Dalam praktik akad jual beli, terdapat ketentuan penting terkait kejelasan ungkapan antara pihak penjual (ijab) dan pihak pembeli (qabul). Salah satu bentuk yang sering menjadi perbincangan para ulama adalah ketika terjadi dua penawaran (ijab) dan satu penerimaan (qabul).
Akad seperti ini dihukumi tidak sah apabila dua penawaran tersebut dihubungkan dengan kalimat “أو” (atau). Contohnya:
“Aku jual barang ini dengan harga seribu kontan atau dua ribu secara kredit.”
Jika pembeli kemudian menjawab, “Iya, saya beli,” maka akad ini tidak sah. Mengapa? Karena terjadi ketidakpastian harga, dan ucapan pembeli tidak menunjukkan pilihan yang jelas dari dua opsi yang ditawarkan oleh penjual.
Namun, bila pembeli menjawab dengan kalimat yang jelas, seperti:
“Saya beli dengan harga seribu kontan.”
maka akad dianggap sah, karena telah ada kecocokan dan kejelasan antara penawaran dan penerimaan.
Berbeda halnya jika kalimat penghubung antara dua harga dalam ijab menggunakan lafaz “و” (dan), misalnya:
“Aku jual barang ini dengan harga seribu kontan dan dua ribu secara kredit.”
Kalimat seperti ini diterima sebagai sah, karena mengandung makna bahwa barang tersebut dijual seharga tiga ribu—merupakan penjumlahan dari dua komponen harga yang harus dibayar.
Dari perbedaan ini, dapat disimpulkan bahwa antara ijab dan qabul harus selaras dan jelas dalam penuturannya, khususnya dalam hal harga. Akad yang tidak sah, seperti pada contoh pertama, muncul dari unsur ketidakpastian (gharar), sedangkan akad pada contoh kedua dianggap sah karena menunjukkan kejelasan dan kesepakatan pembayaran, meskipun dengan dua metode.
Bai’ Mu’āthāh: Jual Beli Tanpa Ijab Qabul Lisan
Sebagaimana kita pahami, pelaku transaksi haruslah cakap secara ucapan maupun akal. Hal ini biasanya diukur berdasarkan usia. Kecakapan tersebut menjadi standar hukum sah atau tidaknya sebuah akad dalam fikih.
Dalam praktiknya, sering kali seseorang membeli barang tanpa menyebutkan ṣīghah (lafaz) ijab dan qabul, hanya mengandalkan kejelasan barang dan harganya. Praktik ini dikenal dalam istilah fikih sebagai bai’ mu’āthāh. Bai’ mu’āthāh umumnya terjadi dalam jual beli sehari-hari, seperti di pasar atau toko kelontong, di mana pembeli langsung membayar dan penjual menyerahkan barang, tanpa ada ucapan jual dan beli secara formal.
Pertanyaannya kemudian, apakah mu’āthāh ini hanya sah dalam jual beli? Lalu, bagaimana jika diterapkan pada akad selain jual beli? Pertanyaan menarik ini akan kita bahas di kesempatan berikutnya… 🤭
Tiga Pendapat Ulama tentang Bai’ Mu’āthāh
- Pendapat Qaul Masyhur:
Transaksi seperti ini fasad secara mutlak karena tidak memenuhi rukun dan syarat ijab qabul. - Pendapat Imam Ar-Ruyyani dan Ibnu Suraij:
Transaksi sah jika menyangkut komoditas kecil yang tidak memerlukan akad resmi secara lisan. - Pendapat Imam Malik, Imam An-Nawawi, dan lainnya:
Transaksi sah jika telah menjadi kebiasaan masyarakat (‘urf), karena tidak ada nash yang secara tegas mewajibkan adanya lafaz ijab dan qabul dalam setiap jual beli.
