
Al-Bay’ adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu, sehingga mencakup juga sesuatu yang bukan harta seperti khamr
– KH. Ahmad Rifa’i
Dalam kajian fikih, para ulama kerap memulai pembahasan dengan mendefinisikan suatu istilah dari dua sisi: makna bahasa (lughatan) dan makna syariat (istilahan). Tujuannya agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami hukum suatu transaksi. Hal ini pula yang dilakukan oleh Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad dalam pembukaan kitabnya.
Dalil Diperbolehkannya Transaksi :¹
Sebelum mendalami definisi jual beli, perlu diketahui bahwa kebolehan transaksi dalam Islam bersumber dari dua dalil utama:
1. Al-Qur’an – Surah Al-Baqarah: 275
“وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا”
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
2. Hadis Nabi – Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
“إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ”
Artinya: Sesungguhnya jual beli itu terjadi karena saling ridha antara dua pihak.
Dari dua dalil ini, para ulama menyimpulkan bahwa hukum asal jual beli adalah mubah (boleh), selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat.
Makna Bahasa (Lughawi)
Dalam kutipan KH. Ahmad Rifa’i disebutkan bahwa jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu, tanpa memperhatikan status halal atau haramnya. Maka secara bahasa, pertukaran khamr dengan uang, atau bangkai dengan barang lain pun bisa disebut jual beli.
Namun dalam pandangan syariat, tidak semua pertukaran dianggap sah. Barang seperti khamr, bangkai, atau sesuatu yang najis tidak dianggap sebagai māl, yakni harta yang bernilai dan sah diperjualbelikan. Karena itu, transaksi seperti ini tidak dibolehkan secara syar’i.
Penjelasan Lafadz
1. Lafadz “Kitab” (الكتاب)
Kata kitāb berasal dari kata kerja kataba (menulis atau mengumpulkan). Dalam istilah ilmu, “kitab” merujuk pada kumpulan pembahasan hukum yang tersusun secara sistematis. Maka, “Kitab al-Bay’” tidak terbatas hanya pada jual beli, tetapi mencakup akad-akad muamalah lain seperti qiradh, salam, muzara’ah, dan mukhabarah.²
2. Lafadz “al-Bay’” (البيع)
KH. Ahmad Rifa’i memilih bentuk mufrad al-bay’ (jual), bukan bentuk jamak al-buyū’ (jual beli-jual beli) sebagaimana dalam kitab-kitab lain seperti Matan Abi Syuja’. Ini menunjukkan fokus beliau pada inti pengertian, bukan ragam bentuknya. Seperti halnya yang di sampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj At Thalibin Wa ‘Umdah Al Muftin yang juga dinukil oleh Imam Al Baijuri (guru KH. Ahmad Rifa’i).³
Beliau pun hanya menyebut “jual” tanpa menyebut “beli” (syrā’), karena dalam bahasa Arab, menyebut salah satu dari dua hal yang berkaitan sudah cukup mewakili keduanya.⁴ Seperti dalam hadis:
كلُّ الناسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُها أو مُوبِقُها
Artinya: Setiap orang pergi pagi, lalu menjual dirinya: ada yang membebaskan dan ada yang membinasakan.
Di sini, kata “penjual” juga mencakup makna “pembeli”.
Begitu pula dalam QS. Yusuf: 20:
وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ
Artinya: Dan mereka menjualnya dengan harga yang rendah.
Meskipun yang digunakan adalah lafadz “membeli”.
3. Tukar Menukar ( ايروف ايروفن )
Sebagian ulama menjelaskan bahwa transaksi yang sah menurut bahasa harus mengandung unsur pertukaran dari dua pihak. Karena itu, perbuatan seperti mengucapkan salam atau menjenguk orang sakit—meskipun terjadi dari dua arah—tidak termasuk transaksi dalam makna bahasa maupun syar’i karena tidak ada unsur pertukaran harta.⁵
Perbedaan Antara Bahasa dan Syariat
Secara bahasa, jual beli adalah pertukaran, terlepas dari nilai atau status barang. Tapi syariat datang memberi batasan: hanya barang yang halal, bersih, dan bermanfaat yang boleh diperjualbelikan. Dengan demikian, khamr, bangkai, dan sejenisnya tidak sah dijadikan objek jual beli.
Perbedaan ini menjadi penting agar transaksi dalam Islam tidak hanya sah secara bentuk, tapi juga bermakna secara spiritual dan etis.
Penutup
Syariat Islam hadir bukan hanya untuk mengatur teknis transaksi, tapi juga menjaga keberkahan, keadilan, dan kehormatan dalam bermuamalah. Maka, meskipun secara bahasa khamr bisa disebut bagian dari jual beli, secara syariat itu tetap haram dan tidak sah.
“Dalam Islam, nilai halal, keadilan, dan keberkahan adalah inti dari jual beli yang sah.”
Oleh karena itu, pemahaman terhadap makna istilah secara syar’i tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana dijelaskan oleh KH. Ahmad Rifa’i dalam kutipan di bawah ini :
Foot note:
1. Al Baijuri Juz 1 Hal 652
2. Al Baijuri Juz 1 Hal 48
3. Al Baijuri Juz 1 Hal 652
4. Taqrirat As Sadidah Juz 2 Hal 10
5. Taqrirat As Sadidah Juz 2 Hal 11
Naufal Al Nabai, alumni PP Tanbiihul Ghoofuliin Sambek Wonosobo
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Ahmad Zahid Ali