Keabsahan Akad dan Implikasinya terhadap Halal-Haram Harta dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam, keabsahan akad (ṣaḥīḥ al-‘aqd) memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi (mu‘āmalah). Setiap bentuk pertukaran hak dan kewajiban dalam kegiatan ekonomi umat Islam, baik berupa jual beli, sewa-menyewa, gadai, maupun hibah, tidak hanya diukur dari objeknya yang halal, tetapi juga dari cara dan proses akad yang dilakukan.

Dalam kitab Tasyriḥ al-Muḥtāj, dijelaskan sebuah kaidah penting yang menjadi dasar sahnya muamalah:
وفي المعالمة ما ترتبت عليه آثار بعقد ثبتت
“Dalam setiap muamalah, sesuatu yang akibat hukumnya muncul karena adanya akad yang sah, maka (hukumnya) tetap dan diakui.”
Makna dan Penjelasan Kaidah
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa keabsahan akad merupakan faktor utama yang menentukan apakah suatu transaksi menghasilkan akibat hukum yang diakui syariat atau tidak. Maksudnya, suatu perjanjian atau transaksi baru dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum apabila dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditetapkan dalam syariat Islam.
Jika suatu akad memenuhi seluruh rukun dan syaratnya — seperti adanya pihak yang berakad (‘āqidān), adanya kerelaan (tarāḍī), kejelasan objek transaksi (ma‘qūd ‘alayh), serta tidak mengandung unsur penipuan (gharar), riba, maupun kezaliman — maka akad tersebut dinilai sah, dan semua akibat hukumnya menjadi halal dan sah pula.
Sebaliknya, apabila akad tersebut tidak memenuhi syarat syar‘i, seperti dilakukan tanpa kerelaan, objeknya tidak jelas, atau mengandung unsur haram, maka akad itu batal (bāṭil) atau rusak (fāsid). Akibat hukum dari akad seperti ini tidak diakui oleh syariat, sehingga segala hasil yang timbul darinya, termasuk perpindahan harta, menjadi tidak sah dan bahkan haram.
Contoh Penerapan dalam Kehidupan
- Jual beli sah secara syar‘i
Seorang pedagang menjual beras kepada pembeli dengan harga dan barang yang jelas serta disertai kerelaan kedua pihak. Akad seperti ini sah, maka uang yang diterima halal dan beras berpindah kepemilikan dengan sah. - Jual beli barang hasil curian
Penjual menjual barang yang bukan miliknya (barang curian). Walaupun pembeli membayar dengan uang yang halal, akadnya batal karena objek transaksi tidak sah dimiliki penjual. Maka hasil jual beli tersebut haram. - Akad dengan penipuan atau pemaksaan
Jika transaksi dilakukan dengan unsur penipuan, paksaan, atau manipulasi harga, maka akad tersebut tidak memenuhi unsur kerelaan (tarāḍī), sehingga termasuk akad fāsid. Akibatnya, harta yang diperoleh dari akad tersebut tidak halal digunakan.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keabsahan akad merupakan fondasi utama dalam setiap bentuk muamalah. Suatu transaksi baru dinilai sah dan menghasilkan akibat hukum yang halal apabila memenuhi rukun dan syarat sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat. Dengan demikian, kehalalan suatu harta tidak hanya ditentukan oleh jenis barangnya, tetapi juga oleh cara akad yang melandasinya.
Islam mengajarkan bahwa setiap muamalah hendaknya dibangun atas dasar kejelasan, kerelaan, dan keadilan. Apabila prinsip-prinsip ini dijaga, maka akad tersebut bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga membawa keberkahan dalam kehidupan bermuamalah.
Sebagai kelanjutan dari pembahasan ini, insyaallah pada kajian berikutnya kita akan menelusuri lebih dalam mengenai hukum pembayaran utang yang disertai syarat, yaitu ketika pelunasan utang dikaitkan dengan tambahan atau keuntungan tertentu bagi pemberi pinjaman. Pembahasan ini penting, sebab di dalamnya terkandung penjelasan mendasar tentang batas antara tolong-menolong yang dibenarkan dan praktik riba yang dilarang dalam Islam.
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 17: Fiqih Rahn
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Yusril Mahendra


