Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Cerpen

Mbah Kaprawi, Obor dari Kalipucang yang Menyalakan Cahaya Rifa’iyah di Sapugarut

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
May 7, 2025
in Cerpen, Tokoh
0
Mbah Kaprawi, Obor dari Kalipucang yang Menyalakan Cahaya Rifa’iyah di Sapugarut

Foto: Ahmad Saifullah

0
SHARES
96
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Matahari pagi menyibak kabut tipis di desa Sapugarut. Udara masih sejuk saat dua bocah lelaki, Hairuddin dan Abdul Majid, berlarian kecil menyusuri jalanan tanah menuju musala al-Mubarokah. Di tangan Hairuddin membawa al-Qur’an dan kitab Tarajumah yang sudah mulai usang, warisan dari para leluhurnya. Memang rata-rata keawetan kitab Tarajumah bisa sampai tiga generasi. Karena selain penjilidannya dijahit, sampulnya juga dilapisi kain.

“Ayo cepetan, Majid!” seru Hairuddin.

“Tenang aja, kita pasti ketemu Mbah Kaprawi duluan sebelum teman-teman datang!” jawab Abdul Majid sambil tertawa. Pada zaman sebelum tahun 2000, ngaji di urutan pertama merupakan suatu kebanggaan tersendiri, apalagi muallimnya merupakan kakeknya sendiri. “Cucu-cucuku harus bisa jadi teladan bagi teman-temannya,” demikian anjuran dari Mbah Kaprawi.

Sesampainya di musala, mereka mendapati sosok sepuh bersarung batik dengan serban putih dililitkan di leher. Dialah Mbah Kaprawi, yang kini rambut dan janggutnya memutih, namun tatapannya tetap tajam dan lembut.

“Assalamu’alaikum, Mbah!” keduanya berseru kompak.

“Wa’alaikumussalam, cucu-cucuku. Kalian datang tepat waktu,” jawab Mbah Kaprawi, senyumnya menenangkan. “Mari, kita mulai ngaji kitab Tarajumah.”

Setelah mengaji, Abdul Majid memberanikan diri bertanya, “Mbah… dulu Mbah belajar dari siapa sih? Kenapa Mbah bisa tahu banyak tentang ajaran Kyai Rifa’i?”

Mbah Kaprawi tersenyum. Pandangannya menatap jauh, seolah melihat kembali masa mudanya di Kalipucang, Batang.

“Dulu, Mbah ini murid dari santri-santri Kyai Ahmad Rifa’i. Kami belajar bukan hanya ilmu, tapi juga keberanian dan keikhlasan. Waktu itu, penjajahan masih menyelimuti negeri. Tapi ajaran Kyai Rifa’i menyalakan cahaya—bahwa ilmu harus diamalkan, dan kezaliman tak boleh dibiarkan.”

“Lalu kenapa Mbah pindah ke Sapugarut?” tanya Hairuddin.

“Itu dorongan hati. Daerah ini belum banyak mengenal ajaran Rifa’iyah. Jadi Mbah hijrah. Dari satu rumah ke rumah lain, dari surau ke surau. Sampai akhirnya berdirilah Masjid Zuhud dan Musala al-Mubarokah ini. Semua bukan karena Mbah hebat, tapi karena Allah izinkan.”

Tak jauh dari situ, Bapak Hasbullah—tokoh masyarakat Sapugarut dan anak dari Mbah Kaprawi—datang menghampiri.

“Mbah, cucu-cucu ini kayaknya haus kisah perjuangan sampean,” ucapnya sambil tersenyum.

Mbah Kaprawi tertawa kecil. “Ya, memang sudah waktunya cerita ini diwariskan. Bukan untuk membanggakan diri, tapi agar mereka tahu: bahwa setiap langkah ke masjid ini dulu harus melewati tantangan. Dituduh sesat, ditertawakan, bahkan ada yang menyita kitab-kitab Rifa’iyah kami.”

“Terus Mbah nyerah?” Abdul Majid menatap serius.

“Tidak, Nak. Justru di situ letak keberanian. Kyai Rifa’i mengajarkan: ‘Melawan dengan ilmu, sabar dengan istiqamah.’ Maka Mbah ajak warga dengan contoh. Mengaji, syarat-syaratan, salat berjamaah, menolong tetangga, dan menanamkan akhlak yang baik. Pelan-pelan, Sapugarut jadi bersinar.”

Hairuddin memeluk Mbah Kaprawi, “Mbah, aku ingin jadi penerus Mbah.”

Mbah Kaprawi mengelus kepala cucunya, “Kalau begitu, jaga niatmu. Belajar yang rajin. Karena kelak, saat Mbah sudah tiada, Rifa’iyah di Sapugarut harus terus tetap bersinar.”

