Mati itu Every Time, Maka Taatlah On Time
“Kenapa kita harus shalat on time? Karena mati itu every time.”
Ungkapan ini sederhana, tapi sesungguhnya menjelaskan hakikat penghambaan dalam Islam — bahwa hidup orang beriman bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik Allah. Ketika seorang hamba rela terhadap aturan dan ketentuan Allah, maka ia telah memenuhi syarat sebagai hamba sejati.
Al-Qur’an telah mengabadikan derajat tertinggi seorang hamba dalam firman-Nya:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27–30)
Kerelaan (raḍiyatan) seorang hamba adalah pintu menuju keridhaan Allah (marḍiyyah). Dari situ seorang hamba benar-benar diakui menjadi hamba Allah, masuk dalam golongan mereka yang taslim — tunduk sepenuhnya.
KH. Ahmad Rifa‘i mendefinisikan sikap ini dengan ungkapan Jawa yang sarat makna:
“Asih ingsun ing ma barang kang didatengaken dene Rasulullah”
Artinya: Aku mencintai segala sesuatu yang dibawakan oleh Rasulullah.
Artinya, setiap hukum, syariat, dan ketentuan yang berasal dari Rasulullah—baik kecil maupun besar—sesungguhnya bersumber dari Allah. Jika hati telah rela, ia tak akan membantah.
Manusia, Pendatang Baru di Bumi Air
Sebelum manusia tercipta, Allah telah menciptakan air. Bahkan Allah mengisyaratkan asal kejadian makhluk dari air:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya’: 30)
Air adalah makhluk Allah yang lebih dahulu mendiami bumi. Bila manusia tidak memberi “ruang kediaman” bagi air — lewat hutan, tanah resapan, sungai, dan lautan — maka air akan mencari tempatnya sendiri.
Ketika hutan ditebang, gunung digunduli, dan resapan ditimbun beton, manusia sejatinya sedang menentang sunatullah air. Akibatnya, air “mengusir” manusia — lewat banjir, longsor, kekeringan, dan krisis ekosistem.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh berbuat mudarat dan tidak boleh saling memudaratkan.” (HR. Ibn Mājah)
Menebang hutan tanpa kendali, menambang dengan menebang pohon, membuang sampah ke sungai, atau membangun tanpa memperhatikan daya tampung alam — semua adalah bentuk iḍrār (mudarat) terhadap makhluk Allah lainnya.
Sunatullah Alam, Syariat Kehidupan
Dalam konsep Islam, syariat Allah tidak hanya berbentuk hukum ibadah, tapi juga hukum alam —sunatullah.
Air mengalir ke bawah, api membakar, tanah menumbuhkan, dan pohon menghasilkan oksigen. Inilah hukum yang pasti dan tak mungkin berubah, untuk apa kita memegang uang, kalau kita tidak bisa bernafas melalui oksigen. Kalau uang lebih penting dibandingkan oksigen, coba hitung uangmu sambil menahan nafas.
فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
“Maka sekali-kali kamu tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah.” (QS. Al-Fath: 23)
Mereka yang taslim terhadap sunatullah berarti memahami dan rela hidup selaras dengan aturan ekologis ciptaan Allah. Sebaliknya, mereka yang menentangnya, akan menjadi penyebab kerusakan:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
Bukankah KH. Ahmad Rifa’i selalu mengingatkan dalam kitab-kitabnya:
شرط الايمان التسليم والإنقياد
“Syaratnya Iman adalah pasrah dan tunduk”
Tanda kehancuran lingkungan adalah merupakan tanda hancurnya iman manusia, karena ia ingkar terhadap sunatullah.
Kerusakan lingkungan di Indonesia hari ini adalah cerminan dari hilangnya rida manusia terhadap sunatullah alam. Ingkar terhadap syaratnya iman. Laju deforestasi, kebakaran hutan, dan pencemaran air menandakan kita sedang melanggar syariat ekologis Allah.
Menjadi Hamba yang Menjaga Amanah Bumi
Imam Al-Ghazali menulis:
الْعَالِمُ مَنْ يَعْرِفُ اللهَ وَيَعْرِفُ شَرْعَهُ وَسُنَنَهُ فِي خَلْقِهِ
“Orang berilmu ialah yang mengenal Allah, mengenal syariat-Nya, dan mengenal sunnah-sunnah-Nya pada ciptaan-Nya.” (Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn)
Bagi Al-Ghazali, memahami sunatullah sama pentingnya dengan memahami hukum fikih. Hutan, gunung, dan air bukan sekadar sumber daya — tapi ayat-ayat Allah (āyāt kauniyyah) yang menuntut pembacaan dan pemeliharaan.
Ketika manusia menjaga keseimbangan alam, sejatinya ia sedang beribadah.
Air yang dijaga, hutan yang dilestarikan, dan bumi yang diperbaiki semuanya menjadi bentuk nyata dari ketaatan kepada syariatullah dan sunatullah.
Akhir: Jalan Pulang ke Negeri Ridha
Kepatuhan terhadap waktu shalat adalah simbol disiplin spiritual. Namun, kepatuhan terhadap sunatullah alam adalah simbol disiplin moral ekologis. Dua-duanya merupakan tanda rida seorang hamba terhadap Tuhan-nya.
Mereka yang hidup selaras dengan hukum Allah — baik syariat maupun sunah alam — akan layak mendapatkan panggilan lembut di akhirat:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ… فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي
Dan “surga” itu bisa dimulai sejak di dunia — ketika bumi kembali hijau, air mengalir jernih, udara bersih, dan manusia hidup dalam taslim wal inqiyad kepada Allah ia sedang hidup dalam surganya.
Baca juga: Warisan Bukan Sekadar Harta, Tapi Amanah Cinta yang Tertinggal
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali



A45casino, huh? Not bad, not bad at all. Good selection of games, and the site’s easy to navigate, even when you’re a few beers in. Give it a whirl, maybe you’ll win big! Visit ’em: a45casino