Nahdlatul Ulama (NU) dan Rifa’iyah merupakan dua organisasi Islam di Indonesia yang memiliki akar sejarah serta perjuangan dakwah di tengah masyarakat Nusantara. Meski lahir dari konteks dan latar belakang yang berbeda, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menegakkan ajaran Islam sesuai Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas, serta memperjuangkan kemaslahatan umat.
Sejarah Nahdlatul Ulama (NU)
NU didirikan pada tahun 1926 di Surabaya oleh KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama pesantren sebagai respons terhadap tantangan kolonialisme dan modernisasi pemikiran Islam. NU dikenal sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang mengedepankan:
- Tradisi keilmuan pesantren,
- Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja),
- Mazhab fikih Syafi’i.
Sejarah Rifa’iyah
Rifa’iyah berakar dari perjuangan KH. Ahmad Rifa’i (1785–1870) yang menentang penjajahan Belanda. Beliau menulis tidak kurang dari 65 kitab beraksara pegon dalam bentuk syair sebagai pedoman umat untuk memahami agama secara mendalam dan menolak kezaliman. Gerakan Rifa’iyah lahir dengan ciri khas:
- Penyebaran manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah,
- Pendidikan berbasis kitab karya KH. Ahmad Rifa’i,
- Semangat perlawanan terhadap penjajahan dan pembinaan umat.
Perbedaan NU dan Rifa’iyah
- NU berkembang sebagai organisasi kemasyarakatan berskala nasional dengan struktur luas, meliputi bidang pendidikan, dakwah, sosial, hingga politik kebangsaan.
- Rifa’iyah lebih fokus pada penguatan jamaah dan kaderisasi melalui kajian kitab-kitab KH. Ahmad Rifa’i, dengan komunitas yang lebih homogen dan erat.
- Dalam manhaj, keduanya sama-sama bermazhab Syafi’i, tetapi Rifa’iyah menekankan ajaran KH. Ahmad Rifa’i sebagai sumber pembinaan utama.
Persamaan NU dan Rifa’iyah
Baik NU maupun Rifa’iyah memiliki banyak titik persamaan, di antaranya:
- Mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah wal Maturidiyah,
- Memegang teguh tradisi pesantren,
- Menjunjung nilai-nilai keislaman yang moderat,
- Menyebarkan dakwah yang membumi dan dekat dengan masyarakat,
- Berkontribusi besar dalam perlawanan terhadap penjajah dan pembangunan bangsa.
Hubungan NU dan Rifa’iyah
Kedekatan historis dan kultural terlihat dari adanya interaksi antara ulama Rifa’iyah dengan pesantren NU. Misalnya, KH. Hasyim Asy’ari pernah berguru kepada KH. Sholeh Darat. Sementara itu, KH. Sholeh Darat belajar kepada KH. Muhammad Tubo Purwosari Kendal, yang merupakan santri KH. Ahmad Rifa’i. Hubungan keilmuan ini memperkuat jaringan silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah.
Di berbagai daerah, jamaah NU dan Rifa’iyah sering bersinergi dalam kegiatan dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Hal ini membuktikan bahwa perbedaan tidak menjadi penghalang, melainkan memperindah persatuan umat.
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra