Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Rekonsiliasi Umat Islam: Pelajaran dari Sejarah

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
July 28, 2025
in Kolom
0
Rekonsiliasi Umat Islam: Pelajaran dari Sejarah
0
SHARES
57
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Peristiwa bentrok antara kelompok masyarakat di Petarukan, Pemalang, menjadi pengingat menyedihkan betapa rapuhnya persaudaraan (ukhuwah) di antara umat Islam. Insiden ini—terlepas dari siapa yang benar atau salah—mencerminkan masalah yang lebih besar dan lebih lama: api perpecahan yang terus-menerus dinyalakan, sering kali oleh kita sendiri. Untuk memahami dan menyembuhkan luka ini, kita perlu menengok kembali akar sejarah konflik internal umat Islam, bukan untuk membuka kembali luka lama, melainkan untuk memetik pelajaran demi masa depan yang lebih damai.

Akar Sejarah: Dari Kesalahpahaman hingga Dendam yang Dilestarikan

Sejarah mencatat bahwa konflik internal di tubuh umat Islam bukanlah hal baru. Perang saudara pertama, yang dikenal sebagai Perang Jamal (36 H), melibatkan pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib melawan sahabat-sahabat terkemuka seperti Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Ummul Mukminin Aisyah RA. Konflik ini, menurut catatan sejarah, berawal dari kesalahpahaman yang diperkeruh oleh para provokator. Namun, pelajaran terpenting dari peristiwa ini adalah sikap mulia Sayyidina Ali. Ketika ditanya apakah lawannya adalah orang munafik atau musyrik, Ali menjawab tegas: “Mereka adalah saudara-saudaraku yang sedang diuji” (innahum ikhwani baghau ‘alayya). Setelah perang usai, Ali memperlakukan Siti Aisyah dengan penuh hormat dan meyakinkan putra Thalhah bahwa ia dan ayahnya akan bertemu di surga, seraya membacakan ayat Al-Qur’an tentang dihilangkannya rasa benci dari hati para penghuni surga:

وَنَزَعْنَا مَا فِى صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ تَجْرِى مِن تَحْتِهِمُ ٱلْأَنْهَٰرُ ۖ وَقَالُوا۟ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى هَدَىٰنَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِىَ لَوْلَآ أَنْ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ ۖ لَقَدْ جَآءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِٱلْحَقِّ ۖ وَنُودُوٓا۟ أَن تِلْكُمُ ٱلْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka, di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukan kami. Sesungguhnya Rasul-rasul Tuhan kami telah datang membawa kebenaran.” Diserukan kepada mereka, “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, karena apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-A‘rāf: 43).

Sikap Ali mengajarkan bahwa bahkan setelah konflik paling tajam sekalipun, pintu rekonsiliasi dan pengakuan persaudaraan tidak boleh tertutup. Pertanyaannya: mengapa pelajaran ini sering kita lupakan?

Konflik yang lebih besar dan meninggalkan luka lebih dalam adalah Perang Siffin (37 H) antara pasukan Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Meskipun diakhiri dengan perdamaian, perang ini melahirkan kelompok ekstrem yang menolak jalan damai dan akhirnya membunuh Sayyidina Ali. Tragedi ini berlanjut dalam peristiwa Karbala (61 H), ketika cucu Nabi, Al-Husain bin Ali, terbunuh secara kejam. Inilah peristiwa yang menanamkan luka dan dendam sangat dalam di antara kedua belah pihak.

Titik Balik: Kebijaksanaan Umar bin Abdul Aziz vs. Politik Yazid

Dendam sejarah ini mencapai puncaknya pada masa kekuasaan Yazid bin Muawiyah, yang mewajibkan para khatib Jumat mencaci maki Ali bin Abi Thalib dalam khutbah mereka. Ini adalah contoh nyata bagaimana kebencian dapat diinstitusionalisasi dan dipelihara secara sistematis. Yazid memilih memperuncing konflik dan menambah luka.

Namun, secercah harapan muncul pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika ditanya pendapatnya tentang perang saudara masa lalu, ia menjawab bijak, “Itu adalah pertumpahan darah yang Allah telah menyelamatkanku darinya. Maka aku tidak akan mengotori mulutku dengan membicarakannya.” Beliau memilih untuk tidak menambah luka dan melakukan langkah revolusioner: menghapus tradisi mencaci Ali dan menggantinya dengan pembacaan ayat Al-Qur’an yang menyerukan keadilan, kebaikan, dan persaudaraan—yang hingga kini masih dibaca para khatib: Innallāha ya’muru bil-‘adli wal-iḥsān…

Sejarah memberi kita dua pilihan model: menjadi seperti Yazid yang melestarikan dendam, atau seperti Umar bin Abdul Aziz yang memupus dendam dan menyerukan persatuan.