Konsekuensi Hukum Bai’ Mu’āthāh
- Secara hukum duniawi:
Barang atau komoditas harus dikembalikan kepada penjual karena akad dianggap tidak sah. Jika barang tidak dikembalikan, maka transaksi harus diulang atau penjual harus merelakannya secara jelas. - Secara hukum ukhrawi:
Jika ada unsur kerelaan dari kedua belah pihak (ṭīb an-nafs), maka harta yang diperoleh hukumnya halal, meskipun dari segi tata cara akad belum benar. Namun, pelakunya tetap berdosa selama belum bertaubat karena telah menyelisihi aturan syariat secara zāhir.
Pelunasan Utang dengan Uang Haram
KH. Ahmad Rifa’i memberikan penjelasan menarik mengenai fenomena masyarakat yang melunasi utang dengan uang haram, misalnya hasil mencuri, riba, atau korupsi. Dalam hal ini, beliau menjelaskan sebagai berikut:
- Jika penjual telah merelakan makanan sebelum dilunasi, maka makanan tersebut halal bagi pembeli, dan uang yang diterima penjual juga halal karena ketidaktahuan terhadap sumber uang.
- Jika penjual merelakan makanan setelah mengetahui bahwa pelunasan menggunakan uang haram, maka makanan tersebut tetap halal, tetapi penjual wajib mengganti uang tersebut dengan uang yang halal untuk menyucikan hartanya.
- Jika penjual tidak tahu bahwa uang pelunasan adalah haram, maka makanan yang dibeli dengan uang itu menjadi haram dikonsumsi oleh pembeli, karena hukum haram berpindah pada barang yang dibeli. Kecuali jika penjual tidak mempermasalahkan atau uang diganti dengan yang halal, maka bisa menjadi halal.
Jual Beli Buah Sebelum Masa Panen
Karena prinsip jual beli didasarkan atas kerelaan dan keadilan, maka tidak boleh ada salah satu pihak yang dirugikan. Oleh sebab itu, menjual buah, daun, biji-bijian, atau pohon sebelum masa panen tidak diperbolehkan jika tanpa syarat panen langsung.
Ciri bahwa buah belum memasuki masa panen adalah belum adanya perubahan warna atau kematangan yang biasa menjadi tanda siap panen. Contohnya:
- Menjual mangga muda untuk dijadikan rujak.
- Menjual jagung muda untuk dijadikan sayur atau jagung bakar.
Menurut mazhab Syafi’i, belum ditemukan pendapat yang memperbolehkan menjual buah yang belum layak dikonsumsi (badw aṣ-ṣalāḥ) kecuali dengan syarat panen langsung (qaṭ‘ī). Jika akad dilakukan tanpa syarat, maka seolah-olah buah itu dibiarkan tetap di pohon (tabqiyah), dan ini menjadikan akad tidak sah.
Namun, ada pengecualian menurut Imam Al-Qaffāl dan Syaikh Abu Muhammad. Jika buah biasa dikonsumsi dalam kondisi muda berdasarkan kebiasaan masyarakat—seperti anggur muda (ḥiṣrīm) atau kelapa muda—maka jual belinya sah dengan alasan bahwa ‘urf (adat) dapat berlaku sebagai syarat dalam akad (al-‘ādah ka al-mashrūṭ). Meski begitu, tetap harus disertai dengan pemanenan segera, kecuali ada kesepakatan baru setelah akad untuk membiarkan buah tetap di pohon.
Menjual Barang Milik Orang Lain
Dalam konsep fikih, akad hanya mensyaratkan kecocokan secara realitas syariat (nafsul amri). Oleh karena itu, dihukumi sah menjual barang milik orang lain selama setelah akad ternyata barang tersebut memang menjadi miliknya. Contohnya:
- Seseorang menjual barang milik orang tuanya yang ia kira masih hidup, namun ternyata telah wafat dan barang tersebut menjadi miliknya.
- Seseorang menjual barang tanpa izin, tetapi setelah akad ternyata mendapat izin dari pemilik.
- Termasuk juga jual beli tanpa ilmu yang memadai, namun kenyataannya sesuai dengan aturan fikih.
Berbeda halnya dengan ibadah, yang menuntut adanya pengetahuan (‘ilm) dan keyakinan dari mukallaf, seperti mengetahui waktu salat. Maka, tidak sah orang melaksanakan salat tanpa tahu sudah masuk waktunya, meskipun ternyata benar sudah masuk waktu. Karena dalam ibadah, syarat sahnya ditentukan oleh ẓannul mukallaf (keyakinan orang yang beribadah), bukan sekadar kesesuaian kenyataan.
