Makna jual beli yang lebih hakiki tidak berhenti pada sekadar pertukaran barang. Syariat Islam datang membawa batasan dan nilai, yang membedakan antara sekadar pertukaran dan jual beli yang sah menurut hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad dalam kutipan berikut:

“Adapun menurut syara’, maka definisi terbaik jual beli adalah: memberikan kepemilikan atas suatu barang yang bernilai harta dengan cara tukar-menukar berdasarkan izin syara’, atau memberikan kepemilikan manfaat yang dibolehkan secara syara’ untuk selama-lamanya dengan harga yang sah dan diketahui.”
Dalam hukum Islam, jual beli tidak hanya dipahami sebagai pertukaran barang semata. Syariat memberikan definisi yang lebih mendalam dan terikat dengan aturan moral serta hukum. Definisi tersebut menjadi salah satu yang paling lengkap dan teliti dalam menjelaskan esensi jual beli menurut perspektif syariat.
Jual beli dalam Islam bukan hanya aktivitas tukar-menukar, tetapi merupakan akad yang sah yang memuat perpindahan kepemilikan secara penuh atas barang, harta, atau manfaat yang halal ¹. Pemindahan itu harus dilakukan dengan imbalan yang sepadan (mu’āwadhah) dan atas dasar izin dari syariat.
Inilah tolak ukur yang membedakan antara jual beli yang mendatangkan keberkahan dengan sekadar pertukaran yang tertolak dalam pandangan agama. Sebab, tidak semua yang tampak seperti jual beli secara lahiriah dianggap sah secara syar’i jika tidak memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam hukum Islam.
Syarah Lafadz
- Pemindahan Hak Milik Secara Penuh ( امليكاكن عين ارتاني )
Dalam istilah syar’i, hal pertama yang harus ada dalam sebuah transaksi jual beli adalah pemindahan hak kepemilikan atas barang yang bernilai secara hukum Islam. Pemindahan ini harus dilakukan secara penuh, baik dari penjual kepada pembeli maupun sebaliknya. Inilah fondasi terbentuknya akad jual beli yang sah, bebas dari unsur riba, gharar (ketidakjelasan), dan potensi kerugian sepihak. - Prinsip Tukar Menukar ( كع لرونالدو لنرونن اناني كاروني )
Selain pemindahan hak, inti dari transaksi syar’i adalah pertukaran. Yakni, adanya barang yang dijual dan imbalan (biasanya berupa uang) yang diberikan sebagai gantinya. Di sinilah letak kepercayaan antara kedua belah pihak. Ini juga yang membedakan jual beli dari akad-akad lain seperti hibah dan wakaf, yang tidak berbasis pada imbalan. - Transaksi yang Sesuai dengan Aturan Syariat ( كلون اذني باس شرع كونعني )
Jual beli yang dibenarkan syariat adalah yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Maka, apabila dalam transaksi tersebut terdapat unsur riba², gharar³, atau komoditas haram (seperti khamr, bangkai, atau barang najis), maka akad tersebut tidak sah. Karena tidak semua yang logis menurut akal atau diterima dalam kebiasaan, otomatis dianggap sah secara syar’i. - Jual Beli Manfaat yang Mubah Secara Permanen ( اميلكاكن منفعة حلال كونعن نع حكم شرع اتس سلوسي بنجورن )
Jual beli dalam Islam tidak hanya terbatas pada barang berwujud, tetapi juga bisa mencakup manfaat yang mubah secara syar’i dan bersifat permanen (bukan sementara seperti dalam sewa). Contohnya adalah menjual hak tinggal di suatu tempat, atau hak melintas di lahan tertentu secara tetap. Namun, manfaat yang diharamkan—seperti penggunaan alat musik dalam konteks maksiat—tidak boleh dijadikan objek jual beli⁴. - Harga yang Sah dan Disepakati ( دلروني كلون رركان ارت ولعن )
Unsur terakhir dalam jual beli syar’i adalah adanya harga yang jelas dan disepakati oleh kedua pihak. Ini untuk membedakan jual beli dari akad lain seperti hibah atau pemberian⁵. Karena jual beli bersifat mu’āwadhah (tukar-menukar yang bersifat tetap), maka tidak boleh dilakukan dengan maksud ibadah (seperti dalam sedekah), dan harus ada nilai tukar yang nyata⁶.
Jual Beli Tak Sekadar Bertukar, Tapi Bertanggung Jawab
Dari uraian di atas, kita pahami bahwa jual beli dalam Islam bukan sekadar tukar barang dan uang, melainkan perpindahan hak milik yang sah dan diberkahi, dengan syarat mendapat izin syariat. Ada nilai, ada keadilan, dan ada tanggung jawab di baliknya.
Namun, di balik konsep umum itu, ternyata jual beli memiliki banyak ragam dan ketentuan teknis yang tak kalah penting. Pertanyaannya: apakah semua jual beli itu sah? Apakah cukup hanya dengan sepakat dan saling ridha?
Temukan jawabannya dalam pembahasan selanjutnya:
“Jenis-Jenis Jual Beli dalam Islam: Mana yang Sah, Mana yang Tertolak?”
Kita juga akan mengurai satu per satu rukun dan syarat jual beli agar transaksi kita tak hanya menguntungkan, tapi juga berpahala.
Foot note:
1. I’anah At Tholibiin Jus 3 Hal 2
2. Kitab Nihayatuzzain Hal 226
( و ) الربا حرام اتفاقا وهو إما ربا فضل بأن يزيد أحد العوضين ومنه ربا القرض بأن يشترط فيه ما فيه نفع للمقرض غير الرهن والكفالة والشهادة وإنما جعل ربا القرض من ربا الفضل مع أنه ليس من هذا الباب لأنه لما شرط نفعا للمقرض كان بمنزلة أنه باع ما أقرضه بما يزيد عليه من جنسه فهو منه حكما ومن شرط النفع ما لو أقرضه بمصر وأذن له في دفعه لوكيله بمكة مثلا وإما ربا يد بأن يفارق أحدهما مجلس العقد قبل التقابض وإما ربا نساء بأن يشرط أجل في أحد العوضين وكلها مجمع على بطلانها
3. Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab Lin-Nawawy :
باب ما نهى عنه من بيع الغرر وغيره قال المصنف رحمه الله تعالى: ولا يجوز بيع المعدوم كالثمرة التي لم تخلق لما روى أبو هريرة رضي الله عنه «أن النبي صلى الله عليه وسلّم نهى عن بيع الغرر» والغرر ما انطوى عنه أمره، وخفي عليه عاقبته، ولهذا قالت عائشة رضي الله عنها في وصف أبي بكر رضي الله عنه «فرد نشر الإسلام على غره» أي على طيه والمعدوم قد انطوى عنه امرن، وخفى عليه عاقبته، فلم يجز بيعه، وروى جابر رضي الله عنه «أن النبي صلى الله عليه وسلّم نهى عن المعاومة ـ وفي بعضها ـ عن بيع السنين».
4. I’anah At Tholibiin Jus 3 Hal 2
5. Al Bajuri Juz 1 Hal 654
6. Al Bajuri Juz 1 Hal 654
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj: Makna Jual Beli, Jangan Hanya Lihat dari Bahasa
Naufal Al Nabai, alumni PP Tanbiihul Ghoofiliin Sambek Wonosobo
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Ahmad Zahid Ali