Langit mulai mendung, di hati Hairuddin dan Abdul Majid, cahaya mulai menyala. Mereka tahu, jejak Mbah Kaprawi bukan sekadar kisah lama, tapi titipan perjuangan yang harus mereka lanjutkan—dengan ilmu, cinta, dan kesungguhan.

Dua tahun telah berlalu sejak percakapan hangat antara Mbah Kaprawi dan kedua cucunya di Musala al-Mubarokah. Kini, Abdul Majid dan Hairuddin bukan lagi anak-anak lugu yang hanya mengaji dan bermain. Mereka tumbuh menjadi pemuda yang mulai dipercaya warga untuk mengajar anak-anak kecil mengaji, bahkan kadang diminta jadi imam salat di musala.

Suatu sore, selepas ashar, Bapak Hasbullah memanggil mereka berdua.

“Majid, Hairuddin, kalian tahu perjuangan Mbah kalian bukan hanya membangun masjid dan musala. Tapi juga menyatukan hati masyarakat. Sekarang, amanah itu jatuh ke tangan kalian.”

Hairuddin menunduk, “Tapi Pak, kami ini belum banyak ilmunya…”

Bapak Hasbullah tersenyum, “Ilmu bisa terus kau cari. Tapi keikhlasan dan keberanian itu yang lebih mahal. Seperti kata Mbah Kaprawi dulu, Jadilah obor, meski kecil, asal menerangi yang lain.”

Malam itu, Hairuddin dan Abdul Majid berdiskusi di beranda musala. Mereka bertekad membuat halaqah remaja dan pemuda, tempat belajar dan diskusi keislaman ala Rifa’iyah, dikemas dengan cara yang bisa diterima generasi muda.

Bermula dari lima orang, lalu bertambah menjadi sepuluh, dua puluh, hingga musala tak lagi cukup menampung.

“Majid,” kata Hairuddin suatu malam, “Kita harus jaga ini. Jangan sampai cuma ramai di awal lalu hilang.”

Majid mengangguk. “Kita harus terus belajar. Bukan cuma ngajari, tapi juga nyambung ke sanad keilmuan Mbah Kaprawi. Kita harus tahu siapa gurunya, siapa nasabnya, agar kuat akarnya.”

Hairuddin tersenyum. “Kita mulai lacak sejarahnya. Kita tanya keluarga, cari tulisan, bahkan datang ke Kalipucang kalau perlu.”

Dan begitulah, dua cucu Mbah Kaprawi tak hanya meneruskan perjuangan fisik dan pengajaran, tapi juga menjadi penjaga warisan—menghubungkan masa lalu dengan masa depan.

Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Abdul Majid dan Hairuddin menaiki sepeda kayuh tua milik ayah Hairuddin. Tujuan mereka jelas: Kalipucang, Batang—kampung asal Mbah Kaprawi. Di saku Majid, terselip surat dari Bapak Hasbullah berisi nama-nama orang tua yang mungkin mengenal atau masih menyimpan cerita tentang mujahid Rifa’iyah itu.

Perjalanan memakan waktu hampir satu jam. Jalanan berkelok dan pepohonan rindang menghiasi sepanjang perjalanan, dengan sawah-sawah menghampar di sisi. Setibanya di Kalipucang, mereka disambut bau tanah basah dan sejuknya semilir angin persawahan. Mereka langsung menuju Langgar Kuno di tengah kampung, tempat yang konon pernah menjadi tempat Mbah Kaprawi muda mengaji.

Di sana, mereka bertemu Kyai Syamsuri, seorang sepuh berumur lebih dari 80 tahun, yang pernah menjadi teman akrab Simbah Kaprawi di era 1900-an.

“Mbah Kaprawi?” gumam Kyai Syamsuri sambil mengelus janggutnya. “Beliau itu mutiara. Dari muda sudah beda, semangatnya besar. Dulu, beliau belajar pada Kyai Imam Basyari anak Kyai Abu Ilham, yang masih berguru ke murid Kyai Ahmad Rifa’i langsung.”

Mata Majid membelalak. “Berarti sanad keilmuannya tersambung langsung?”

“Betul,” ujar Kyai Syamsuri. “Dan yang paling kuat dari beliau adalah semangat hijrahnya. Banyak yang nyaman di kampung sendiri, tapi Mbah Kaprawi memilih pergi ke Sapugarut demi menyebar ilmu. Itu bukan hal kecil.”