Referensi
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 11, hlm. 415
(ﻓﺮﻉ)
ﻗﺪ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﺃﻥ اﻟﻌﻘﺪ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ اﻟﺘﺒﻘﻴﺔ ﻷﻧﻬﺎ اﻟﻤﻌﺘﺎﺩ
ﻓﻠﻮ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ اﻟﺒﻼﺩ اﻟﺸﺪﻳﺪﺓ اﻟﺒﺮﺩ ﻛﺮﻡ ﻻ ﺗﻨﺘﻬﻲ ﺛﻤﺎﺭﻫﺎ ﺇﻟﻰ اﻟﺤﻼﻭﺓ ﻭاﻋﺘﺎﺩ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﻗﻄﻊ اﻟﺤﺼﺮﻡ ﻓﻔﻲ ﺑﻴﻌﻬﺎ ﻭﺟﻬﺎﻥ
ﻋﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻧﻪ ﻳﺼﺢ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﺮﻁ اﻟﻘﻄﻊ ﺗﻨﺰﻳﻼ ﻟﻌﺎﺩﺗﻬﻢ اﻟﺨﺎﺻﺔ ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﻌﺎﺩاﺕ اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻓﻴﻜﻮﻥ اﻟﻤﻌﻬﻮﺩ ﻛﺎﻟﻤﺸﺮﻭﻁ ﻭاﻣﺘﻨﻊ اﻷﻛﺜﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ
ﻭاﻟﻘﻔﺎﻝ ﻳﺮﻯ اﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻓﻴﻪ ﻛﺸﺮﻁ ﻋﻘﺪ ﻓﻲ ﻋﻘﺪ ﻓﻴﻔﺴﺪ اﻟﺮﻫﻦ
ﻗﺎﻝ اﺑﻦ اﻟﺮﻓﻌﺔ ﻛﻼﻡ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺒﺎﻳﻦ ﻟﻜﻼﻡ اﻟﻘﻔﺎﻝ ﻷﻥ اﻟﻘﻔﺎﻝ اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻭﺣﺪﻫﺎ ﻭاﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﻣﺤﻤﺪ اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻣﻊ ﻛﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﻻ ﻳﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻰ اﻟﺤﻼﻭﺓ ﻓﻘﺪ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺫﻟﻚ ﺣﺎﻟﺔ ﻛﻤﺎ ﻟﻪ ﺣﺘﻰ ﻟﻮ ﺟﺮﺕ ﻋﺎﺩﺓ ﺑﻘﻄﻊ اﻟﻌﻨﺐ اﻟﺬﻱ ﻳﺠﺊ ﻣﻨﻪ ﻋﻨﺐ ﺣﺼﺮﻡ ﺻﺢ اﻟﻌﻘﺪ ﻋﻠﻴﻪ ﻋﻨﺪ اﻟﻘﻔﺎﻝ ﺑﺪﻭﻥ ﺷﺮﻁ اﻟﻘﻄﻊ ﻭﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻳﺨﺮﺝ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﺤﺼﺮﻡ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭﺟﻪ ﻭﻫﺬا اﻟﺬﻱ ﻗﺎﻟﻪ اﺑﻦ اﻟﺮﻓﻌﺔ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﻭﻟﻜﻦ ﻇﺎﻫﺮ ﻛﻼﻡ اﻟﻨﺎﻗﻠﻴﻦ ﻋﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻧﻪ ﺇﻧﻤﺎ اﻋﺘﺒﺮ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻓﺮﺿﻨﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻷﻧﻪ اﻟﺬﻱ ﻳﻌﺘﺎﺩ ﻗﻄﻌﻪ ﺣﺼﺮﻣﺎ
Nihayatul Muhtaj
ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﺘﻀﺢ ﻓﻴﻪ اﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺎﺩﺓ، ﻓﻬﻮ اﻟﻤﺤﻜﻢ، ﻭﻣﻀﻤﺮﻩ ﻛﺎﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺻﺮﻳﺤﺎ
