Pendahuluan
Akad gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk mu‘āmalah yang telah dikenal sejak masa awal Islam, yaitu menahan suatu barang sebagai jaminan utang agar memberi rasa aman bagi pemberi pinjaman. Dalam praktik masyarakat, gadai sering dijadikan jalan keluar bagi mereka yang membutuhkan dana mendesak, sementara pihak lain merasa tenang karena memiliki barang sebagai jaminan.
Dalam fikih Islam, para ulama menegaskan bahwa keabsahan akad gadai erat kaitannya dengan keabsahan akad jual beli. Kaidah yang masyhur dalam mazhab Syafi‘i menyebutkan:
Mā jāza bay‘uhu jāza rahnuhu
“Segala sesuatu yang sah dijual, sah pula digadaikan.”
Kaidah ini menjadi tolok ukur utama dalam menentukan sah atau tidaknya suatu barang dijadikan objek akad gadai. Meski demikian, para fuqahā’ juga menyebutkan adanya beberapa pengecualian: ada barang yang sah dijual tetapi tidak sah digadaikan, dan sebaliknya ada barang yang sah digadaikan tetapi tidak sah dijual.
Artikel ini mengupas persyaratan orang yang berakad, persyaratan barang gadai, kaidah dasar yang dijadikan pegangan oleh ulama, hingga pengecualian yang dijelaskan secara rinci dalam literatur fikih, khususnya mazhab Syafi‘i. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif tentang posisi akad gadai dalam mu‘āmalah Islam kontemporer.
Syarat Orang yang Melakukan Transaksi
Para fuqahā’ mensyaratkan bahwa orang yang melakukan akad gadai maupun penerima gadai harus memiliki kecakapan hukum (ahliyyah).
- Harus berakal dan baligh.
- Tidak sah akad dari anak kecil, orang gila, orang safīh (mahjūr karena boros), atau orang yang dipaksa.
Syarat ini sama dengan syarat sahnya akad jual beli.
Imam al-Māwardī dalam al-Ḥāwī al-Kabīr menyebutkan:
“ومن جاز بيعه جاز رهنه … ومن لم يجز بيعه لم يجز رهنه مثل المجنون والصغير والمحجور عليه لسفه”
“Barang siapa sah jual belinya, sah pula rahn-nya. Barang siapa tidak sah jual belinya, tidak sah pula rahn-nya, seperti orang gila, anak kecil, dan orang safīh.”
(al-Ḥāwī al-Kabīr, Juz 6, hlm. 12).
Syarat Barang yang Digadaikan
Kaidah Umum
Syekh Haji Ahmad Rifa‘i dalam kitab Tasyrihatal Muhtaj yang merujuk pada Fathul Qarīb menegaskan bahwa syarat barang gadai sama dengan syarat barang jual beli. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang disebutkan Imam al-Māwardī:
“ما جاز بيعه جاز رهنه”
“Segala sesuatu yang boleh dijual, boleh pula digadaikan.”
Pengecualian
- Boleh dijual tetapi tidak boleh digadaikan:
- Budak mudabbar (dimerdekakan setelah tuannya wafat).
- Budak yang setengahnya merdeka.
- Makanan basah yang akan rusak bila digadaikan dalam waktu lama.
- Boleh digadaikan tetapi tidak boleh dijual:
- Budak perempuan boleh digadai tanpa anak kecilnya.
- Buah sebelum tampak matang (tanpa syarat dipetik).
Jawaban Ulama Syafi‘iyyah terhadap Kontradiksi
Para ulama Syafi‘iyyah menjelaskan perbedaan ini dengan tiga pendekatan:
- Kontekstual: Perkataan Imam Syafi‘i khusus untuk menjawab Hanafiyyah yang membolehkan jual beli barang musya‘ (tidak terbagi) tetapi tidak membolehkan rahn atasnya. Maka Imam Syafi‘i berkata: “Apa yang boleh dijual, boleh pula digadaikan, baik musya‘ ataupun tidak.”
- Umum dengan pengecualian kecil: Kaidah berlaku pada kebanyakan barang (ghālib al-asyyā’), meski ada sedikit pengecualian.
- Pendapat Muhaqqiqīn (yang rajih): Kaidah ini berlaku secara mutlak. Semua yang boleh dijual, boleh digadaikan. Semua yang tidak boleh dijual, tidak boleh digadaikan. Adapun contoh-contoh yang tampak kontradiktif memiliki rincian tersendiri.
Keabsahan Akad Gadai
- Akad gadai baru sah bila utang sudah tetap menjadi tanggungan pengutang.
- Jika utang belum tetap, tidak boleh diikat dengan akad gadai.
- Penggadai boleh menarik kembali barangnya sebelum barang tersebut diserahkan, misalnya ingin menggantinya dengan barang lain.
Hak dan Kewajiban Penerima Gadai (Murtahin)
- Tidak wajib mengganti bila barang rusak/hilang tanpa kelalaiannya.
- Wajib mengganti bila kerusakan diakibatkan kelalaian, misalnya tidak menyimpan di tempat semestinya.
- Tidak wajib menyerahkan barang gadai bila utang belum lunas seluruhnya.
- Penggadai tidak boleh mengambil barangnya sebelum melunasi utang secara penuh.
Kesimpulan
Akad rahn dalam fikih Syafi‘iyyah berprinsip bahwa syarat orang yang berakad sama dengan syarat akad jual beli, dan barang yang digadaikan harus memenuhi syarat barang jual beli. Kaidah penting yang berlaku adalah mā jāza bay‘uhu jāza rahnuhu. Namun, terdapat beberapa pengecualian yang dijelaskan ulama dengan rincian. Keabsahan akad gadai ditentukan oleh tetapnya utang, dan barang gadai tetap berada di tangan murtahin hingga utang dilunasi seluruhnya.
Sumber
- Tasyrihatal Muhtaj
- Fathul Qarīb
- al-Ḥāwī al-Kabīr
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 15: Pengertian Gadai
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Yusril Mahendra