Rifaiyah.or.id – Sehari setelah 12 Rabiul Awal, umat Islam masih merasakan hangatnya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Kelahiran beliau bukanlah peristiwa biasa. Ia adalah anugerah terbesar bagi alam semesta, yang ditandai dengan berbagai peristiwa besar. Salah satunya adalah hancurnya pasukan gajah Abrahah yang hendak merobohkan Ka’bah—peristiwa yang diabadikan dalam surah Al-Fîl.
Namun, di balik peristiwa itu ada sebuah dialog singkat tapi sarat makna: percakapan antara Abdul Muthallib, kakek Nabi SAW, dengan Abrahah, sang pemimpin pasukan. Dari percakapan itu, kita belajar tentang tauhid, tawakal, dan keyakinan mutlak bahwa Allah adalah penjaga rumah-Nya.
Abrahah dan Ambisinya
Abrahah adalah gubernur Yaman di bawah kekuasaan Habasyah (Ethiopia). Ia membangun gereja megah bernama al-Qullais di San’a, berharap orang Arab berpaling dari Ka’bah. Tapi harapannya gagal. Ka’bah tetap menjadi pusat ziarah dan penghormatan.
Dendam, Abrahah lalu memimpin pasukan besar dengan gajah perang untuk menghancurkan Ka’bah. Inilah peristiwa yang Allah abadikan dalam firman-Nya:
“Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Tuhanmu bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia menjadikan tipu daya mereka sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat.” (QS. Al-Fîl: 1–5).
Abdul Muthallib Menghadap Abrahah
Sebelum penyerangan, pasukan Abrahah merampas harta orang Quraisy, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthallib. Abdul Muthallib pun menghadap Abrahah untuk meminta kembali untanya.
Terjadilah percakapan yang terkenal itu:
-
Abrahah berkata:
“Aku kira engkau akan memintaku untuk tidak merobohkan rumah (Ka’bah) yang menjadi agamamu dan nenek moyangmu. Mengapa engkau malah hanya meminta unta-untamu?” -
Abdul Muthallib menjawab dengan tenang:
“Aku adalah pemilik unta itu, maka aku membelanya. Sedangkan rumah (Ka’bah) itu ada Pemiliknya, Dia-lah yang akan menjaganya.”
Jawaban ini membuat Abrahah terkejut. Tetapi Abdul Muthallib ingin menegaskan: Ka’bah adalah milik Allah, dan Allah sendiri yang akan menjaganya.
Allah Menurunkan Pertolongan
Abrahah tetap melanjutkan niatnya, tapi Allah menurunkan pertolongan. Burung-burung abâbil datang membawa batu sijjîl, menghancurkan pasukan Abrahah hingga binasa. Ka’bah tetap tegak berdiri, dan tahun itu dikenang sebagai ‘Âmul Fîl (Tahun Gajah)—tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Hikmah dari Percakapan Abdul Muthallib
Dari dialog ini, kita bisa mengambil beberapa hikmah besar:
-
Tauhid dan Tawakal
Abdul Muthallib yakin bahwa Ka’bah bukan miliknya, tapi milik Allah, dan Allah sendiri yang akan menjaganya. -
Prioritas dalam Amanah
Tugas manusia adalah menjaga apa yang menjadi tanggung jawabnya (unta). Selebihnya diserahkan kepada Allah. -
Kemenangan Iman atas Kesombongan
Pasukan besar dengan gajah perang hancur oleh burung kecil dengan batu. Tanda kuasa Allah atas kesombongan manusia.
Relevansi Pasca-Maulid
Momentum sehari setelah Maulid Nabi ini memberi pesan: peringatan Maulid tidak boleh berhenti pada perayaan 12 Rabiul Awal saja. Justru setelah itu, kita perlu terus menghidupkan semangat tauhid dan tawakal yang diwariskan.
Kisah Abdul Muthallib dan Abrahah menjadi pengingat:
-
Bahwa segala urusan besar sejatinya di tangan Allah.
-
Bahwa umat Islam harus meneguhkan iman dan tawakal, sambil tetap menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
-
Bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW sendiri sudah dijaga Allah dengan peristiwa besar ini.
Penutup
Percakapan Abdul Muthallib dengan Abrahah adalah warisan hikmah yang abadi. Pada bulan Rabiul Awal, mari kita jadikan kisah ini sebagai renungan: bahwa Allah selalu menjaga rumah-Nya, agama-Nya, dan Rasul-Nya. Tugas kita adalah menjaga iman, menunaikan amanah, dan meneladani Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali