekat dengan Nabi Muhammad s.a.w. adalah bangsa Arab. Jika Al-Qur’an telah dipahami oleh bangsa Arab dan diterjemahkan ke berbagai bahasa maka muncul penerjemahan Al-Qur’an untuk menjelaskan kandungan dan memahamkannya kepada umat manusia tanpa meninggalkan bahasa aslinya. Hal ini sebagaimana dibuktikan dalam realita bahwa Al-Qur’an telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Namun pedoman yang disepakati oleh semua pihak adalah Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab harus dicantumkan agar tidak hilang mukjizatnya. Hikmah lainnya, Al-Qur’an dengan satu bahasa dikontrol dengan hafalan dan akan terjauh dari tahrif dan tabdil serta lebih selamat dari perselisihan (lihat: Tafsir Al-Wasith juz 7 hlm. 514).
Bahasa Arab adalah bahasa yang mungkin bisa dipahami oleh semua bangsa. Fakta menunjukkan bahwa bahasa Arab telah dapat diterjemahkan ke dalam semua bahasa. KH. Ahmad Rifa’i menerangkan kewajiban ulama yang adil untuk menerjemahkan kitab Al-Qur’an atau kitab hadis dan lainnya yang berbahasa Arab ke dalam bahasa lokal seperti bahasa Jawa dan sebagainya agar masyarakat paham isi dan kandungan Al-Qur’an dan paham ajaran Islam.

Berangkat dari ayat ini, KH. Ahmad Rifa’i memandang bagi setiap alim adil wajib menerjemahkan syariat Islam kepada kaumnya supaya mudah dipahami. Allah berfirman dalam QS Thaha [20]: 134 sebagai berikut:

Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al-Qur’an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau (yang Engkau turunkan).”
قال الآلوسى: فالآية ظاهرة فى أنه لا بد من الشرع وإرسال الرسل. وأن العقل لا يغنى عن ذلك. وزعم المعتزلة أن العقل كاف وأن مسألة الرسل إنما هو للتنبيه عن سنة الغفلة التى تعترى الإِنسان من دون اختيار. فمعنى الآية عندهم: لئلا يبقى للناس على الله حجة. وتسمية ما يقال عند ترك الإِرسال حجة مع استحالة أن يكون لأحد عليه – سبحانه – حجة مجاز. بتنزيل المعذرة فى القبول عنده – تعالى – بمقتضى كرمه ولطفه منزلة الحجة القاطعة التى لا مرد لها. “
وقوله: حُجَّةٌ اسم يكون. وخبره قوله ” للناس ” وقوله: على الله حال من حجة. وقوله: بَعْدَ ٱلرُّسُلِ أى: بعد إرسال الرسل وتبليغ الشريعة على ألسنتهم وهو متعلق بالنفى أى: لتنفى حجتهم واعتذارهم بعد إرسال الرسل. قال ابن كثير: وقد ثبت فى الصحيحين عن ابن مسعود قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” لا أحد أغير من الله، ومن أجل ذلك حرم الفواحش ما ظهر منها وما بطن. ولا أحد أحب إليه المدح من الله، ومن أجل ذلك مدح نفسه، ولا أحد أحب إليه العذر من الله، ومن أجل ذلك بعث النبيين مبشرين ومنذرين ” وفى لفظ آخر:ومن أجل ذلك أرسل رسله وأنزل كتبه
وقوله: وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزاً حَكِيماً تذييل قصد به بيان قدرته التى لا تغالب وحكمته التى لا تحيط أحد بكنهها. أى: وكان الله – تعالى – وما زال هو القادر الغالب على كل شئ، الحكيم فى جميع أفعاله وتصرفاته، وسيجازى الذين أساؤوا بما عملوا، وسيجازى الذين أحسنوا بالحسنى. هذا وللمرحوم الأستاذ الإِمام محمد عبده كلام نفس فى كتابه {رسالة التوحيد} عن: حاجة البشر إلى إرسال الرسل، وعن وظيفتهم – عليهم الصلاة والسلام – وما قاله فى ذلك: الرسل يرشدون العقل إلى معرفة الله وما يجب أن يعرف من صفاته. ويبينون الحد الذى يجب أن ييقف عنده فى طلب ذلك العرفان. على وجه لا يشق عليه الاطمئنان إليه، ولا يرفع ثقته بما آتاه الله من القوة. الرسل يبينون للناس ما اختلفت عليه عقولهم وشهواتهم. وتنازعته مصالحهم ولذاتهم. فيفصلون فى تلك المخاصمات بأمر الله الصادع. ويؤيدون بما يبلغون عنه ما تقوم به المصالح العامة. ولا يفوت به المصالح الخاصة. الرسل يضعون لهم بأمر الله حدودا عامة. يسهل عليهم أن يردوا إليها أعمالهم. كاحترام الدماء البشرية إلا بحق. مع بيان الحق الذى تهدر له، وحظر تناول شئ ما كسبه الغير إلا بحق. مع بيان الحق الذى يبيح تناوله. واحترام الأعراض. مع بيان ما يباح وما يحرم من الأبضاع. يحملونهم على تحويل أهوائهم عن اللذائذ الفانية إلى طلب الرغائب السامية آخذين فى ذلك كله بطرف من الترغيب والترهيب والإِنذار والتبشير حسبما أمرهم الله – جل شأنه -يفصلون فى جميع ذلك للناس ما يؤهلهم لرضا الله عنهم وما يعرضهم لسخطه عليهم. ثم يحيطون بيانهم بنبأ الدار الآخرة، وما أعد الله فيها من الثواب وحسن العقبى، لمن وقف عند حدوده. وأخذ بأوامره. وبهذا تطمئن النفوس، وتثلج الصدور، ويعتصم المرزوء بالصبر، انتظارا لجزيل الأجر. أو إرضاء لمن بيده الأمر. وبهذا ينحل أعظم مشكل فى الاجتماع الإِنسانى، لا يزال العقلاء يجهدون أنفسهم فى حلة إلى اليوم
Ketiga dalil tersebut menjelaskan hikmah dan tugas para Rasul, yaitu:
- Diutusnya para Rasul kepada umat manusia merupakan suatu keniscayaan karena akal sejati tidak mencukupi untuk menangkap kebenaran. Hal ini berbeda dengan pandangan Mu’tazilah bahwa akal sudah mencukupi. Keberadaan para Rasul hanyalah untuk mengingatkan manusia dari kelalaiannya.
- Para Rasul diperintahkan untuk menyampaikan syariat yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia agar orang-orang yang diazab oleh Allah tidak punya alasan untuk memprotesnya.
- Dari tugas-tugas Rasul tersebut, maka orang-orang yang hidup di zaman fatrah atau orang yang hidup di pedalaman secara umum tidak termasuk mukallaf, karena ajaran Rasul belum sampai kepada mereka. (Lihat: Tafsir Ruhul Ma’ani karya Al-Alusi dan Tafsir Al-Wasith karya Sayyid Thanthowi).
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Ri’ayah al-Himmah 15: Iman kepada Kitab Allah
Penyusun: KH. Muhammad Toha, KH. Muhammad Abidun, Lc, KH. Sodikin, M.Pd.I, KH. Ahmad Rifa’i
Editor: Yusril Mahendra
Sumber: Metode Pengajaran Kitab Tarajumah (Ri’ayah al-Himmah)
Penerbit: UMRI Kab. Pati