Hairuddin mengeluarkan buku catatan. Ia mencatat silsilah ilmu yang disebutkan Kyai Syamsuri:

Kyai Ahmad Rifa’i → Kyai Abu Ilham → Kyai Imam Basyari→ Mbah Kaprawi → Bapak Hasbullah → Hairuddin dan Majid.

“Ini… bukan sekadar jalur nama,” gumam Hairuddin, “tapi jalur amanah.”

Kyai Syamsuri kemudian membawa mereka ke rumah tua di tepi sawah. Di sana, tersimpan mushaf tua dan kitab Tarajumah tulisan tangan Mbah Kaprawi. Sampulnya sudah lusuh, tapi tinta-tintanya masih tegas. Di halaman sebelum halaman miwiti hamba tertulis:

“Ilmu bukan untuk tinggi derajat, tapi agar hati tunduk dan umat selamat.”

Majid memeluk kitab itu, matanya berkaca-kaca. “Kita bawa pulang ini?”

“Tidak,” jawab Kyai Syamsuri. “Tapi kalian boleh salin isinya. Amanah itu tidak harus dimiliki, tapi diwariskan.”

Mereka bermalam di Kalipucang. Saat malam larut, di bawah langit bertabur bintang, Hairuddin berkata pelan, “Majid… kita nggak sedang menulis sejarah. Kita sedang menghidupkan kembali keteladanannya.”

Majid menatap langit. “Dan selama cahaya keteladanan itu menyala, Mbah Kaprawi belum benar-benar pergi.”

Pagi di Sapugarut disambut dengan suara burung dan semilir angin dari arah barat. Di beranda Musala al-Mubarokah, Hairuddin dan Abdul Majid duduk bersila. Di hadapan mereka, kertas-kertas salinan kitab tua dari Kalipucang tertata rapi, sebagian ditulis tangan dengan pena yang penuh kehati-hatian.

“Majid,” ujar Hairuddin sambil menunjuk sebuah kalimat di halaman pertama, “ini bagian penting: ‘Ngilmu ora kanggo pamer, nanging kanggo tumindak lan nyelametake dunia akherat manungsa.’”

(Ilmu bukan untuk pamer, tapi untuk bertindak dan menyelamatkan sesama.)

Majid mengangguk. “Kalimat itu yang harus kita hidupkan. Bukan cuma dibaca, tapi diterapkan.”

Mereka sepakat untuk membuat program baru: Ngaji Kitab Tarajumah, sebuah pengajian rutin setiap malam Jumat, yang mengkaji isi kitab tulisan tangan Mbah Kaprawi dalam bahasa yang mudah dicerna generasi muda. Tidak hanya di musala, tapi disiarkan juga lewat pengeras suara.

Awalnya hanya belasan orang datang. Tapi minggu demi minggu, jamaahnya membengkak. Anak-anak muda yang tadinya hanya sibuk dengan tontonan, kini datang membawa kitab dan catatan dan bertanya dengan antusias.

“Mas Majid,” tanya salah satu remaja, “Kenapa Mbah Kaprawi bisa segigih itu berjuang padahal beliau cuma seorang santri dari desa?”

Majid menjawab, “Karena beliau tahu, yang kecil pun kalau membawa cahaya, bisa menerangi yang besar. Dan yang penting bukan siapa kita, tapi siapa yang kita perjuangkan.”

Hairuddin menambahkan, “Mbah Kaprawi itu langitnya luas, karena hatinya lapang. Beliau tidak hanya membangun masjid, tapi membangun harapan.”

Malam itu, setelah pengajian selesai, seorang ibu paruh baya datang membawa anaknya.

“Mas, saya ingin anak saya belajar langsung sama sampean. Dia sering dengar cerita Mbah Kaprawi dan jadi semangat ngaji.”

Hairuddin terdiam sejenak. Lalu menatap Majid. Mereka tahu, cahaya yang dulu dinyalakan di Kalipucang, kini sudah menyala di hati banyak orang di Sapugarut.

Dan mereka sadar: kitab yang terbuka itu bukan sekadar kumpulan tulisan—melainkan jendela yang menghubungkan langit perjuangan para ulama dengan bumi kehidupan hari ini.

Ahmad Saifullah, jurnalis frrelance


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali

Tags: KalipucangKeteladananKitab TarajumahKyai Ahmad Rifa’iMbah KaprawiRifaiyahSantri PejuangSapugarutTarajumahtokoh Rifa'iyah
Previous Post

Politik Rifa’iyah 1

Next Post

Khutbah Jumat: Prioritas Kebaikan, Kejahilan Popularitas

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
Khutbah Jumat: Prioritas Kebaikan, Kejahilan Popularitas

Khutbah Jumat: Prioritas Kebaikan, Kejahilan Popularitas

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id