Waspada ‘Ashabiyyah Ultra-Modern

‘Ashabiyyah adalah fanatisme buta terhadap kelompok sendiri—baik suku, golongan, organisasi, maupun mazhab—dengan merendahkan kelompok lain. Jika dahulu ‘ashabiyyah bersifat kesukuan, kini ia berevolusi menjadi ‘ashabiyyah ultra-modern. Orang bisa menjadi fanatik terhadap organisasinya, tarekatnya, atau bahkan ustaznya, kiainya, dan habibnya, hingga menganggap siapa pun di luar kelompoknya sebagai musuh atau, minimal, pihak yang salah. Siapa pun yang mengkritik tokoh idolanya dianggap musuh yang pasti salah.

Ini bertentangan dengan prinsip Ahlussunnah, khususnya Rifa’iyah, yang meyakini bahwa yang dijaga dari kesalahan (ma‘shum) hanyalah Nabi Muhammad SAW. Maka, selain Nabi, manusia bisa salah dan bisa benar. Naif jika fatwa manusia biasa dibela secara membabi buta. Dalam ajaran Rifa’iyah juga tidak diperkenankan taqlid penggawe, tetapi dianjurkan taqlid ilmiyah. Taqlid penggawe menyorong manusia layaknya sapi yang dicocok hidungnya, sedangkan taqlid ilmiyah menyaring kemurnian ilmu, niat, dan maksud sang panutan.

Kita patut bertanya: apakah peristiwa di Pemalang cerminan dari ‘ashabiyyah? Ketika ego kelompok dikedepankan daripada persaudaraan Islam yang universal, bentrokan fisik menjadi tak terhindarkan. Media sosial turut memperparah keadaan: caci maki dan tuduhan dilontarkan dengan mudah, bahkan oleh para tokoh panutan, tanpa pemahaman mendalam.

Jalan Rekonsiliasi: Menjadi Habil, Bukan Qabil

Bagaimana keluar dari siklus ini? Ulama kontemporer Syekh Muhammad Said Ramadan al-Buti memberi teladan kuat. Di tengah konflik sektarian Suriah, beliau menolak dibenturkan dengan saudara-saudaranya kaum Syiah, meski beliau seorang Sunni. Beliau mengambil pelajaran dari kisah putra Nabi Adam dengan berkata, “Jadilah Habil (yang terbunuh), jangan jadi Qabil (yang membunuh).” Ini adalah seruan untuk memilih jalan damai dan menahan diri, bahkan ketika diprovokasi.

Lebih jauh, teladan Rasulullah SAW adalah panduan utama. Ketika seorang sahabat mengaku shalat Subuh dalam keadaan junub karena hanya bertayamum akibat cuaca sangat dingin, Nabi tidak menghardiknya, melainkan tertawa. Ini menunjukkan kelapangan dan pemahaman beliau terhadap kondisi umatnya. Nabi selalu membuka pintu harapan, bukan keputusasaan.

Maka, jalan ke depan bagi kita adalah:

  1. Memprioritaskan persaudaraan: Menginternalisasi bahwa setiap muslim adalah saudara. Nabi mengajarkan, “Siapa yang mengucapkan Lā ilāha illallāh, maka jiwa dan hartanya menjadi tanggunganku.” Ini merupakan ikatan fundamental yang melampaui perbedaan organisasi ataupun mazhab.
  2. Menahan diri dari menghakimi: Berhenti melabeli sesama muslim dengan tuduhan berbahaya seperti kafir, munafik, atau sesat. Sebaliknya, jika kita dituduh, jadikan itu momen introspeksi: jangan-jangan memang ada yang perlu kita perbaiki.
  3. Belajar untuk mendengar: Konflik sering muncul dari kegagalan memahami. Kisah Umar bin Khattab yang hendak menghukum seorang sahabat karena ucapan yang disalahpahami—namun diluruskan oleh Ali bin Abi Thalib—adalah pelajaran abadi. Sebelum marah, tanyakan dulu maksudnya.
  4. Menjadi agen peredam, bukan pembakar: “Kalau kita belum bisa memperbaiki, paling tidak kita tidak ikut merusak. Kalau kita belum bisa mempersatukan, paling tidak kita tidak menambah permusuhan.”

Peristiwa di Pemalang dan konflik serupa harus menjadi alarm bagi kita semua. Umat ini ibarat satu tubuh: jika satu bagian sakit, maka seluruh tubuh akan merasakannya. Sudah saatnya kita belajar dari luka-luka sejarah, meneladani kearifan Umar bin Abdul Aziz, dan memilih jalan rekonsiliasi agar tragedi perpecahan tidak terus terulang di masa depan.

Referensi: https://www.youtube.com/watch?v=CkSuSbk9xws


Pengolah: Ahmad Saifullah
Narasumber: Drs. Ahmad Fuad Effendy, M.A. (Cak Fuad)
Editor: Yusril Mahendra

Tags: fanatismeMedia SosialSejarahukhuwah islamiyah
Previous Post

Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 9: Memahami Akad Salam

Next Post

Pelantikan Pimpinan Cabang AMRI Kesesi Periode 2025–2028

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
AMRI Cabang Kesesi

Pelantikan Pimpinan Cabang AMRI Kesesi Periode 2025–2028

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id