Murid
Di beberapa tempat dalam karyanya, KH. Ahmad Rifa’i membahasakan anak didik sebagai murid dan santri. Kalau kita lihat asal-usulnya, murid berasal dari kata dasar (fi’il māḍī) أَرَادَ (arāda) yang berarti “kehendak” (wus ngarepake). Artinya, murid bisa dimaknai sebagai orang yang berkehendak terhadap ilmu. Sedangkan santri, ada yang melihatnya dari bahasa Sanskerta yang berasal dari kata sastri, sastra, yang berarti kitab suci. Jadi, santri adalah orang yang mempelajari kitab suci. Juga ada yang melihat santri sebagai adaptasi dari kata cantrik. Para penempa ilmu di kawah candradimuka, di padepokan-padepokan, sering diidentifikasi sebagai cantrik.
Kalau hendak kita kaitkan dengan keadaan KH. Ahmad Rifa’i pada waktu itu, sangat sinkron apabila santri berasal dari kata sastra. KH. Ahmad Rifa’i sendiri merupakan tokoh pelaku sastra. Bahasa kitabnya kebanyakan berupa syair. Ia tidak hanya menyampaikan pesan-pesan Tuhan, Nabi, dan beberapa salafus shāliḥ, tetapi menyampaikannya dengan keindahan berbahasa.
Hingga keindahan syairnya berbuntut kepada keindahan berikutnya saat dilantunkan dengan harmoninya nada, menjadi tembang oleh anak-anak murid-nya hingga sekarang. Akan berlanjut pada keindahan yang lebih lagi saat dendangan tembang itu diiringi musik. Pada umumnya, di masyarakat Rifa’iyah, mengiringinya dengan alat musik pukul. Karena alat musik gesek dan petik hampir semuanya diharamkan oleh kebanyakan masyarakat Rifa’iyah.
Bagaimana KH. Ahmad Rifa’i mensyaratkan kepada santri ketika ia menuntut ilmu? Mari kita simak kutipan dari Kitab Bayān (I:3):
Syarate kang diuru’ manusa kinaweruhan
Islam tuwin kafir baligh kenyataan
Utawi rare akil tuwin ilang kenadzaran
Karana tinemu wong majnun tinuturan
Kenyataan syarat orang yang diajar adalah manusia,
Islam maupun kafir, balig kenyataan,
Balita, berakal atau hilang penalaran,
Karena kedapatan orang gila diberitahu.
Melihat bait syair di atas, saya yakin bahwa setiap kalimatnya KH. Ahmad Rifa’i tulis atas bimbingan Allah, karena goresan kata dan ilmunya terasa faktual dan aktual. Saya jadi teringat apa yang dikatakan guru saya, Mas Sabrang, bahwa kebenaran yang dituliskan manusia itu diuji oleh rentang waktu. Artinya, kalau masih sesuai dengan zaman yang panjang, berarti ia bisa kita rasakan sebagai ilmu yang mendekati kebenaran Tuhan sebagai kebenaran sejati.
Saya melihat secara faktual bahwa murid itu tidak dibatasi hanya orang Islam, bahkan non-Islam pun bisa menjadi murid. Nilai pendidikan Islam ala KH. Ahmad Rifa’i begitu inklusif dengan menerima peserta didik beda agama. Bahkan pendidikan tidak hanya untuk orang berakal. Majnūn (gila), autis, ilang kenadzaran (hilang penalaran) dipersilakan untuk menjadi murid, tetap diperlakukan sama sebagai manusia pencari ilmu.
Bagaimana Anda melihatnya dengan prinsip ini? Bukankah dalam pengembangan pendidikan sekarang, kita mengenal pendidikan inklusi? Lembaga pendidikan yang siap menampung murid-murid disabilitas, atau dalam bahasa kasarnya mereka yang “tidak normal”, misalnya autis, dan lain-lain.
Baca sebelumnya: Percikan Ilmu Pendidikan KH. Ahmad Rifa’i (3)
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra