NAMA DAN ISI KITAB
Setelah selesai menulis basmalah, hamdalah, shalawat dan salam, Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad menerangkan judul kitab serta isinya yang diungkapkan dalam tarjamah bahasa Jawa sebagai berikut:

ARTI KATA DAN SYARAHAN
- Ya’ni disini maksudnya atau artinya
- Nadham menurut bahasa adalah syair⁵. Adapun menurut istilah adalah ungkapan kalimat yang memiliki akhiran yang sama.
- Tarajumahan berasal dari kata tarjamah, yang artinya memindahkan atau menyalin bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Akan tetapi yang dimaksud Kitab Tarajumah adalah karya Syekh Ahmad Rifa’i yang ditulis dengan bahasa Jawa, bukan terjemahan dari salah satu kibat yang berbahasa Arab
- Syarī’at secara umum adalah:
كُلُّ مَا شَرَعَ اللهُ تَعَالَى لِعِبَادِهِ مِنَ الأَحْكَامِ، سَوَاءٌ بِالقُرْآنِ، أَمْ بِالسُّنَّةِ
Hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah untuk hamba-Nya baik berdasarkan Al-Qur’an maupun Al-Hadist, baik berkaitan dengan aqidah atau amal perbuatan.⁶
Dengan pengertian ini syarī’at sama dengan ad-dīn (agama) mempunyai makna yang luas meliputi segala yang disyariatkan oleh Allah Swt baik berkaitan dengan masalah keimanan maupun berkaitan dengan masalah ibadah dan akhlak.⁷
- Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad, pengarang kitab, lahir tanggal 9 Muharram 1200 H (1786 M.) di Desa Tempuran Kendal. Ayahnya bernama Muhammad bin KH. Abi Sujak atau Raden Sotjowjoyo, seorang penghulu Landerad di Kendal. Ayah beliau meninggal pada saat beliau berumur enam tahun. Kemudian diasuh oleh kakeknya, KH Abu Sujak selama dua tahun. Kemudian setelah kakeknya meninggal beliau diasuh oleh kakak iparnya bernama Kyai Asy’ari, seorang ulama pendiri dan pengasuh pondok pesantren di Kaliwungu.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa setelah beliau belajar pada kakak iparnya hingga menjadi kyai muda yang cerdas dan berani, beliau meneruskan belajar ke Timur Tengah (Arab dan Mesir) dalam waktu yang cukup lama, yaitu 20 tahun, di Mekah 8 tahun dan di Mesir 12 tahun. Di antara guru-gurunya ialah Syekh Abdul Aziz al-Habsyi, Syekh Utsman, Syekh Isa Al-Barawi, Syekh Ibrahim Al-Bajuri dan yang lainnya.
Setelah pulang dari Timur Tengah beliau berdakwah di daerah Kendal dan sekitarnya. Kemudian karena dakwahnya dinilai keras mengecam pemerintah kolonial, maka diasingkan ke Kalisalak Batang sekitar tahun 1839. Di Kalisalak beliau mendirikan pesantren kemudian pada tahun 1859 diasingkan ke Ambon Provinsi Maluku. Kemudian setelah dua tahun dipindahkan ke Tondano Sulawesi Utara hingga wafat di sana. Semenjak diasingkan ke Ambon beritanya terputus dan namanya hampir dilupakan orang hingga lebih dari satu seperempat abad lamanya. Berkat penelusuran murid-murid yang dilakukan terus-menerus hingga akhirnya makam beliau dapat ditemukan.