ﻭﺃﻟﺤﻖ اﻟﻘﻔﺎﻝ ﺑﻤﺎ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ ﺃﻣﺮا ﺁﺧﺮ، ﻓﻘﺎﻝ: ﺇﺫا ﻋﻢ ﻓﻲ اﻟﻨﺎﺱ اﻋﺘﻘﺎﺩ ﺇﺑﺎﺣﺔ ﻣﻨﺎﻓﻊ اﻟﺮﻫﻦ ﻟﻠﻤﺮﺗﻬﻦ، ﻓاﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺎﺩﺓ ﻓﻴﻪ ﺑﻤﺜﺎﺑﺔ ﺷﺮﻁ ﻋﻘﺪ ﻓﻲ ﻋﻘﺪ، ﻭﻳﻠﺰﻡ ﻣﻨﻪ اﻟﺤﻜﻢ ﺑﻔﺴﺎﺩ اﻟﺮﻫﻦ، ﻭﻗﺪ ﻳﺠﺮﻱ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺃﻏﺮاﺽ ﻓﻲ اﻟﻘﺮﻭﺽ، ﻟﻮ ﺫﻛﺮﺕ ﻟﻔﺴﺪﺕ اﻟﻘﺮﻭﺽ ﺑﻬﺎ
ﻭاﻟﻘﻔﺎﻝ ﻳﺠﻌﻞ اﻃﺮاﺩ اﻟﻌﺮﻑ ﺑﻤﺜﺎﺑﺔ اﻟﺸﺮﻁ ، ﻭﻟﻢ ﻳﺴﺎﻋﺪﻩ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ
ﻭﻛﺎﻥ ﺷﻴﺨﻲ ﻳﻘﻮﻝ: ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺑﻘﻌﺔ ﻣﻦ اﻟﺒﻘﺎﻉ اﻟﻤﻌﺪﻭﺩﺓ ﻣﻦ اﻟﺼﺮﻭﺩ ﻛﺮﻭﻡ، ﻓﻜﺎﻧﺖ اﻟﺜﻤﺎﺭ ﻻ ﺗﻨﺘﻬﻲ ﺇﻟﻰ اﻟﺤﻼﻭﺓ، ﻭﻋﻢ ﻓﻴﻬﺎ اﻟﻌﺮﻑ ﺑﻘﻄﻊ اﻟﺤﺼﺮﻡ، ﻓﺈﻃﻼﻕ اﻟﺒﻴﻊ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮﻑ ﻓﻲ اﻟﻘﻄﻊ، ﻭﻫﻮ ﻧﺎﺯﻝ ﻣﻨﺰﻟﺔ اﻟﺒﻴﻊ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﻘﻄﻊ، ﻓﺎﻟﺘﻌﻮﻳﻞ ﻓﻲ ﺃﺻﻞ اﻟﻤﺬﻫﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺎﺩﺓ
ﻭﺃﻧﺎ ﺃﻗﻮﻝ: ﻻ ﺷﻚ ﺃﻥ ﺣﻤﻞ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻣﻦ اﻟﺒﻴﻊ ﻓﻲ اﻟﺜﻤﺎﺭ اﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﻳﺒﺪ اﻟﺼﻼﺡ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻘﻴﺪ ﺑﺸﺮﻁ اﻟﺘﺒﻘﻴﺔ ﻣﺄﺧﻮﺫ ﻣﻦ اﻟﻌﺮﻑ
Tuhfatul Muhtaj (dengan catatan kaki Asy-Syarwani), Jilid 4, hlm. 294
وعن بيعتين , رواه الترمذى وصححه بأن أي كأن يقول : بعتك بألف نقدا وألفين الى سنة فخذ بأيهما شئت أنت وأنا أو شاء فلان للجهالة بخلافه بألف نقدا وبألفين لسنة وبجلاف نصفهبألف ونصفه بألفيناهـ
Fathul Wahhab, Jilid 1, hlm. 36
(و)
عن (بيعتين فى بيعة) رواه الترمذى وغيره وقال حسن صحيح(كبعتك ) هذا بألف نقدا او بألفين لسنة ) فخذها بأيهما شئت أو شاء وعدم الصحة فيه للجهل بالعوض
Hasyiyah Al-Bajuri, Jilid 1, hlm. 350
(ولايجوز بيع الثمرة)
المنفردة عن الشجرة (مطلقا) اى عن شرط القطع (الا بعد بدو) اى ظهور (صلاحها) وهو فيما لايتلون انهاء حالها الى ما يقصد منها غالبا كحلاوة قصب وحموضة رمان ولين طين وفيما يتلون بان أخذ فى حمرة او اسواد كعناب والاجاص والبلح واما قبل بدو الصلاح فلا يصح مطلقا لامن صاحب الشجرة ولا من غيره الا بشرط القطع اهـ
Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, hlm. 233.
