Pengertian Salam
As-salam (السَّلَم) atau as-salaf (السَّلَف) adalah salah satu bentuk akad jual beli yang disyariatkan, yaitu:
عقدٌ على موصوفٍ في الذمة بثمنٍ معجَّلٍ
“Akad jual beli terhadap barang yang disifati secara jelas, yang menjadi tanggungan (belum ada), dengan pembayaran harga secara tunai di awal.”
Dengan demikian, dalam akad salam:
- Barang belum ada saat akad berlangsung (future delivery).
- Harga dibayar penuh di awal.
- Sifat dan spesifikasi barang harus jelas dan terperinci.
Dasar Pensyariatan
Akad salam disyariatkan berdasarkan hadis Nabi ﷺ:
من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم، ووزن معلوم، إلى أجل معلوم
“Barang siapa melakukan akad salam, hendaklah dilakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan waktu yang jelas.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Syarat-syarat Muslam Fīh (Barang Pesanan) dalam Akad Salam
Agar akad salam (السَّلَم) sah secara syariat, maka barang yang dipesan (muslam fīh) harus memenuhi sejumlah kriteria, sehingga tidak terjadi gharar (ketidakjelasan) atau penipuan. Berikut lima syarat pentingnya:
- Barang dapat diwujudkan dengan menyebutkan sifat-sifat tertentu yang terukur
Penjelasan:
Barang yang dipesan harus dapat dijelaskan dengan spesifikasi secara rinci dan objektif, seperti jenis, ukuran, kualitas, warna, takaran, dan bentuk.
Contoh sah:
1 ton gandum jenis lokal, kadar air tidak lebih dari 14%, ukuran biji sedang.
Contoh tidak sah:
“Saya pesan kain yang bagus,” tanpa menyebut jenis, panjang, lebar, atau kualitas, karena kata “bagus” bersifat subjektif.
- Barang tidak berupa campuran dari berbagai unsur yang tidak bisa dibedakan jenisnya
Penjelasan:
Barang pesanan tidak boleh berupa sesuatu yang unsur penyusunnya bercampur secara tidak terpisahkan. Hal ini menyulitkan penentuan sifat barang secara tepat sebelum dibuat.
Contoh tidak sah:
Bubur, adonan roti, atau salad buah yang campurannya bermacam-macam dan tidak bisa diuraikan dengan pasti sebelum dibuat.
Contoh sah:
Tepung terigu murni 50 kg, karena unsur dan jenisnya satu dan dapat ditentukan.
- Barang bukan hasil dari proses pencicipan dengan api (seperti dimasak atau dibakar)
Penjelasan:
Barang pesanan tidak boleh berupa makanan yang hanya bisa diketahui kualitasnya setelah dimasak atau dibakar, sebab sifat barang menjadi sulit dijelaskan sejak awal.
Contoh tidak sah:
Kue basah, roti bakar, rendang, sate — karena rasanya baru diketahui setelah dimasak.
Catatan:
Namun, jika yang dipesan adalah bahan mentahnya (seperti 5 kg daging sapi kualitas A), maka diperbolehkan.
- Tidak dibatasi waktunya secara sempit (misalnya: “dalam sehari harus jadi”)
Penjelasan:
Dalam akad salam, barang yang dipesan merupakan tanggungan (fī dzimmah) pihak penjual. Maka tidak boleh ditentukan batas waktu yang terlalu sempit sehingga menyulitkan pengadaan barang, seperti: “harus selesai dalam 1 jam” atau “dalam satu hari wajib sampai.”
Sebab akad salam bukanlah jual beli instan, melainkan janji untuk menyediakan barang dalam waktu yang disepakati secara adil dan masuk akal (misalnya: 10 hari, 1 bulan, dan sebagainya).
- Barang pesanan tidak ditentukan dengan menunjuk barang yang sudah ada saat akad
Penjelasan:
Dalam akad salam, barang belum boleh ada saat akad berlangsung, dan tidak boleh menyatakan: “Saya pesan barang seperti yang ini” (sambil menunjuk barang tertentu). Hal ini karena akad salam bersifat tanggungan (fī dzimmah), bukan akad atas barang tertentu (‘ayn).
Contoh tidak sah:
“Saya pesan satu karung kurma seperti karung ini” (sambil menunjuk karung yang ada di gudang).
Contoh sah:
“Saya pesan 50 kg kurma Sukari ukuran besar, kadar air rendah, kirim bulan depan,” tanpa menyangkutkan pada barang yang ada saat akad.
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 8: Larangan Jual Beli Daging dengan Hewan Hidup
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Yusril Mahendra