Tidak seperti ulama Jawa pada umumnya, KH Ahmad Rifa’i selain mengajar santri dan berdakwah keliling kota untuk melakukan gerakan pemurnian ajaran Islam di tanah Jawa agar sesuai dengan syari’at Islam yang benar, beliau berjuang untuk membangkitkan semangat anti kolonialisme kepada masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan beliau mendapat perlawanan dari birokrat pribumi dan para ulama yang menganggapnya telah mengajarkan aliran sesat dan mendapat tekanan dari pemerintah kolonial karena dianggap membahayakan negara, maka akhirnya diasingkan ke luar Jawa. Beberapa pandangan yang bersifat kontroversial seperti konsep rukun Islam Satu, konsep shalat qadha, pendirian shalat jum’at dan pernikahan yang diulang, menyebabkan banyak orang yang salah paham dan marah kepada beliau. Semangat pembaharuan dan anti kolonialisme itu beliau tuangkan dalam kitab-kitab berbahasa Jawa yang umumnya berbentuk nadham sehingga banyak mempengaruhi masyarakat. Jumlah kitab yang beliau susun lebih dari 60 judul kitab. Beliau wafat dalam usia 84 tahun, tanggal 25 Rabiul Awwal tahun 1286/1870 dan dimakamkan di kompleks makam pahlawan Kyai Modjo di kampung jawa Tondano.⁸
- Madzhab dari kata dzahaba–yadzhabu–dzahaban wa madzhaban, menurut bahasa artinya jalan. Adapun menurut istilah madzhab adalah:
طَرِيقَةٌ مُعَيَّنَةٌ فِي اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Suatu metode tertentu (yang digunakan) dalam penggalian hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.⁹
Definisi ini menunjuk pada kaidah-kaidah penggalian hukum atau kaidah-kaidah hukum yang dipilih oleh seorang Imam Mujtahid. Menurut KH Ahmad Rifa’i ulama yang ahli dalam bidang penggalian hukum (mujtahid) ada tiga tingkatan, pertama mujtahid mutlaq, yaitu ulama yang ahli dalam penggalian hukum langsung dari al-Qur’an dan Hadits. Mujtahid mutlaq memiliki metode istinbath sendiri seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Kedua, mujtahid fil madzhab, yaitu ulama yang ahli dalam penggalian hukum tetapi menggunakan metode istinbath dari salah seorang imam mujtahid mutlaq, ia tidak mempunyai metode istinbath sendiri dan hasil ijtihadnya bisa saja berbeda dengan pendapat imamnya. Meskipun demikian ia tetap disebut sebagai penganut madzhab imam yang dianutnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan seperti Imam Muzani, beliau adalah penganut madzhab Asy-Syafi’i, tetapi dalam beberapa masalah pendapatnya berbeda dengan pendapat Imam Asy-Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam kitab Mukhtashar al-Muzani. Dan ketiga mujtahid fatwa, yaitu ulama mujtahid yang berusaha men-tarjih pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda dengan me-munaqasah-kan dalil masing-masing dan memilih pendapat yang dipandang lebih rajih atau lebih kuat dalilnya.
Ada juga mujtahid fil masa’il, yaitu mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja:
ما ذَهَبَ إِلَيْهِ الإِمَامُ مِنَ الأَحْكَامِ فِي الْمَسَائِلِ
Madzhab yang diambil oleh seorang Imam dari beberapa hukum dalam beberapa masalah tertentu.¹⁰
- Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad dalam bidang ilmu fikih selalu menegaskan mengikuti Madzhab Syafi’i, suatu madzhab yang dianut oleh mayoritas ulama Nusantara. Madzhab Syafi’i adalah madzhab yang dinisbatkan kepada seorang ulama mujtahid mutlaq bernama Imam Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Imam Syafi’i lahir di tanah Gaza Palestina pada tahun 150 H/767 M dan meninggal hari Jumah akhir bulan Rajab tahun 204 H/802 M, beliau hidup pada zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid.¹¹
- Beliau juga menegaskan bahwa ajarannya mengikuti thariqat Ahli Sunni, maksudnya adalah madzhab Ahlussunnah atau Ahlussunnah wal-jamaah. Yaitu dalam ilmu ushul mengikuti madzhab Imam Asy’ari dan Maturidi, dalam ilmu fikih mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dengan penekanan pada madzhab Syafi’i. Sedangkan dalam ilmu tasawuf mengikuti madzhab Imam Junaidi dan Imam Al-Ghazali.
- Syekh Abdul Qodir Al Jaelani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah adalah sunnah Nabi Muhammad Saw yang meliputi sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, dan sunnah taqririyah. Adapun yang dimaksud dengan wal-jamaah adalah kesepakatan para sahabat pada masa khulafaa ar-rasyidin.¹² Dengan demikian Ahlussunnah wal-Jamaah adalah keluarga besar atau golongan terbesar yang mengikuti sunnah Nabi Saw dan pandangan para sahabatnya dalam menjalankan syari’at Islam dan menjadi pedoman hidup, baik yang berkaitan dengan aqidah maupun ibadah dan muamalah. Mereka itulah yang disebut dengan firqah an-najiyah (golongan yang selamat) seperti disebutkan dalam hadits berikut:
إِنَّ الْيَهُودَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَإِنَّ النَّصَارَى افْتَرَقَتْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلاثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا فِرْقَةً وَاحِدَةً، قَالُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya umat Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, umat Nasara terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umat ini (Islam) akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya: siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apa yang aku kerjakan dan para sahabatku (lihat: Ibnu Katsir, jld III: hlm 586).