وَلَو لم يُوجد إِيجَاب وَقبُول بِاللَّفْظِ وَلَكِن وَقعت معاطاة كعادات النَّاس بِأَن يُعْطي المُشْتَرِي البَائِع الثّمن فيعطيه فِي مُقَابلَة البضاعة الَّتِي يذكرهَا المُشْتَرِي فَهَل يَكْفِي ذَلِك الْمَذْهَب فِي أصل الرَّوْضَة أَنه لَا يَكْفِي لعدم وجود الصِّيغَة وَخرج ابْن سُرَيج قولا أَن ذَلِك يَكْفِي فِي المحقرات وَبِه أفتى الرَّوْيَانِيّ وَغَيره والمحقر كرطل خبز وَنَحْوه مِمَّا يعْتَاد فِيهِ المعاطاة وَقَالَ مَالك رَحمَه الله تَعَالَى ووسع عَلَيْهِ ينْعَقد البيع بِكُل مَا يعده النَّاس بيعا وَاسْتَحْسنهُ الإِمَام البارع ابْن الصّباغ وَقَالَ الشَّيْخ الإِمَام الزَّاهِد أَبُو زَكَرِيَّا محيي الدّين النَّوَوِيّ قلت هَذَا الَّذِي استحسنه ابْن الصّباغ هُوَ الرَّاجِح دَلِيلا وَهُوَ الْمُخْتَار لِأَنَّهُ لم يَصح فِي الشَّرْع اشْتِرَاط اللَّفْظ فَوَجَبَ الرُّجُوع إِلَى الْعرف كَغَيْرِهِ وَمِمَّنْ اخْتَارَهُ الْمُتَوَلِي وَالْبَغوِيّ وَغَيرهمَا وَالله أعلم
قلت وَمِمَّا عَمت بِهِ الْبلوى بعثان الصغار لشراء الْحَوَائِج وأطردت فِيهِ الْعَادة فِي سَائِر الْبِلَاد وَقد تَدْعُو الضَّرُورَة إِلَى ذَلِك فَيَنْبَغِي إِلْحَاق ذَلِك بالمعاطاة إِذا كَانَ الحكم دائراً مَعَ الْعرف مَعَ أَن الْمُعْتَبر فِي ذَلِك التَّرَاضِي ليخرج بالصيغة عَن أكل مَال الْغَيْر بِالْبَاطِلِ فَإِنَّهَا دَالَّة على الرِّضَا فَإِذا وجد الْمَعْنى الَّذِي اشْترطت الصِّيغَة لأَجله فَيَنْبَغِي أَن يكون هُوَ الْمُعْتَمد بِشَرْط أَن يكون الْمَأْخُوذ يعدل الثّمن وَقد كَانَت المغيبات يبْعَثْنَ الْجَوَارِي والغلمان فِي زمن عمر بن الْخطاب رَضِي الله عَنهُ لشراء الْحَوَائِج فَلَا يُنكره وَكَذَا فِي زمن غَيره من السّلف وَالْخلف وَالله أعلم – المكتبة الشاملة
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 5: Syarat Ijab Qabul
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Yusril Mahendra