Dalam praktik muamalah sehari-hari, masyarakat sering kali menyamakan antara barang yang bisa dihutangkan dengan barang yang bisa diperdagangkan, digadaikan, atau dijadikan objek pesanan. Padahal, secara fikih hal tersebut tidaklah sama. Barang yang sah dijadikan hutang belum tentu sah untuk diperjualbelikan, dijadikan barang gadai, ataupun dijadikan akad pesanan.
Hal ini disebabkan karena setiap akad dalam Islam memiliki syarat dan ketentuan tersendiri, baik terkait kejelasan barang, kepemilikan, maupun kemampuan menyerahkan saat akad berlangsung. Sementara itu, hutang (al-qardh) pada dasarnya hanyalah tanggungan (dayn) yang bersifat abstrak, bukan barang nyata (‘ain). Oleh karena itu, tidak semua barang hutang dapat diposisikan dalam akad muamalah lainnya.
Hutang dalam Barang Konsumsi: Batasan yang Perlu Diketahui
Dalam praktik masyarakat, tidak semua barang yang boleh dihutangkan dapat diperdagangkan, digadaikan, atau dijadikan objek pesanan. Para ulama fikih memberikan rincian penting agar masyarakat tidak terjerumus pada transaksi yang cacat hukum.
- Barang makanan sederhana
Menghutangkan makanan seperti roti, bubur, adonan, dan gorengan diperbolehkan, sebab barang-barang tersebut bisa diganti dengan sejenisnya. Akan tetapi, berbeda hukumnya bila dijadikan objek jual beli atau pesanan. Menjual roti kecil dengan roti lain tidak sah karena dikhawatirkan mengandung unsur riba dalam pertukaran barang sejenis yang tidak setara.
Demikian pula, memesan roti, adonan, atau bubur tidak diperbolehkan sebab sifat barangnya yang cair dan bercampur membuatnya sulit ditentukan secara pasti jumlah per satuannya.
- Padi dalam ikatan (gedengan)
Hal yang sama berlaku pada padi dalam ikatan (gedengan). Menjual, membeli, atau memesan dalam bentuk tersebut tidak sah karena masih bercampur dengan gabuk (kulit padi) dan merang (jerami). Namun, bila barang yang diperdagangkan sudah jelas bentuknya, seperti beras atau padi keras (ahos), maka transaksi jual beli maupun pesanan diperbolehkan.
Adapun dalam perkara hutang, ulama memberi keringanan. Boleh menghutangkan padi dalam ikatan (gedengan) sebagaimana boleh pula menghutangkan nasi yang sudah matang. Keduanya sah sebagai hutang karena dapat diganti dengan barang sejenis, meskipun tidak sah bila dijadikan akad jual beli atau pesanan.
Kesimpulan
- Hutang (qardh) lebih luas hukumnya daripada jual beli, pesanan (salam), maupun gadai (rahn).
- Barang seperti roti, bubur, adonan, gorengan, atau padi dalam gedengan boleh dihutangkan, meskipun tidak sah dijual atau dijadikan pesanan karena ukuran dan batasannya tidak jelas.
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 13: Al-Qardh al-Hukmi
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Yusril Mahendra