Imam At-Turmudzi juga meriwayatkan hadits yang sama, Rasulullah Saw ditanya siapakah golongan yang selamat itu? Beliau menjawab:
مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku. (HR. At-Turmudzi)
- Kebalikan dari ahli sunnah adalah ahli bid’ah, KH Ahmad Rifa’i memandang perlu untuk memberikan warning terhadap masalah bid’ah ini, yaitu sebagai berikut:
تنبيه اور كظاهر ووع بدعة سالة اعع سوسي ظاهر حجة أهل سنة
Tanbihun artinya catatan penting, di sini KH Ahmad Rifa’i memandang penting untuk mengingatkan murid-murid bahwa orang-orang ahli bid’ah secara lahirnya nampak seperti orang-orang saleh karena mereka adalah orang-orang yang ahli ibadah, rajin shalat, berdzikir, puasa dan sedekah. Tetapi dilaksanakan tanpa ilmu, tanpa syarat rukun (awuran-awuran), dan suka mengutamakan amal-amal sunah dengan mengabaikan amal-amal wajib yang segera dilaksanakan. Orang-orang awam menganggap bahwa pengamalan tersebut adalah baik padahal merupakan kesalahan karena pengamalan ibadah tanpa ilmu dan orang-orang yang mengutamakan amal-amal sunah dari amal-amal kewajiban merupakan kebatilan.
- Bid’ah, menurut bahasa artinya sesuatu yang baru, sedangkan menurut istilah adalah suatu ibadah yang diada-adakan atau yang tidak ada perintahnya dan tidak ada contohnya dari Rasulullah Saw. Selanjutnya Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i menjelaskan sebagai berikut:
وسئل نفع الله به ما لفظه من روى حديث قوله – صلى الله عليه وسلم – من أعرض عن صاحب بدعة بغضاً له في الله ملأ الله قلبه أمناً وإيماناً ومن أنذر صاحب بدعة أمّنه الله يوم الفزع الأكبر ومن أهان صاحب بدعة رفعه الله تعالى في الجنة مائة درجة ومن سلم على صاحب بدعة أو أكرمه أو قابله بالبشر أو استقبله بما يسره فقد استخف بما أنزل الله على محمد – صلى الله عليه وسلم –
وما المراد بأصحاب البدع وهل منهم من يخبر بما اقتضاه النجوم (فأجاب) رحمه الله بقوله رواه الخطيب في تاريخ بغداد وفي الحديث الصحيح شر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة والمراد بأصحاب البدع فيه من كان على خلاف ما عليه أهل السنة والجماعة والمراد بهم أتباع الشيخ أبي الحسن الأشعري وأبي منصور الماتريدي إمامي أهل السنة ويدخل في المبتدعة كل من أحدث في الإسلام حدثاً يشهد الشرع بمفسدته كالكسكوس والظلام نعم إن كان في تبيين القول الظلام انتقاد مظلوم منه أو حمله على خبر أو معروف فلا بأس به قال تعالى (فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ) ومن ثم حكي عن بعض الأكابر يكون أن يقوم النّبي ويعتذر بأنّه كان واسطة بينه وبين خليفة ويستدلّ بقول الله تعالى
(لاينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من ديا ركم انتبروهم وتقسطوا إليهم)
وفي الخبر من كان آمرا بمعروف فليكن امره ذلك بمعروف. وهذا هوسيرة نبينا محمد – صلى الله عليه وسلم – فإنه كان يلين القول لمن يرجو إسلامه ككلمة من أتاه وغيره لأنه أرجى للهداية وفسر بعضهم البدعة بما يعم جميع ما قد حدث وغير فقال هي ما لم يقم دليل شرعي على أنه واجب او مستحب سواء فعل في عهده – صلى الله عليه وسلم – ام لم يفعل كإخراج اليهود والنصارى من جزيرة العرب وقتال الترك لما كان مفعولا لا يكون بدعة وإن لم يفعل في عهده وكذلك جمع القرآن في مصاحف والاجتماع للتراويح وقول عمر رضي الله عنه نعمت البدعة تمت البدعة هي إراد البدعة اللغوية وهما فعل علي رضي الله عنه كما قال تعالى ﴿قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ﴾ وليست بدعة شرعا فإن البدعة الشرعية ضلالة كما قال – صلى الله عليه وسلم – ومن قسمها من العلماء إلى حسن وغير حسن فإنما قسم البدعة اللغوية ومن قال كل بدعة ضلالة فمعناه البدعة الشرعية لا الأعرى إن الصحابة، رضي الله عنهم والتابعين هم بإحسان أنكروا غير الصلوات الخمس كالعيدين وإن لم يكن فيه نهي وكرهو استلام الركنين الشا مين والصلاة عقيب السعي بين الصفا والمروة قياسا على الطواف وكذلك ما تركه – صلى الله عليه وسلم – مع قيام المقتضي فيكون تركه سنة وفعله بدعة مذمومة ونخرج بقولنا مع قيام المقتضي في حياته تركه اليهود من جزيرة العرب ويجمع المصحف وما تركه لوجود المانع كالإجتماع للتراويح فإن المقتضي التام يدخل فيه المانع وذكر أن الحاج المالكي فمن قال النجوم تدل على كذا لكن بفعل الله يجري في خلقه إنه بدعة من القول منهي عنها فيؤدب ولا يكفر إلا أن يجعل للنجوم تأثيراً فيقتل وظاهر كلام المارزي الجواز إذا أسند ذلك لعادة أجراها الله تعالى وذكر مالك رضي الله عنه حديثا مع حديث أصبح من عبادي مؤمناً بين الحديثين وجعل الأول دالاً على الجواز إذا نسب ذلك لها دة جرت والثاني يدل( الفتاوى الحديثية، ص ٢٠٠
Pokok-pokok yang dapat diambil dari keterangan Syekh Ibnu Hajar tersebut sebagaimana diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi, pertama barang siapa yang menentang bid’ah berdasarkan benci karena Allah maka Allah memberi rasa aman dan iman di hati orang itu. Kedua, barang siapa yang menghardik ahli bid’ah maka Allah memberikan perlindungan di hari kiamat. Ketiga, barang siapa yang memandang hina orang ahli bid’ah maka Allah akan mengangkat derajatnya 100 kali di surga. Dan keempat, barang siapa mengucapkan salam kepada ahli bid’ah atau menjumpainya dengan rasa bangga atau menjempuntnya dengan gembira maka berarti telah merendahkan ajaran yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya dipertanyakan apa dan siapa yang dimaksud bid’ah dan ahli bid’ah itu, apakah termasuk ahli nujum? Al-Khatib Al-Baghdadi mengututip hadits shahih bahwa, “Seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan (yang baru) dan setiap bid’ah adalah sesat.” Adapun yang dikehendaki ahli bid’ah adalah setiap orang yang menyalahi pengalaman Ahlussunnah wal-Jamaah yaitu golongan penganut Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Manshur Al-Maturidi (Lihat Al-Fatawa Al-Haditsiyah, hlm. 200)
- Kitab Tarajumah karya KH Ahmad Rifa’i yang sedang dipelajari adalah Kitab Ri’ayah al-Himmah Tha’at. Semula berarti “Menjaga cita-cita atau tujuan taat kepada Allah Swt.”
- Ilmu telung perkoro adalah ilmu ushul, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ketiga ilmu ini wajib dipelajari oleh setiap orang mukalaf, terutama ilmu-ilmu yang segera dapat dilaksanakan seperti tentang sahnya iman dan sahnya ibadah. Sementara kandungan umum al-Qur’an dan hadits terdiri dari tiga ilmu tersebut.
Catatan kaki:
⁵) Muhammad Idris Abdurro’uf al marbawi. Kamus Idris Marbawi hal. 327 dengan bahasa Jawa, bukan terjemahan dari salah satu kitab yang berbahasa Arab.
⁶) Syekh Wahbah Azzauli, Al fiqhul-islami wa adillatuhu, juz 1. Hal 16.
⁷) Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushulil fiqh, hal. 175.
⁸) Disarikan dari Ahmad Syadzirin Amin, Pemikiran Kiyai Ahmad Rifa’i Tentang Rukun Islam Satu, hlm. 15-31
⁹) Muhammad Rawwas, Mu’jam Lughah al-Fuqoha, 2/9
¹⁰) Ahmad Syarbini Khatib, Al-Iqna’ 1/1 dan abu bakar syatha, Ianatut tholibin juz 1 hal. 16
¹¹) I’anah ath-thalibin, 1/16
¹2 Syekh Abdul Qadir Al Jailani, al Ghunyah, hlm 25.
Penyusun: KH. Muhammad Toha, KH. Muhammad Abidun, Lc, KH. Sodikin, M.Pd.I, KH. Ahmad Rifa’i
Editor: Ahmad Zahid Ali
Sumber : Metode Pengajaran Kitab Tarajumah (Ri’ayah al-Himmah).
Penerbit : UMRI Kab. Pati